tirto.id - Penulis kontributor diajeng Imma Rachmani merefleksikan pengalamannya dan berbagi temuan tentang dinamika relasi antara kakek-nenek dengan cucu. Berikut bagian ketiga dari naskah berseri “Kakek-Nenek dalam Kehidupan Cucu”. Selamat membaca!
Baca juga
Bagian I: Kenapa Ada Kakek-Nenek yang Ingin Berjarak dengan Cucu?
Bagian II: Mendekatkan Kakek-Nenek yang Berjarak dengan Cucu, Perlukah?
Sedari kecil, aku memupuk pengalaman yang fun bersama kakekku.
Seiring tumbuh dewasa, I guess I’m just lucky ketika mendapati kedua orang tuaku, tanpa diminta, bersedia ikut menjaga anak-anakku dengan didampingi pengasuh.
Dan sekarang, sama seperti aku, anakku pun punya pengalaman menyenangkan bersama kakek-neneknya.
Di lain sisi, aku tak menampik realita lain di luar terkait anak-anak yang dibesarkan sendiri oleh orang tua tanpa kehadiran kakek-nenek. Nyatanya, ada juga sisi baik dari situ.
Megan Hutchison dalam artikel “The silver lining to raising children without grandparents” di laman Mother.ly menuturkan sejumlah segi positif di balik absennya kakek-nenek dari kehidupan anak—setidaknya bagi kita yang sudah tidak punya orang tua lagi atau orang tua tinggal di luar kota.
Tanpa kehadiran orang tua, kita tidak berharap banyak sehingga tidak sampai merasakan kekecewaan. Ada saat-saat mengasuh anak itu sulit dan berat, sehingga nampaknya akan terasa lebih mudah kalau ada orang tua yang menolong. Tapi, bagi sebagian orang lain, hal itu jauh dari kenyataan.
Selain itu, apabila sejak awal orang tua tidak ikut terlibat dalam pengasuhan anak, kita bebas membuat aturan. Ibu baru biasanya dibombardir dengan nasihat dari segala penjuru. Baik orang tua kita maupun pihak mertua, pasti punya segudang nasehat mulai dari pemberian ASI sampai pola makan.
Biasanya kita cenderung santai menerima nasihat dari teman—bisa ditanggapi dengan senyum lalu abaikan. Tapi kalau kita tinggal bersama orang tua atau orang tua tinggal bersama kita, banyak aturan yang sulit kita abaikan. Meski maksud mereka untuk kebaikan cucunya, saran dan aturan mereka membuat kita tidak punya rasa percaya diri bahwa apa yang kita lakukan sudah benar.
Pendek kata, menurut perempuan yang biasa disapa Wina ini, mengasuh anak tanpa kakek-nenek bisa membantu menghindarkan kita dari konflik.
Hal positif lain dari absennya orang tua kita dalam pengasuhan anak adalah mengurangi risiko rasa berduka ketika mereka meninggal.
Kembali melansir artikel Hutchison, anak-anak jadi tidak terhanyut dalam kesedihan karena menyaksikan orang yang disayanginya meninggal.
Aku ingat betul, anakku sedih berlarut-larut ketika ayahku meninggal. Lebih sebulan lamanya ia diam-diam menangis di kamarnya mengenang kakeknya.
Di lain sisi, pengalaman kehilangan ini sebenarnya punya dampak baik bagi anakku karena ia jadi belajar tentang siklus hidup: setelah tua, seseorang akan meninggal. Selain itu, anakku juga belajar mengelola emosinya.
Tanpa peran orang tua dalam pengasuhan anak kita, kita juga bisa memilih dan menyeleksi orang-orang di sekitar yang bisa berdampak dan memengaruhi anak kita. Mereka bisa kita sayangi, dijadikan teladan, sampai dimintai nasihat.
Contohnya terkait perayaan hari raya—yang dirancang untuk kebahagiaan anak-anak kita alih-alih disesuaikan permintaan orang tua kita.
Liburan merupakan waktu untuk berkumpul bersama, dan orang tua dapat rehat sejenak dan pekerjaan dan berbagai tekanan. Namun kenyataannya acap kali lebih banyak pressure pada hari-hari itu. Tanpa kehadiran kakek-nenek, kita bebas menciptakan tradisi keluarga dalam merayakan ulang tahun atau hari raya.
Relasi kakek-nenek dan cucu yang berjarak sebenarnya baik-baik saja apabila dikelola dengan enak. Coba dengarkan penuturan Maria Rini Dewi (57) atau disapa Rini, yang sedari muda tinggal jauh dari orang tua. Ia bersama keluarga kecilnya tinggal di Surabaya, sementara kedua orang tuanya tinggal di Semarang.
“Kami ketemu orang tuaku saat mudik ke Semarang. Jadi ketidakterlibatan yang nggak disengaja,” katanya.
Kondisi ini membuat Rini mandiri mengasuh anaknya. “Sekali-sekali anakku diasuh mertuaku kalau kami berkunjung ke rumahnya. Ada cara mengasuh anak yang berbeda dengan cara saya, jadi lebih baik saya asuh sendiri,” ujar Rini.
Rini, yang kini sudah menimang cucu, memang punya prinsip untuk tidak terlalu terikat dengan cucu—namun itu bukan berarti ia sama sekali tidak terlibat. “Saya kirim video-video Instagram soal mengasuh bayi dan soal kesehatan anak. Saya masih bekerja dan banyak acara. Keterikatan pada cucu akan membuat saya sedih kalau harus berpisah,” pungkas Rini.
Pandangan menarik juga disuarakan oleh psikolog Wina. Perempuan yang aktif dalam komunitas Komunitas Cinta Berkain Indonesia ini sekarang diposisikan oleh anak-anaknya sebagai penikmat cucu.
Well, kamu setuju dengan Wina?
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih