Menuju konten utama
Kakek-Nenek dalam Hidup Cucu

Mendekatkan Kakek-Nenek yang Berjarak dengan Cucu, Perlukah?

Alih-alih memaksa orang tuamu untuk mengurangi kesibukan demi membersamai anakmu, kamu bisa mengajak mereka diskusi tentang jalan tengahnya.

Mendekatkan Kakek-Nenek yang Berjarak dengan Cucu, Perlukah?
Header Diajeng Seri kakek-nenek. tirto.id/Quita

tirto.id - Penulis kontributor diajeng Imma Rachmani merefleksikan pengalamannya dan berbagi temuan tentang dinamika relasi antara kakek-nenek dengan cucu. Berikut bagian kedua dari naskah berseri “Kakek-Nenek dalam Kehidupan Cucu”. Selamat membaca!

Baca juga: Kenapa Ada Kakek-Nenek yang Ingin Berjarak dengan Cucu?

Apa kamu ingat pelajaran yang bisa dipetik dari masa kecil yang dihabiskan bersama kakek-nenekmu?

Aku sendiri merasa sudah banyak belajar tentang life cycle. Bersama mereka, aku jadi bisa membedakan antara anak-anak, orang dewasa, dan orang yang tua. Keriput, rambut memutih, sebagian gigi ompong adalah tanda manusia kian menua.

Diasuh oleh kakek-nenek juga memberiku ‘istirahat’ dari disiplin ketat yang ‘apa-apa nggak boleh’. Bersama kakek, aku menjadi belajar jadi pribadi yang fleksibel dan murah hati.

Saat ikut kakek ke luar kota di rumah saudaranya, misalnya, aku harus belajar membagi oleh-oleh agar semua teman mendapatkan bagian. Tidak pilih kasih, tidak ada yang mendapat bagian paling banyak.

Demikian juga anakku bisa belajar banyak hal dari ayah dan ibuku. Tentang empati misalnya. Ayah-ibuku tak tinggal diam ketika mendapati anakku menangis sembunyi-sembunyi. Mereka pasti bertanya apa yang dia alami, lalu menawarkan bantuan. Seiring itu, anakku pun belajar soal tanggung jawab.

Mengutip Dra. Winarini Wilman, M.Ed.St, P.hD., Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, anak-anak yang diasuh oleh dua generasi, orang tua dan kakek-neneknya, memang cenderung punya tumbuh kembang lebih baik.

Header Diajeng Seri kakek-nenek 2

Ilustrasi Nenek dan cucu kecil bersenang-senang. FOTO/iStockphoto

Tak bisa dimungkiri, peran kakek-nenek dalam kehidupan cucu memang penting. Di lain sisi, bagaimana dengan peranan cucu bagi kakek-neneknya?

“Hidup menjadi tidak sepi. Cucu menjadi sumber kebersyukuran kakek nenek. Kalau dulu sebagai orang tua tidak bisa melihat detail tumbuh kembang anak, setelah menjadi kakek-nenek punya kesempatan untuk mengamati tumbuh kembang cucu. Bagi kakek-nenek, cucu adalah sarana untuk melakukan refleksi,” jelas Wina.

Pendeknya, kakek-nenek dan cucu masing-masing punya peran positif bagi satu sama lain.

Lantas, apabila kakek-nenek memang ingin berjarak dengan cucu, apakah mereka harus didekatkan?

Life coach Bijan Kholghi dalam artikel berjudul My Parents are Disappointing Grandparents: 12 Coping Strategies punya strategi mendekatkan orang tua kita dengan anak.

Tapi, sebelumnya, kita harus tahu dulu sampai pada taraf apa orang tua benar-benar enggan berdekatan dengan anak kita.

Kalau kita sampai meminta-minta mereka agar menengok cucunya, wajar jika kita merasa mereka tidak ingin terlibat seperti yang kita mau.

Tanda lainnya adalah apabila mereka sering menolak saat diundang ke rumah kita untuk berakhir pekan.

Bisa juga, mereka kurang berminat atau tidak antusias mendengarkan cerita kita soal perkembangan anak-anak. Atau, contoh paling nyata, orang tua kita terang-terangan tidak mau ngobrol dengan anak kita sewaktu mereka mengunjungi kita.

Kalau kondisinya seperti itu, kita boleh kok, mendekatkan orang tua kita pada anak kita. Kuncinya satu: jangan terlalu memaksa!

Apabila salah satu dari orang tua kita, misalnya ibu, tidak mau terlibat dengan anak kita, jangan memaksanya agar bersikap seperti ayah kita yang bisa asyik bermain dengan anak kita. Ingat, mereka tidak berhutang apapun pada kita.

Menurut Kholghi, orang tua kita punya kehidupan dan sudah berjuang bertahun-tahun untuk membesarkan kita –anaknya sendiri. Tak ada gunanya kita curhat pada keluarga lain—saudara ibu misalnya—dengan mengatakan bahwa ibu kita adalah nenek yang aneh karena tidak suka pada cucu. Ini bukan cara yang baik untuk membuatnya merasa bersalah.

Jauh lebih tepat apabila kita mencoba bertanya, “Ada apa, sih?”

Kalau orang tua kita belum pensiun, alasan lelah atau sibuk urusan lain, tentu wajar. Apalagi jika orang tua kita tinggal di luar kota. Menyuruh mereka datang dengan menyetir mobil sendiri? Ah, tentu akan sulit.

Header Diajeng Seri kakek-nenek 2

Ilustrasi Nenek dan gadis kecil membuat bentuk hati dengan tangan. FOTO/iStockphoto

Banyak alasan lain yang mungkin sulit diakui orang tua kita, mungkin merasa tak sanggup karena sudah tua tak mampu mengimbangi tingkah polah anak-anak, atau mungkin gara-gara kita menuntut lebih dari mereka. Jadi, coba cari tahu dengan bertanya langsung secara baik-baik, ya.

Kita tidak berhak menuntut orang tua agar mengurangi kesibukannya, atau membatalkan acaranya demi anak kita. Orang tua kita akan merasa tidak dihargai dan merasa dimanfaatkan. Kalau kita paham betul dengan kesibukan mereka, kita bisa meminta agar mereka luangkan waktu untuk anak kita.

“Tren sekarang orang berusia paruh baya atau lebih tua senang bergaul dan bergabung komunitas. Ini penting untuk menjaga kesehatan mental. Orang tua tidak boleh sedentary, baik otak maupun fisik, supaya ada pengayaan dan tambah pengetahuan,” papar psikolog Wina.

Secara tradisional, kakek-nenek lazimnya menikmati hari-hari bersama cucu karena bisa memilih aktivitas yang menurutnya fun. Coba kamu tawarkan kesempatan itu.

Biarkan orang tua kita memilih untuk bersama anak kita dalam hal apa. Misalnya, apabila mereka ingin menjemput anak kita pulang sekolah, jangan jadikan itu sebagai kewajiban mereka melainkan sebatas dalam kondisi darurat.

Ingat pepatah, we don’t always get what we want. Terkadang, mungkin kita perlu terima bahwa yang terbaik memang datang dari orang tua kita.

Selain itu, yakinlah selalu ada alternatif jalan keluar. Misalnya, apabila mereka tinggal di tampat yang jauh sehingga kesulitan mengunjungi anak kita secara rutin, kita bisa menjadwalkan video call.

Baca juga artikel terkait LYFE atau tulisan lainnya dari Imma Rachmani

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Imma Rachmani
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih