Menuju konten utama
Kakek-Nenek dalam Hidup Cucu

Kenapa Ada Kakek-Nenek yang Ingin Berjarak dengan Cucu?

Kepadatan aktivitas kakek-nenek pada zaman sekarang bisa menjadi salah satu pencetus munculnya jarak antara mereka dengan cucu.

Kenapa Ada Kakek-Nenek yang Ingin Berjarak dengan Cucu?
Header Diajeng Seri kakek-nenek

tirto.id - Penulis kontributor diajeng Imma Rachmani merefleksikan pengalamannya dan berbagi temuan tentang dinamika relasi antara kakek-nenek dengan cucu. Berikut bagian pertama dari naskah berseri “Kakek-Nenek dalam Hidup Cucu”. Selamat membaca!

Suatu siang, aku duduk ngobrol dengan ibuku ketika dia tiba-tiba bertanya, “Kamu ingat nggak, dulu waktu kecil kamu diperlakukan seperti princess oleh kakekmu?”

Aku menggeleng, tidak ingat.

Yang kuingat betul hanya satu: kakek tidak pernah bilang ‘nggak boleh.’ Apa saja yang kuminta pasti dituruti kecuali yang berbahaya.

Gaun yang mengembang lebar saat aku berputar, kue satelit yang dibeli di warung yang dibenci nenek karena tidak memenuhi standar kebersihan menurut versinya—dan mungkin juga ibuku kalau ia tahu—dibelikan diam-diam oleh kakek.

Hal lain yang kuingat saat bersama kakek adalah diperbolehkan menyentuh wajahnya yang berkerut-kerut keriput, mencabut jenggotnya yang berwarna putih dengan pinset karena saking pendeknya, berayun-ayun di sarung kakek yang duduk dengan merentangkan pahanya lebar-lebar.

Hal menyenangkan lainnya adalah ketika kami akan bepergian ke rumah saudara kakek di luar kota, ia membeli banyak sekali kue kering dan permen aneka warna dan rasa untuk kubagikan kepada teman-teman bermain di kota itu.

Ya, akulah kesayangan kakek. Ke mana pun ia pergi, kalau tidak sedang bekerja, aku selalu diajak. Arisan, kondangan, sunatan anak tetangga, dan sesekali diajak ke kantornya.

Satu waktu, aku mencoba menanyakan pada anakku tentang pengalaman dengan kakek-neneknya alias ayah ibuku.

Jawabnya, “Kakek membantu mengerjakan PR matematika. Waktu aku nangis, kakek bertanya kenapa. PR-ku banyak sekali, rasanya nggak sanggup mengerjakannya. Kata kakek, kerjakan sebisanya, sisanya kakek yang mengerjakan. Nenek juga membantu mengerjakan PR bahasa Inggris, dan punya banyak sekali cerita masa kecil ibu.”

Alasan Ingin Berjarak

Kukira, pengalaman masa kecilku dengan kakek cukup lazim dirasakan anak-anak seusiaku kala itu.

Menariknya, belakangan ini muncul klaim dari sejumlah generasi milenial yang merasa orang tuanya enggan terlibat dalam pengasuhan anak mereka, seperti sempat viral di TikTok beberapa waktu silam.

Coba kita dengarkan pengalaman Titis (40), ibu bekerja yang anaknya, Namira, kini sudah remaja 14 tahun.

Titis berkisah, dulu, setiap pagi, dia mengantar bayi Namira dan pengasuhnya ke rumah ibunya. Ketika Namira sudah masuk SD, sepulang sekolah pun dia masih dititipkan ke rumah sang nenek meskipun tak lagi didampingi pengasuh.

“Dari semula mamaku sudah bilang nggak mau terlibat ngurus cucu. Boleh nitip di rumahnya tapi harus ada nanny yang mengurus bayi. Kenapa? Karena bapakku pengusaha, mama juga ikut terlibat di perusahaan papa. Aktivitas mamaku banyak. Line dance sama teman-temannya, pengajian, jadi pengurus RT yang terkadang jadi panitia pekan imunisasi nasional atau urusan posyandu,” papar Titis.

Mengaku agak kecewa, Titis menyetujui persyaratan ibunya. Itu sebabnya dia tidak protes kalau setiba di rumah ibunya menjelang magrib ia mendapati Namira belum mandi karena ibunya tidak di rumah untuk mengawasi.

Header Diajeng Seri kakek-nenek 1

Ilustrasi kakek dan cucu. FOTO/iStockphoto

Jaycee Dunn dalam artikel berjudul “What to Do About Uninvolved Grandparents” di Parents menyatakan, penolakan dari kakek-nenek untuk terlibat dalam pengasuhan cucu bisa melukai hati anak, seperti membenarkan yang dirasakan Titis.

Ada sejumlah penjelasan kenapa orang tua ingin mengambil jarak dengan anak kita. Salah satunya, menurut Dunn, berkaitan dengan gambaran tentang nenek di masa kini yang mulai berubah.

Sudah lewat masanya nenek-nenek disimbolkan sebagai ibu zaman dulu yang berkutat dengan aktivitas memasak atau membacakan dongeng untuk cucu.

Bisa jadi, sebagian kakek-nenek zaman sekarang punya lebih banyak aktivitas, masih bekerja, atau menjadi sukarelawan dengan peran sosial yang aktif—seperti Maria Rini Dewi (57). Pramugari di maskapai internasional yang bermarkas di Jeddah ini tegas menolak ketika ditanya apakah tertarik ikut mengasuh cucu, “Tidak. Saya ingin menikmati masa tua saya tanpa terikat cucu.”

Perempuan yang disapa Rini ini tahu, anaknya ingin dia ikut berperan dalam tumbuh kembang si cucu. “Yah, ada lah 50 persen,” ujarnya. Tapi Rini enggan memaksa dirinya sendiri. “Kalau saya sedang cuti dan berada di Indonesia saya akan bawa cucu ke rumah. Kalau lagi berjauhan ya video call saja,” katanya.

Header Diajeng Seri kakek-nenek 1

Ilustrasi kakek dan cucu. FOTO/iStockphoto

Perlu kita pahami, orang tua kita sudah terkondisi bekerja selama puluhan tahun sehingga mereka diprogram menjadi sibuk. Selain itu, kesadaran yang tinggi akan kesehatan tubuhnya, membuat kakek-nenek juga rutin berolahraga dan bergaul.

Di Amerika Serikat, American Association of Retired Persons (AARP) menyebut, rata-rata usia orang yang pertama kali menjadi kakek-nenek adalah 50 tahun. Kesibukan kerja dan komitmen membuat mereka sulit meluangkan waktu untuk mengasuh cucu. Meski usianya tergolong “muda”, bukan berarti mereka masih punya energi untuk mengasuh bayi atau balita setelah seminggu penuh bekerja.

Kondisi kesehatan, masih melansir artikel Dunn, juga bisa menjadi alasan mengapa sejumlah kakek-nenek memilih berjarak dari pengasuhan cucu. Mereka yang usianya lebih sepuh cenderung punya isu kesehatan seperti kekuatan otot atau tulang yang mulai melemah. Selain itu, mereka mungkin juga memang tidak ingin menjadi pengasuh cucu.

Alasan lainnya bisa juga terkait rasa sakit hati pada anak. Anak-anak yang dulu bersikeras ingin hidup jauh dari orang tua dan hanya sesekali menelepon untuk tanya kabar, eh, tiba-tiba kembali kepada orang tua gara-gara ingin ada yang menjaga anaknya.

“Memang bukan tugas kakek-nenek untuk mengasuh cucu,” kata Dra. Winarini Wilman, M.Ed.St, Ph.D., Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Nenek dari empat cucu yang biasa disapa Wina ini tidak setuju apabila kakek-nenek diberi tugas mengasuh cucu.

“Mengasuh itu tugas berat. Kalau mau menitipkan anak, sertakan juga pengasuhnya. Karena sudah bukan lagi tugasnya [orang tua kita]. Sudah selesai. Apalagi kalau kakek-nenek sudah nggak sehat,” kata Wina, yang saat ini berpraktek sebagai psikolog keluarga dan perkawinan di Klinik Pela 9, Bintaro, Jakarta.

Baca juga artikel terkait LYFE atau tulisan lainnya dari Imma Rachmani

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Imma Rachmani
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih