Menuju konten utama

Sisi Lain El Clasico: Bola Kuning dan Demonstrasi Anti Madrid

Keputusan La Liga dan RFEF menunda el Clasico di Camp Nou seolah tak berdampak. Gelombang protes kembali mewarnai laga yang berkesudahan dengan skor 0-0 tersebut.

Sisi Lain El Clasico: Bola Kuning dan Demonstrasi Anti Madrid
Luis Suarez dari Barcelona, ​​kanan, bersaing untuk bola Real Madrid Casemiro selama pertandingan sepak bola La Liga Spanyol antara Barcelona dan Real Madrid di stadion Camp Nou di Barcelona, ​​Spanyol, Rabu, 18 Desember 2019. Emilio Morenatti/AP

tirto.id - El Clasico ke-179 antara Barcelona vs Real Madrid di Camp Nou, Kamis (19/12/2019) dini hari tadi, adalah pertandingan yang enak ditonton saja belum.

Barcelona, yang sejak awal musim mengalami pasang surut, bermain seperti 'ampas'. Minim kreativitas, Blaugrana lebih banyak berkutat di lini sendiri. 60 persen sirkulasi bola sepanjang pertandingan berputar di setengah lapangan mereka.

Alhasil, Lionel Messi dan kolega kalah agresif tinimbang kesebelasan tamu. Perbandingan jumlah tembakan kedua tim (9:17) cukup menggambarkan kenyataan ini.

“Mereka [Real Madrid] menekan kami sangat tinggi dan mengandalkan umpan terobosan. Di situlah kami menderita,” aku pelatih Barca, Ernesto Valverde, setelah pertandingan.

Di sisi lain Real Madrid bukannya tanpa hambatan. Meski lebih dominan dan efektif dalam menyerang, El Real urung menuntaskan masalah utamanya: penyelesaian akhir acak-acakan. Dari 17 tembakan yang mereka lesakkan, tak satu pun menggetarkan gawang Marc-André ter Stegen.

Pertandingan berakhir 0-0. Resmi sudah laga ini menjadi el Clasico pertama dalam 17 tahun terakhir yang berakhir tanpa gol.

“Sebenarnya kami layak menang, tapi beginilah sepakbola. Kami tak bisa mengubah hasil akhir,” ujar Zinedine Zidane, pelatih Madrid.

Tak sedikit yang menilai kalau el Clasico kali ini minim daya tarik. Jurnalis The Guardian, Sid Lowe, menyebut laga ini “antiklimaks.”

Kalaupun ada yang bikin el Clasico tadi malam patut ditonton, barangkali hal itu adalah tingginya tensi permainan di antara kedua kesebelasan. Sepanjang pertandingan, wasit meniup peluit pelanggaran sampai 22 kali. Delapan kartu kuning juga keluar.

Tensi tinggi juga terjadi di luar lapangan.

Miguel Delaney, Redaktur Sepakbola Independent yang hadir ke stadion, menyebut sepanjang dini hari tadi atmosfer tribun Camp Nou lebih meriah dari el Clasico tahun-tahun sebelumnya. Senyera, bendera Katalunya, berkibar di mana-mana.

Miguel lantas menyebut kemeriahan dini hari tadi dengan sebutan “festival separatisme.”

Gelombang Demonstrasi

Kemeriahan di Camp Nou datang bukan tanpa sebab. Tsunami Democratic, sebuah organisasi yang getol berkampanye kemerdekaan Katalunya dari Spanyol, sejak awal sudah mewacanakan aksi besar-besaran saat pertandingan.

Empat jam sebelum kickoff, mereka membuat semacam panggung orasi di sekitar stadion. Mereka mengklaim lebih dari 25 ribu orang bergabung dalam protes, sementara menurut polisi hanya 5.000.

Jordi Farre, seorang demonstran, menyebut aksi kali ini adalah lanjutan dari protes yang mereka lakukan di kawasan Bandara El Prat pertengahan Oktober lalu. Saat itu mereka menentang keputusan Mahkamah Agung Spanyol yang menjatuhkan putusan bersalah terhadap 12 aktivis kemerdekaan Katalunya.

El Clasico dipilih lantaran besarnya perhatian dunia pada pertandingan ini. Tahun lalu saja lebih dari 650 juta penduduk dunia menyaksikan laga ini lewat layar televisi.

“Aku di sini karena dunia melihat el Clasico. Kami bisa menunjukkan kepada mereka bagaimana perlakuan represif pemerintahan Spanyol kepada kami,” kata Jordi, mengutip Aljazeera.

Pemerintah Spanyol yang berpusat di Madrid tidak tinggal diam menghadapi gelombang aksi ini. Ribuan petugas gabungan disiagakan sebelum hingga sesudah pertandingan.

Bentrokan dengan polisi, yang demonstran anggap kaki tangan Spanyol, tak terelakkan. Marca mencatat setidaknya 46 orang peserta aksi luka-luka akibat tembakan peluru karet.

Bentok antara aparat dengan peserta aksi juga sempat berujung pembakaran sejumlah infrastruktur di sekitar stadion. Akibat kebakaran ini beberapa pintu akses stadion sempat ditutup.

Menjalar ke Dalam Stadion

Tak cuma di luar stadion, gelombang protes menjalar sampai ke tribun. Semua tidak lepas dari langkah Tsunami Democratic mendistribusikan lebih dari 100 ribu spanduk bagi suporter yang hendak masuk ke dalam lokasi pertandingan.

Sebagian dari spanduk ini berisikan suara desakan agar pemerintahan Spanyol membuka ruang diskusi untuk pembebasan para aktivis Katalunya. Ada pula tuntutan untuk memberikan dialog kemungkinan kemerdekaan bagi Katalunya.

Beberapa tulisan protes yang terekam adalah: “Freedom,” “Catalunya is not Spain,” sampai “Sit and Talk.”

Protes di dalam stadion menemui titik klimaks ketika para suporter melemparkan bola busa berwarna kuning ke area lapangan. Bola kuning ini juga memuat tulisan “Sit and Talk,” sebuah tuntutan agar pemerintah duduk dan berdiskusi dengan perwakilan warga Katalunya yang ingin memerdekakan diri.

Akibat pelemparan bola ini, pertandingan sempat beberapa kali dihentikan.

Penyedia siaran televisi dan La Liga punya cara sendiri untuk meredam gelombang protes ini agar tak banyak jadi sorotan. Salah satunya adalah dengan mengarahkan kamera siaran kepada pemain (zoom in) dan memperbanyak tayangan ulang.

Toh cara ini tak serta-merta membuat orang-orang di luar Spanyol menutup mata. Banyaknya wisatawan mancanegara yang hadir langsung menyaksikan el Clasico di stadion bikin kejadian ini cepat menyebar ke media-media seantero Eropa.

Henrik Norrelund, seorang wisatawan asal Denmark, menilai fenomena demonstrasi di tengah pertandingan adalah sesuatu yang tak selayaknya jadi tradisi. Namun, khusus untuk kasus Barcelona dan Katalunya, dia memakluminya.

“Pada akhirnya semua yang berdekatan tak bisa dipisahkan. Tuntutan orang Katalunya aku rasa sekarang sudah jadi bagian dari sepakbola di Barcelona. Sudah tidak mungkin lagi dipisahkan,” ujarnya, seperti dilansir Associated Press.

Baca juga artikel terkait LIGA SPANYOL atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Rio Apinino