Menuju konten utama

Kisah Pertengkaran Guardiola & Cruyff di Pilpres FC Barcelona 2003

Pep Guardiola dikenal punya hubungan lekat dengan mendiang legenda sepakbola Johan Cruyff. Namun, keduanya sempat bertengkar dalam pemilihan presiden FC Barcelona 2003 silam.

Kisah Pertengkaran Guardiola & Cruyff di Pilpres FC Barcelona 2003
Presiden kehormatan FC Barcelona Johan Cruyff dan pelatih FC Barcelona Josep Guardiola selama upacara penugasan Sandro Rosell sebagai presiden FC Barcelona, ​​di stadion Camp Nou di Barcelona, ​​Spanyol, Kamis, 1 Juli 2010. David Ramos/AP

tirto.id - Membicarakan Pep Guardiola tidak bisa tanpa menyinggung sosok Johan Cruyff. Keduanya punya hubungan dekat, setidaknya terkait karier di dunia sepakbola.

“Aku adalah manusia yang tidak tahu apa-apa sampai aku bertemu Johan Cruyff,” kata pelatih Manchester City ini di laman resmi klub.

Andil mendiang Cruyff dalam karier Guardiola memang besar, baik sebagai pemain maupun pelatih. Dalam biografinya, My Turn (2016), Cruyff mengaku kalau pada 1988 dia adalah orang yang paling mati-matian mempertahankan Guardiola saat para petinggi Barcelona yang lain mendesak agar eks pemain bernomor punggung empat tersebut dijual.

“Caranya bekerja cukup unik. Dia adalah pelatih yang meminta banyak, tapi ketika Anda sudah mencapainya, dia adalah orang yang sangat protektif. Dia tahu kapan Anda harus ditekan atau dilindungi,” kenang Guardiola soal peristiwa tersebut, seperti dikutip dari The Guardian.

Cruyff pula yang jadi pelarian Guardiola meminta restu sebelum mulai melatih Barcelona senior pada 2008/2009 silam. Bahkan sebelum meninggalkan klub tersebut untuk kemudian bergabung dengan Bayern Munchen dan Manchester City, Guardiola juga lebih dulu ‘meminta masukan’ dari mentornya tersebut.

Guardiola dan Cruyff bukannya tidak pernah berseberangan. Guardiola mengakui dia pernah beberapa kali tak sependapat dengan Cruyff. Salah satu momen pertengkaran terbesar keduanya terjadi saat Barcelona menggelar pemilihan presiden klub pada 2003 silam.

Guardiola Ingkar Janji

Guillem Balague dalam buku Pep Guardiola Another Way of Winning (2013) mencatat perpecahan keduanya bermula ketika Guardiola dan tiga rekannya sesama mantan pemain Barcelona—Txiki Begiristain, Guillermo Amor, dan Eusebio—membuat perjanjian dengan Cruyff pada awal 2000an. Mereka sepakat untuk tidak mendukung siapa pun calon presiden FC Barcelona yang akan dipilih tiga tahun kemudian.

Janji tersebut dilanggar Guardiola. Beberapa bulan sebelum pemilihan presiden klub, salah satu calon, Lluis Bassat, mendekati Guardiola untuk mengajaknya menjadi anggota tim sukses. Bassat mengiming-imingi Guardiola dengan jabatan direktur olahraga apabila nanti dia terpilih.

“Guardiola menerima tawaran itu dengan syarat Bassat tidak boleh mencatut nama pemain bintang untuk didatangkan pada bursa transfer apabila terpilih. Bassat menyetujuinya, dan keduanya pun berjabat tangan,” tulis Ballague.

Pada saat bersamaan, Cruyff juga berpredikat tim sukses calon presiden lain, Joan Laporta, yang merupakan musuh utama Bassat dalam pemilihan. Pemilu akhirnya dimenangkan Laporta yang saat kampanye menjanjikan perekrutan David Beckham dan Ronaldinho.

Hasilnya bisa ditebak: hubungan Guardiola dengan Cruyff retak.

“Kemenangan Laporta meninggalkan Guardiola terisolasi dari persahabatannya sendiri. Sejak saat itu Guardiola tidak punya nyali bertemu Cruyff atau Txiki selama bertahun-tahun. Guardiola tahu, orang-orang itu akan kecewa dengannya,” tulis Ballague.

Guardiola mengakui kalau hubungannya dengan Cruyff maupun eks rekan-rekan dekatnya memburuk pasca-pemilu. Pada tahun yang sama, Guardiola—yang masih tercatat aktif sebagai pemain sepakbola—meninggalkan klub asal Italia, Brescia, untuk menghabiskan sisa usia produktifnya bersama klub asal Qatar, Al-Ahli. Keputusan ini semakin mempertegas niatnya untuk menjauh dari geng Johan Cruyff.

“Aku rasa pemain sepertiku semakin langka dan tidak terlalu dibutuhkan, karena sepakbola telah berkembang dengan cara berbeda,” ujar Guardiola saat diwawancarai jurnalis legendaris Gabrielle Marcotti.

Sejak saat itu, sampai bertahun-tahun kemudian, Guardiola menghindari bertatap muka dengan rekan-rekan maupun mentornya.

Rujuk karena Krisis Barcelona

Perpecahan itu pada akhirnya tidak berlangsung lama. Guardiola dan ‘geng Cruyff’ rujuk pada 2007.

Cerita bermula ketika Barcelona era Joan Laporta mencanangkan regenerasi struktur kepengurusan Barcelona. Guardiola, yang pada momen itu baru pensiun dan sudah punya lisensi kepelatihan, diproyeksikan sebagai direktur olahraga.

Laporta lantas mengirim Txiki Bergiristain untuk membujuk langsung Guardiola.

“Pertemuan antara Txiki dan Guardiola terjadi pada 2007, bertempat di Princesa Sofia Hotel, Camp Nou. Txiki berujar, sebelum pertemuan ini dia telah membulatkan tekad untuk memaafkan pengkhianatan Guardiola empat tahun sebelumnya,” tulis Ballague.

Kendati sukses bikin Guardiola dan Txiki kembali damai, pertemuan ini berakhir sepakat untuk tidak sepakat. Guardiola menolak ajakan Txiki karena menginginkan jabatan lain: pelatih Barcelona B.

“Aku ingin menjadi pelatih, melatih untuk sebuah tim. Biarkan aku bekerja, terserah untuk tim level mana saja, asalkan melatih. Aku bahkan siap jika kalian memberiku pekerjaan sebagai pelatih anak-anak balita di sebuah ladang kentang,” ujar Guardiola dalam pertemuan itu, seperti dicatat Graham Hunter dalam Barca: The Making of the Greates Team in the World (2012).

Txiki, di sisi lain, masih skeptis dengan keinginan Guardiola yang ia anggap aneh. Bagaimanapun, jabatan direktur olahraga lebih menjanjikan—secara popularitas maupun finansial—ketimbang jadi pelatih tim cadangan.

Txiki lantas meminta saran kepada orang-orang Barcelona, termasuk Cruyff. Cruyff, seperti tiba-tiba melupakan konflik lamanya dengan Guardiola, menyarankan agar para petinggi klub menyetujui permintaan tersebut.

Pada 21 Juni 2007, dengan restu Cruyff dan Laporta, Guardiola resmi diumumkan sebagai kepala pelatih tim Barcelona B, didampingi Tito Vilanova sebagai asistennya.

Lanjutan dari cerita tersebut kini sudah jadi sejarah manis. Semusim melatih, Guardiola langsung mengantarkan tim B Barcelona promosi dari divisi tiga ke divisi dua.

Tak lama berselang dia dipromosikan menggantikan Frank Rijkaard sebagai kepala pelatih tim senior. Berbagai prestasi sukses ia raih selama tiga musim melatih: 14 trofi, termasuk dua kali juara Liga Champions.

Sebagaimana Txiki dan Amor, Cruyff, di momen-momen puncak tersebut, selalu berada di belakang Guardiola setiap kali dibutuhkan.

“Berbicara dengan Guardiola selalu menyenangkan […] dia bukan cuma punya kemampuan dalam sepakbola, tapi juga kecerdasan dan kepribadian menarik. Anda akan selalu betah berbicara dengannya di bawah terik matahari, tentang hal-hal apa pun dalam hidup ini,” ungkap Cruyff.

Baca juga artikel terkait LIGA SPANYOL atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Rio Apinino