tirto.id - Membicarakan Pep Guardiola tidak akan pernah ada habisnya. Sebagai seorang pelatih Pep adalah maestro. Sejak memulai karier kepelatihan di Barcelona, Bayern, hingga Manchester City, pria kelahiran Santpedor, 18 Januari 1971 ini telah meraih 28 trofi. Angka yang mencengangkan untuk pelatih seusianya.
Dan di balik pencapaiannya itu, satu hal yang selalu ditekankan Pep: pengalaman menjadi seorang pemain sepak bola adalah adalah batu loncatan yang paling membantunya. Pengalaman itu, meminjam istilah Pep, adalah sesuatu yang membentuk ideologi sepakbolanya.
“Apa yang selalu kutekankan kepada para pemain adalah agar mereka mendominasi pertandingan lewat bola. Menguasainya selama mungkin. Aku tumbuh sebagai pemain dengan gagasan itu, dan sebagai pelatih aku masih memegangnya,” tutur Pep seperti dikutip Guillem Balague dalam buku biografi Pep Guardiola: Another Way of Winning (2012).
Sebagai pemain, kontribusi Guardiola untuk klub yang mendidiknya, FC Barcelona tak bisa dipandang sebelah mata. Guardiola adalah pemain kunci. Perannya sebagai jembatan yang menghubungkan lini belakang dengan lini tengah, tak dipungkiri lagi merupakan aspek penting di balik kejayaan Barca era Johan Cruyff (1988-1996).
Liga Spanyol, Copa Del Rey, Piala Winners, Piala Eropa (Liga Champions), sampai Piala Super Spanyol adalah setumpuk trofi yang pernah direngkuh Guardiola saat berkarier sebagai pemain Barca.
Tapi karier Guardiola dan Barcelona tak seromantis hubungan Lionel Messi dengan klub yang sama. Tahun 2001, tepat ketika usianya menginjak 30 tahun, Pep menyadari kalau sudah saatnya dia pergi dan memberikan tempatnya ke pemain-pemain Barcelona lain yang lebih muda. Brescia, klub semenjana asal Italia, kemudian jadi pijakan berikutnya bagi Guardiola.
Kepindahan Guardiola ke Brescia pada 2001 menjadi salah satu kejutan terbesar di sepak bola Eropa. Mafhum, meski sudah berkepala tiga, Guardiola saat itu masih tergolong berada di level permainan yang bagus.
Klub besar yang terang-terangan meliriknya pun tidak sedikit. Sir Alex Ferguson, eks pelatih Manchester United, bahkan mendapuk diri sebagai pelatih yang paling ngotot merekrut Pep dari Barcelona. Saat tawarannya ditolak agen Guardiola, Josep Maria Orobitg, Fergie sempat ngamuk.
“Ferguson sempat keras kepala memaksa ingin berbicara empat mata dengan Guardiola seorang,” kenang Orobitg.
Bukan cuma Manchester United, faktanya, klub-klub besar lain macam Inter, AC Milan, AS Roma, Lazio, PSG, Liverpool, Arsenal, West Ham, sampai Wigan Athletic juga tercatat menaruh hasrat besar untuk merekrut Guardiola. Lantas, mengapa Guardiola menolak tawaran-tawaran itu dan justru bergabung dengan Brescia?
Gara-Gara Batal ke Juventus
Bukan Brescia, mulanya tim yang diidam-idamkan Guardiola sebagai tempat singgah setelah Barcelona adalah Juventus. Bukan rahasia lagi jika Guardiola merupakan penggemar berat Michel Platini, legenda sepakbola Juventus yang pernah meraih tiga trofi Ballon d’Or beruntun.
Marti Pararnau dalam Pep Confidential: The Inside Story of Pep Guardiola(2014) bahkan menyebut Guardiola kecil punya hobi memajang poster-poster Platini di kamarnya. Dan layaknya seorang fans yang ingin seperti idolanya, saat itu Guardiola memimpikan bisa memakai kostum Si Nyonya Tua.
Mimpi dan sinyal ini ditangkap dengan gesit oleh manajemen Juventus. Pada Februari 2001, Si Nyonya Tua mengadakan pertemuan langsung dengan Guardiola dan agennya, Josep Maria Orobitg.
Jaume Collell dalam buku Pep Guardiola: De Santperdor a la Banqueta del Camp Nou(2012) mencatat pertemuan pertama Guardiola dengan manajemen Juventus terjadi layaknya 'perjanjian yang biasa dilakukan dalam film-film mafia'.
“Guardiola dan agennya dibawa masuk ke sebuah mobil. Kacanya tertutup dan mobil itu membawa mereka ke sebuah tempat rahasia di kota Turin. Di lokasi pertemuan itu, ada meja dan kursi melingkar. Sudah menanti beberapa petinggi Juventus dan bodyguard yang semuanya memakai kacamata hitam,” tulis Collel.
Collel tidak merinci secara jelas jumlah petinggi yang hadir. Namun menurut wawancaranya dengan Orobitg, termasuk di dalamnya adalah General Manager Juventus saat itu, Luciano Moggi.
“Orobitg [dan Guardiola] kemudian mendatangi Moggi dan para bodyguard lain pergi. Pembicaraan terjadi, tapi kesepakatan langsung mereka temui hanya dalam tiga menit,” tulis Collel.
Pertemuan itu terjadi dalam kurun total 50 menit. Tapi seperti yang ditulis Collel, pada prinsipnya negosiasi berlangsung tiga menit. Sisa waktu lain cuma dipakai ngobrol basa-basi.
Tidak ada perjanjian hitam di atas putih. Tapi, pertemuan itu menghasilkan kesepakatan yang jelas: Guardiola akan diperkenalkan sebagai pemain baru Juventus pada Juni 2001, ketika musim telah berakhir dan bursa transfer sudah dibuka.
Tapi sialnya, mimpi Guardiola untuk menjadi pemain Juventus seperti Platini kandas dalam waktu beberapa bulan saja. Penyebabnya, empat bulan setelah kesepakatan itu, Juventus memecat pelatihnya, Carlo Ancelotti.
Guardiola disebut-sebut merupakan rekrutan yang diinginkan Ancelotti, tapi tidak oleh sosok yang ditunjuk sebagai penggantinya, Marcelo Lippi. Lippi memilih membangun skuat yang lebih muda, apalagi saat itu Juventus juga tengah memanen dana besar dari transfer Zinedine Zidane ke Real Madrid.
Maka, kesepakatan dengan Guardiola dibatalkan begitu saja. Lippi lebih memilih merekrut pemain-pemain macam Pavel Nedved, Lillian Thuram, Marcelo Salas, dan Gianluigi Buffon.
Pembatalan yang serba mendadak ini bikin Guardiola dan agennya kelimpungan, karena di sisi lain mereka juga terlanjur menolak banyak tawaran—termasuk tawaran dari MU—hanya demi Juventus.
Saking frustrasinya, Guardiola bahkan hampir bergabung dengan Arsenal. Di pertengahan bursa transfer, bulan Juli 2001, Arsene Wenger sempat melirik Pep karena ada kemungkinan Patrick Viera bakal hengkang ke klub lain. Tapi negosiasi lanjut batal terjadi karena Viera akhirnya tak jadi pindah dari London.
Saat itulah tawaran dari Brescia datang. Pep tidak berpikir panjang untuk bergabung dengan tim ini karena dia benar-benar butuh tempat baru.
Tidak Menyesal
Kendati batal bergabung dengan klub impiannya saat itu, Juventus, dalam wawancara beberapa tahun kemudian Guardiola berkata dia tidak pernah menyesali keputusannya bergabung dengan Brescia.
"Guardiola tidak pernah menyesal dengan keputusan itu. Dia selalu bertanggung jawab atas setiap keputusan yang dia bikin," ucap Orobitg dalam wawancara dengan media-media Inggris, 2016 lalu.
Pep sebenarnya tidak lama berada di Brescia. Dia hanya bermain untuk klub ini pada musim 2001/2002 dan paruh kedua musim 2003/2004 (setelah semusim main untuk AS Roma). Menit bermainnya juga minim. Cedera dan kegagalannya lolos tes urin dalam beberapa laga bikin dia kerap menepi di bangku cadangan.
Namun, justru di klub inilah Pep menyebut dirinya mendapat banyak ilmu kepelatihan. Sebab pelatih Brescia saat itu, Carlo Mazzone adalah salah satu sosok yang menyadari kejeniusan Guardiola.
Seperti dicatat Guillarme Balague, Mazzone bahkan berkali-kali kerap meminta saran soal taktik kepada Guardiola. Setiap sesi latihan usai, keduanya acap kali mengobrol layaknya sepasang sahabat. Tak ada gap pemain-pelatih yang membatasi interaksi mereka.
Brescia pula yang kemudian memberikan jalan bagi Guardiola untuk menjanjal pengalaman bermain dengan klub Italia lain, AS Roma. Guardiola semusim memperkuat AS Roma dan ditangani oleh pelatih kawakan Italia, Fabio Capello. Dari Capello, Guardiola mendapat pengakuan besar sebagai pemain yang punya prospek bagus sebagai pelatih.
“Dia adalah pemikir yang cepat, dia tahu apa yang harus dilakukan sebelum bola sampai dan sangat paham tentang bagaimana seorang pemain harus berada di posisi tertentu,” kenang Capello terhadap kesan pertamanya berinteraksi dengan Guardiola.
Pengalaman Guardiola menginjakkan kaki di Brescia dan AS Roma adalah aspek penting yang membangun pemahamannya soal taktik sepak bola. Kegagalan pindah ke Juventus, dan adegan serupa film mafia itulah, yang membuka jalannya untuk menjadi salah satu pelatih terbaik dunia saat ini.
Editor: Irwan Syambudi