tirto.id - Nike kesal.
Setiap kali meeting di kantor, selalu ada satu rekan kerjanya menyanggah ide-ide yang dikemukakan.
“Jangankan mendengarkan presentasi sampai selesai, ia langsung lompat bertanya risiko yang akan terjadi jika ide tersebut dijalankan. Lalu akan bilang ia sudah pernah mencobanya dan tidak berhasil.”
Apa kamu pernah berada pada situasi seperti Nike?
Suka atau tidak, orang pesimis selalu ada di setiap kantor.
Pesimisme ialah kecenderungan untuk melihat hal terburuk atau percaya hal terburuk akan terjadi. Hal ini sebenarnya lumrah kok. Banyak dari kita berpikir demikian, terutama kalau sedang stres atau kewalahan.
Di lingkup kerja, staf pesimis dipandang dapat mempengaruhi kinerja tim atau memperburuk relasi dengan rekan kerja.
Psikolog dan career coach Patricia Yuanila, M.Psi menilai, seorang pesimis akan memberikan vibe negatif di kantornya.
“Jadi mereka yang termotivasi akan jadi demotivasi, membawa suasana jadi kurang kondusif. Orang yang pesismis dapat membawa pengaruh dan bahkan bisa menghambat kinerja tim,” ujar psikolog yang biasa disapa Lala ini.
Sementara itu, optimisme belum tentu baik. Jika berlebihan, optimisme berpotensi membahayakan. Mungkin kamu familiar dengan istilah toxic positivity, sebuah desakan agar orang-orang merasa dan harus bertindak optimis meskipun hal tersebut tidak mereka rasakan atau mengabaikan kenyataan yang ada.
Salah satu cara untuk memahami kecenderungan pesimistis yaitu berpikir dengan fokus motivasi. Apa maksudnya?
Menurut model ini, orang yang berfokus pada pencegahan akan mengutamakan keselamatan dan acap kali melihat tugas sebagai serangkaian hambatan yang harus diatasi. Sedangkan mereka yang fokus pada promosi cenderung memikirkan masa depan, bermimpi besar, cekatan, dengan melihat peluang yang ada dengan cara positif.
“Adanya orang pesimis di anggota tim seperti menantang sebuah ide yang dikemukakan. Mereka yang memiliki ide lalu akan melakukan riset lebih dalam, mencari data, mencari market yang lebih luas untuk membuktikan strateginya mencapai tujuan,” ungkap Lala.
Bisa dibilang, sisi positif dari kelompok pesimis ini tak lain adalah mendorong agar timnya bisa menggali data lebih banyak. Pesimis yang positif biasanya juga beorientasi pada pencegahan.
Di dunia kerja, tidak ada tipe yang lebih baik atau lebih buruk. Masing-masing punya fungsinya dalam tim dan organisasi. Hal ini dijelaskan oleh psikolog sosial Heidi Grant dan E. Tory Higgins dalam artikel di Harvard Business Review berikut.
“Orang yang fokus pada pencegahan seringkali lebih menghindari risiko, namun pekerjaan mereka juga lebih menyeluruh, akurat, dan dipertimbangkan dengan teliti. Agar berhasil, mereka bekerja pelan-pelan dan cermat. Mereka biasanya bukan pemikir yang paling kreatif, namun memiliki kemampuan analisis dan pemecahan masalah yang sangat baik. Meskipun orang yang fokus pada promosi menghasilkan banyak ide, seringkali dibutuhkan seseorang yang berpikiran pencegahan untuk membedakan keduanya.”
Menarik juga ya, karyawan yang memiliki sifat pesimis ternyata dapat memberi keuntungan.
Meski begitu, memang tak semua orang dalam tim dapat melihat manfaat dari sikap pesimis ini. Akan lebih baik apabila orang yang berkarakter pesimis memperbaiki cara berkomunikasi menjadi lebih konstruktif agar lebih diterima oleh anggota tim.
Misalnya, alih-alih mengucap, “Ah, ini tidak akan pernah berhasil!” cobalah menyampaikan seperti ini, “Aku melihat beberapa risiko dari pendekatan ini yang perlu diskusikan bersama.”
Lala menjelaskan, karakter pesimis merupakan bawaan internal dari pengalaman, pola asuh, trauma, kejadian lampau yang membuat seseorang menjadi pribadi yang pesimis.
Ada berbagai alasan mengapa seseorang dapat memiliki mindset negatif. Bisa saja ia sedang kelelahan karena pekerjaan, ketidakpastian ekonomi, bekerja di lingkungan kantor toksik, atau merasa suaranya tidak didengar sehingga harus menggunakan komentar negatif untuk memperoleh perhatian atau kekuasaan.
Menurut penelitian oleh Eileen Chou dari University of Virginia, orang yang pesimis memiliki kendali atas sikap negatif mereka. Meski conventional wisdom menyatakan pemimpin harus bersikap suportif dan positif, dalam satu dekade terakhir muncul tren peningkatan jumlah penentang yang naik ke puncak kekuasaan.
Chou menyelidiki kemungkinan bahwa, terlepas kita ingin punya pemimpin yang selalu menyemangati, kita cenderung memilih pemimpin yang selalu berkata tidak alias berkarakter penentang.
Jika pesimisme disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat dikendalikan, orang pesimis sebenarnya dapat menyampaikan pada manajer atau pimpinan tentang pengurangan beban kerja. Harapannya, ia akan dapat menghabiskan waktu bersama orang terdekat agar lebih bersemangat untuk bekerja.
Memiliki kolega atau teman curhat dapat memudahkan kita bersikap lebih positif di depan umum. Bisa juga dengan menuangkan kekhawatiran kita ke dalam bentuk tulisan untuk meredakan kecemasan yang ada.
Meskipun pesimisme memiliki sisi positif, penelitian menunjukkan mereka yang memiliki sikap negatif lebih berpotensi mengalami kesulitan dibandingkan yang berpandangan lebih cerah.
Michelle Gielan, peneliti yang berfokus pada kebahagiaan dan kesuksesan, menyatakan, orang-orang yang optimis lebih bisa mengatasi burnout dan depresi, bahkan cenderung lebih sukses dalam karier.
Mereka lebih sedikit mengalami stres finansial daripada mereka yang pesimis. Mereka juga cenderung tidak terlalu terlibat dalam pekerjaan atau memiliki hubungan yang kuat dengan rekan kerja atau manajernya. Menerapkan sikap yang lebih positif di tempat kerja dapat memberi motivasi dan membuat hidup lebih mudah.
Well, tentu akan selalu ada waktu dan tempat untuk pesimisme. Bayangkan lusinan skandal perusahaan yang mungkin bisa dihindari jika para pemimpin mendengarkan pandangan orang-orang pesimis. Terlepas dari itu, bersikap sinis tanpa data dan solusi sebenarnya juga bukanlah hal baik.
Kuncinya tak lain adalah menemukan cara untuk meredakan pesimisme agar sifat ini dapat bermanfaat bagi tim dan orang di sekitar kita. Kamu setuju?
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi & Sekar Kinasih