Menuju konten utama

Shinzo Abe: yang Dekat, yang Diabaikan (Bagian III, Habis)

Rekam jejak kebijakan luar negeri Shinzo Abe membuatnya dikenang sebagai politisi yang pragmatis, sekaligus berjiwa globalis atau “internasionalis”.

Shinzo Abe: yang Dekat, yang Diabaikan (Bagian III, Habis)
Presiden Donald Trump bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di hotel InterContinental Barclay New York selama Sidang Umum PBB, Rabu, 25 September 2019, di New York. (Foto AP/Evan Vucci)

tirto.id - (Bagian pertama artikel ini dapat dibaca di tautan berikut, bagian kedua di tautan berikut).

Jepang kian aktif berdiplomasi di bawah administrasi Perdana Menteri Shinzō Abe yang mulai menjabat pada September 2006. Ia, misalnya, turut serta memprakarsai forum diskusi keamanan Quadrilateral Security Dialogue atau QUAD pada 2007. Anggotanya termasuk kekuatan ekonomi paling mapan di benua Asia dan Samudera Pasifik: Amerika Serikat, Australia, dan India.

Abe memelopori forum ini dengan dasar pandangan bahwa keamanan Jepang bakal terjamin apabila berkomitmen pada organisasi internasional dan menghormati prinsip keterbukaan dan aturan hukum.

Selain itu ada pula pertimbangan spesifik, yaitu agresivitas Cina di kawasan Pasifik. QUAD didirikan untuk mengimbangi ekspansi negara tersebut sampai-sampai sejumlah pengamat mengatakan forum itu tidak lain merupakan “NATO-nya Asia”.

Meskipun sempat mati suri tak lama setelah didirikan, QUAD berhasil dibangkitkan satu dekade kemudian dan pada tahun lalu untuk pertama kalinya menyelenggarakan pertemuan secara langsung.

Abe pertama kali menyinggung QUAD dalam konteks relasi Jepang-India. Ia paham betul pentingnya merangkul India, negeri yang suatu hari nanti akan menyalip Cina dalam hal jumlah populasi.

Di hadapan Parlemen India, Abe menyampaikan pidato berjudul “Pertemuan Dua Samudera”—merujuk India dari Hindia dan Jepang di Pasifik—tentang cita-cita mewujudkan “kebebasan dan kemakmuran” di tepi luar Eurasia. “Seiring Jepang dan India bersatu, ‘Asia lebih luas’ ini akan berkembang jadi jaringan besar yang mencakup seluruh Samudra Pasifik, menggabungkan AS dan Australia,” paparnya.

Setelah Narendra Modi berkuasa di India pada 2014, tak lama setelah Abe juga kembali berkuasa, relasi Jepang-India kian mesra. India menerima transfer pengetahuan tentang kereta cepat dan teknologi nuklir nonmiliter. Sementara Jepang diangkat jadi anggota permanen Malabar, latihan militer angkatan laut super kompleks yang awalnya hanya melibatkan India dan AS.

Di mata Abe, Modi adalah “salah satu kawan paling bisa diandalkan dan berharga.” Modi juga sayang pada Abe. Tokoh nasionalis Hindu ini bahkan mendeklarasikan hari berkabung nasional di India untuk menghormati Abe yang meninggal karena ditembak pada 8 Juli lalu.

Kisah bromance Abe dengan Donald Trump juga tak kalah menarik. Abe-lah pemimpin negara yang pertama datang langsung menyelamati pebisnis tersebut saat menang pemilu presiden 2016. Semenjak itu, sudah 42 kali mereka berbincang (termasuk via telepon), lima kali main golf (yang terakhir diabadikan dalam foto wefie dengan senyum sangat lebar), dan sekali nobar pertandingan sumo di Tokyo.

Berbekal kedekatan personal ini, Tokyo berhasil meyakinkan Washington untuk mendukung konsep mereka tentang keamanan Indo-Pasifik (administrasi Trump lantas mengadopsinya sebagai strategi Free and Open Indo-Pacific).

Meskipun relasi mesra dengan AS tidak serta-merta membuat mereka mau mencabut tarif ekspor besi dan aluminium Jepang, Abe dinilai sukses memberikan pemahaman pada Trump betapa relasi Jepang-AS yang kuat sebenarnya juga merupakan bagian dari kepentingan strategis dan keamanan AS.

Pemimpin negara besar lain yang Abe coba rangkul adalah Vladimir Putin (ditemui langsung lebih dari 25 kali). Langkah ini Abe lakukan untuk membuka jalur negosiasi terkait sengketa Kepulauan Kuril di utara Jepang. Wilayah ini berada di bawah kontrol Soviet/Rusia sejak direbut oleh Tentara Merah pada akhir Perang Dunia II. Perkara Kuril juga sudah jadi misi ayahnya Abe, Shintaro, yang menjabat Menteri Luar Negeri Jepang pada 1980-an.

Abe sudah mencoba beragam cara untuk meluluhkan hati Kremlin, dari mulai menawarkan hadiah anjing ke Putin, kerja sama ekonomi baru, sampai janji bahwa pasukan AS tidak akan bermarkas di tempat tersebut. Namun strategi itu sampai sekarang belum berhasil. Kuril tak juga kembali ke pelukan Jepang.

Menurut dosen ilmu politik dari Temple University James D. J. Brown, pendekatan yang Abe gunakan ke Rusia sudah jadi “kegagalan yang memalukan.” Pada dasarnya Rusia tidak punya alasan untuk menyerahkan Kuril ke Jepang. Sedari awal memang tidak pernah ada kesepakatannya, di samping Jepang bukan ancaman militer dan selama ini sudah jadi mitra dagang Rusia. Status quo Kuril juga dianggap efektif oleh Rusia untuk “menjinakkan” Jepang agar tidak terlalu berani atau galak pada mereka.

Hal ini bahkan masih tercermin pada diri Abe setelah tak lagi menjabat perdana menteri. Alih-alih mengecam keras invasi Rusia ke Ukraina, Abe justru menyebut Putin “pragmatis ekstrem” lalu menyamakannya dengan Oda Nobunaga, tokoh pemersatu Jepang abad pertengahan.

Kerja Sama Ekonomi

Selain politik dan keamanan, Abe juga meninggalkan banyak jejak kerja sama di bidang perdagangan.

Selama ini Jepang dikenal dengan citra proteksionis di sektor tersebut. Mereka cenderung fokus pada aktivitas ekspor sembari menjaga popularitas produk-produk domestik di dalam negeri. Mereka juga sangat paranoid dengan komoditas impor pertanian. Contohnya saja, beras dari luar negeri dibebani tarif sampai 778 persen.

Karena citra tersebut, bergabung dalam Trans-Pacific Partnership (TPP), perdagangan bebas antarnegara di sekitar Pasifik (sekali lagi, tidak termasuk Cina), tentu menjadi langkah yang cukup menantang. Melalui TPP, komoditas tani dan ternak seperti beras produksi California sampai daging sapi asal Australia berpotensi masuk ke Jepang. Tentu saja para petani dan peternak menjadi panik.

Abe muncul dengan menegaskan bahwa TPP penting untuk mendorong Jepang jadi lebih kompetitif di pasar dunia. Ia pun menenangkan warga dengan memasang jaring pengaman seperti kebijakan volume maksimum komoditas impor.

Setelah pemerintah AS era Trump meninggalkan TPP, Abe berjasa menghidupkannya lagi lewat inisiatif Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPATPP). Kerja sama ini diikuti 11 negara dengan total kekuatan ekonomi mencapai 14 triliun dolar.

Tak berhenti di situ, Abe juga memfinalisasi kesepakatan perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Ini Jepang banggakan sebagai perjanjian bilateral terbesar di dunia.

Di bawah pemerintahan Abe, relasi dagang dengan negara-negara Asia Tenggara juga mengalami kemajuan pesat. Salah satunya melalui ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP) yang pada 2018 direvisi untuk pertama kali agar jangkauannya lebih luas.

Jepang sudah melihat ASEAN sebagai mitra penting sejak relasi resmi dibangun pada 1977 silam. Sampai 2018, terdapat sedikitnya 13 ribu perusahaan Jepang beroperasi dan lebih dari 200 ribu warga Jepang bekerja di sepuluh negara ASEAN.

Kawasan ini, tak terkecuali Indonesia, juga menjadi basis industri manufaktur Jepang dan tujuan ekspor seiring situasi dunia dibuat tidak stabil oleh perang dagang Cina-AS dan pandemi Covid-19.

Kerja sama di bidang pertahanan turut Abe gencarkan dengan anggota ASEAN terutama yang bersengketa teritori dengan Cina, misalnya Filipina dan Vietnam. Sementara dengan Indonesia, kerja sama terkait transfer teknologi militer dari Jepang baru ditandatangani setelah Abe mengundurkan diri, yakni pada 2021 atau sekitar enam tahun setelah relasi Indonesia-Jepang sempat canggung karena keputusan administrasi Presiden Joko Widodo menerima pinangan Cina untuk membangun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Mereka yang “Diabaikan” Abe

Abe tak diragukan lagi proaktif berdiplomasi ke berbagai negara. Tapi ada beberapa pihak yang diabaikan, yang justru berstatus tetangga dekat. Mereka juga merasa terancam oleh tindak tanduk Abe.

Salah satunya, yang sudah sempat disinggung, adalah Cina. Mereka terusik dengan langkah Jepang baru-baru ini yang menaikkan anggaran militer untuk tahun anggaran 2022. Warisan administrasi Abe tersebut dituding oleh corong media pemerintah Cina, Global Times, sebagai upaya untuk “menjustifikasi ekspansi militer Jepang” yang justru berpotensi “menimbulkan ancaman hebat terhadap stabilitas regional.”

Abe memang jadi PM Jepang pertama yang berkunjung ke Beijing sejak 2011. Ketika itu, tahun 2018, Abe dan pemerintah Cina menyepakati lebih dari 50 proyek infrastruktur di negara-negara Dunia Ketiga. Nyaris 1.000 delegasi dari perusahaan Jepang yang mendampingi Abe juga berhasil mengamankan 500 kesepakatan dengan Cina senilai 2,6 miliar dolar.

Abe kala itu mengakui Cina sebagai mitra yang setara, bukan lagi negara penerima bantuan. Ia juga menyebut relasi kedua negara berubah dari kompetisi jadi kerja sama.

Ketika Abe meninggal, elite Cina menyampaikan belasungkawa dan cenderung menyorot berbagai kontribusi tersebut.

Namun, dipetik dari pemberitaan kematian Abe di Global Times, kenangan bagus itu terkubur di bawah ingar bingar sengketa Senkaku/Diaoyu, ritual Abe ke kuil kontroversial Yasukuni, penyangkalan tentang kebrutalan militer Jepang era perang, sampai sikap Abe yang pro-Taiwan. Media yang terkenal dengan gaya editorial blak-blakan itu bahkan nekat menampilkan foto Abe terkapar di jalan dengan darah di kemeja putihnya.

Sentimen anti-Jepang dan anti-Abe juga dilaporkan marak disuarakan publik Cina di laman Weibo. Banyak pemilik akun menyatakan senang dengan tragedi yang menimpa Abe, menyebut penembaknya sebagai “pahlawan”, sampai menganggap momen pembunuhan tersebut perlu dikenang sebagai “hari bersejarah”.

Administrasi Abe juga tidak meninggalkan kesan baik pada tetangga satunya lagi, Korea Selatan. Menurut survei pada November 2019, responden Korsel yang menyukainya hanya 3 persen, jauh di bawah Vladimir Putin (17 persen), Xi Jinping (15 persen), bahkan Kim Jong Un (9 persen).

Dilansir dari artikel S. Nathan Park di Foreign Policy, sebelum Abe berkuasa pada 2012, relasi Jepang-Korsel sebenarnya membaik secara signifikan. Jepang mengakui fakta tentang perempuan budak seks dan meminta maaf pada 1993. Pemerintah Korsel kemudian menghapus larangan siaran terhadap film-film dan musik Jepang. Pertukaran budaya terjadi, antara anime dan k-pop. Pada 2010, PM Jepang Naoto Kan mengulang permintaan maaf atas kolonialisme Jepang di Korea.

Ketika Abe berkuasa, tindak tanduknya yang tidak sensitif terhadap kejahatan militer Jepang merusak rekonsiliasi yang telah berlangsung panjang tersebut.

Pada 2015, administrasi Abe memang setuju menggelontorkan dana 10 miliar won untuk segelintir penyintas perbudakan seks yang masih hidup. Setahun kemudian, kedua negara sepakat memperkuat kerja sama di bidang keamanan dengan menandatangani General Security of Military Information Agreement (GSOMIA). Namun bukan berarti semua beres, catat Kyle Ferrier di The Diplomat.

Publik Korea masih mengkritisi penyelesaian isu budak seks yang tidak melibatkan para penyintas dan dilihat sekadar sebagai bantuan kemanusiaan alih-alih deklarasi legal atau reparasi resmi pemerintah Jepang. Situasi kian muram setelah Mahkamah Agung Korsel pada 2018 meminta raksasa korporat Jepang—Mitsubishi Heavy Industries, Nippon Steel, Sumitomo Metal—agar membayar kompensasi pada warga Korea yang dipaksa jadi buruh selama Perang Dunia II.

Abe membalasnya lewat jalur perdagangan: memperketat ekspor bahan kimia untuk industri pembuatan semikonduktor di Korsel. Pemerintah Korsel juga mengancam keluar dari GSOMIA. Ketegangan ini akhirnya mereda setelah Washington turun tangan—meskipun aura permusuhan kedua pemerintahan tetap terasa.

Bagaimana dengan Korea yang lain, Korea Selatan?

Kebijakan Abe untuk negara tersebut tidak pernah terpisah dari dari kasus penculikan warga Jepang oleh mata-mata Pyongyang pada dekade 1970-1980. Jepang mengatakan ada 17 warga mereka yang diculik sepanjang periode tersebut dan baru lima yang kembali.

Melansir studi sejarawan Haruki Wada di The Asia-Pacific Journal (2022), dalam pidato tahun 2006 Abe mengemukakan tiga prinsipnya terkait Korut. Pertama, bahwa penculikan tersebut adalah “masalah terbesar yang Jepang hadapi.” Kedua, bahwa “tidak akan ada normalisasi hubungan dengan Korea Utara tanpa adanya resolusi untuk masalah penculikan.” Prinsip ketiga adalah keyakinan bahwa “semua korban penculikan masih hidup, dan semua harus dipulangkan.”

Berpegang pada prinsip ketiga, Abe menolak pengakuan Pyongyang dan temuan investigasi tim Jepang sendiri, bahwa delapan korban penculikan yang tidak kembali sudah meninggal dunia. Meskipun pada 2019 Abe mengaku siap berdialog dengan Kim Jong-un, langkah tersebut tak pernah terealisasi.

Kasus penculikan itulah, ditambah dengan aktivitas senjata nuklir dan rudal Korut, yang membuat Jepang terus memusuhi Korut dan menghujani mereka dengan sanksi.

Infografik Mild Shinzo Abe di Mata Dunia

Infografik Mild Shinzo Abe di Mata Dunia. tirto.id/Tino

Siapakah Abe?

Rekam jejak kebijakan luar negeri Shinzo Abe membuatnya dikenang sebagai politikus yang pragmatis sekaligus berjiwa globalis atau “internasionalis”. Kiprahnya memperluas jaringan kerja sama dagang dan pertahanan berhasil meningkatkan daya tawar Jepang sebagai salah satu kekuatan geopolitik dunia.

Sedangkan di dalam negeri, Abe relatif mudah diingat sebagai nasionalis garis keras yang tidak sensitif terhadap riwayat kekejaman militer Jepang era perang dan mudah menaruh curiga terhadap dunia pers yang kritis.

Di balik pro-kontra warisan kebijakannya, Abe adalah perdana menteri paling lama yang pernah berkuasa: total 3.188 hari atau nyaris sembilan tahun, melebihi masa kerja Katsura Taro (dari era kekaisaran awal abad ke-20) dan Sato Eisaku (masih berkerabat dengan Abe, berkuasa 1964-1972).

Di Jepang, kursi perdana menteri bukanlah tempat yang nyaman diduduki dalam jangka waktu lama. Sejak era Perang Dunia II, hanya lima orang yang mampu mempertahankannya selama lima tahun atau lebih. Sejak 1987, Jepang sudah ganti perdana menteri sepuluh kali (termasuk yang cuma bertahan dua bulan).

Budaya politik menuntut tanggung jawab besar di pundak elite pejabat. Akibatnya, politikus cenderung mudah malu dan bergegas mundur begitu publik mengkritisi kinerjanya dan mendorong popularitasnya turun.

Meskipun bukan tanpa cacat, administrasi Shinzō Abe selama periode 2012-2020 patut diakui sukses menciptakan stabilitas politik di negeri yang lama terombang-ambing dalam stagnasi ekonomi dan kerap tertimpa bencana alam.

Baca juga artikel terkait SHINZO ABE atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino