tirto.id - Tepat pada 9 Januari 2007, dalam konferensi Macworld yang digelar Apple, Steve Jobs meluncurkan iPhone—sebuah perangkat yang baginya merupakan: “Sebuah iPod, sebuah telepon, dan sebuah komunikator.”
Di lain pihak, Jacquie McNish, melalui bukunya berjudul “Losing the Signal: The Untold Story Behind the Extraordinary Rise and Spectacular Fall of Blackberry”, menyebut bahwa Google dan Research in Motion (RIM), perusahaan di balik BlackBerry, merespons berbeda 180 derajat atas kemunculan produk baru Apple itu.
Dengan condong mengekor BlackBerry, yang masih menjadi raja ponsel pintar kala itu, Google putar haluan. Mereka mengubah Android, proyek penciptaan sistem operasi mobile yang dibeli dari Andy Rubin pada 2005, menjadi serupa iOS, sistem operasi di balik iPhone.
RIM memang berbeda. Mereka menyebut "tidak ada sesuatu yang segera perlu dilakukan". Perusahaan asal Kanada ini masih percaya diri terhadap BlackBerry. iPhone, si anak baru di dunia ponsel pintar, dianggap bukan ancaman.
Tahun berlalu, RIM yang kemudian berganti nama sebagai “BlackBerry” itu mati kutu. Pada 2016, BlackBerry tidak bisa lagi bernapas di percaturan ponsel dunia. Saat itu, mereka hanya memperoleh 0,1 persen pangsa pasar ponsel pintar di seluruh dunia. RIM juga menempuh pilihan bisnis sulit dengan menjual dua unit utama bisnis konsumennya: BlackBerry Messenger (BBM) dan merek dagang “BlackBerry”.
Sementara di saat yang bersamaan, Google melalui Android sukses menjadi raja ponsel pintar dengan menguasai 88 persen pasar ponsel dunia.
Sayangnya, status penguasa yang dimiliki Google mengandung cela. Meskipun pula menjadi pemilik sah, data yang diungkap Statista menyebut bahwa Samsung-lah penguasa Android sesungguhnya. Hingga kuartal 3-2019 silam, Samsung menguasai 21,8 persen pangsa pasar Android, unggul dibandingkan Huawei, Xiaomi, OPPO. Melalui produk bernama Pixel, Google terbenam di dasar percaturan Android.
Tidak dapat dipungkiri, memang, melalui Android banyak ponsel pintar dari berbagai pabrikan lahir dengan mengusung tema berbeda-beda.
Xiaomi, misalnya, melalui seri Redmi mempopulerkan fakta bahwa ponsel Android yang baik juga sanggup berharga murah. Lalu OPPO, lewat seri Find, menancapkan taringnya sebagai pabrikan ponsel yang menyasar konsumen penikmat fotografi ponsel, khususnya swafoto. Sementara ada pula Amazon dengan Fire Phone: ponsel yang memodifikasi Android untuk melahirkan sistem operasi-nya sendiri.
Akan tetapi, di balik kemunculan ponsel Android dengan beragam tema lahir, fakta menohok tak bisa dipungkiri: revolusi ponsel mentok di tangan generasi pertama iPhone yang lahir pada 2007 silam. Pada dekade ini, ponsel hanya berputar-putar soal bertambahnya sensor, layar yang diperlebar, kamera yang dipertajam, dan sejenisnya.
Pertanyaannya, mengapa meskipun banyak ponsel pintar yang lahir, citra “wow” tetap milik iPhone First Generation?
Era iPhone
Dalam “The Mistakes That Cost BlackBerry Its Crown”, disebutkan alasan utama mengapa BlackBerry gagal: mereka tidak adaptif pada perubahan.
Tatkala iPhone lahir, Jobs menyebut iPhone tidak merevolusi dunia ponsel, tetapi merevolusi cara manusia berinteraksi dengan ponsel. Dulu, diwakili BlackBerry, manusia berinteraksi dengan ponsel melalui tut-tut di keyboard. Sementara via iPhone, interaksi terjadi sepenuhnya melalui tombol-tombol di layar: touchscreen.
Di sisi lain, BlackBerry baru merilis ponsel dengan konsep layar sentuh pada akhir 2008 melalui BlackBerry Storm. Kemunculan itu terlambat, tentu saja. Terlebih, Apple pun tidak hanya membawa perubahan tentang cara interaksi manusia-komputer, melainkan juga terkait aplikasi.
Pada 2007, saat iPhone pertama kali meluncur, pengguna hanya disodorkan aplikasi bawaan Apple. Namun, dengan Safari, peramban bawaan iPhone, Jobs mengatakan bahwa pengguna iPhone “akan mendapatkan apapun jika bisa mengkoding aplikasi dengan standar web alias web app.”
Evan Doll, salah seorang teknisi pencipta iOS, yang kemudian mendirikan Flipboard, berpendapat lain. Menurutnya, untuk dapat benar-benar membuat iPhone jauh bermanfaat, bukan hanya web app yang seharusnya dihadirkan iPhone, tetapi juga aplikasi native. Doll menyebut hal itu akan mampu “menghadirkan user experience (UX) optimal bagi pengguna.”
Mendengar saran Doll, pada Juli 2008, bersamaan dengan dirilisnya iPhone Generasi Kedua, Apple merilis App Store, toko aplikasi iPhone, lengkap dengan iOS SDK, suatu kit atau petunjuk bagaimana menciptakan aplikasi native bagi iPhone.
Di awal kemunculan App Store, hanya ada 500 aplikasi iPhone yang dibuat pengembang pihak ketiga. Perlahan, melalui iOS ADK, berbagai aplikasi iPhone buatan pihak ketiga satu per satu muncul merevolusi dunia. Tengoklah Google Maps, Flipboard, Instagram, Uber, AirBnB, hingga WhatsApp, yang kesemuanya lahir dari rahim iPhone, bukan Android.
iPhone, secara sederhana, merupakan penanda lahirnya era ke-3 dunia ponsel. Era yang benar-benar mengubah bagaimana ponsel-manusia berinteraksi.
Mentok di Era ke-3
Era pertama dunia ponsel lahir tatkala Martin Cooper, veteran perang yang akhirnya bekerja untuk Motorola, menciptakan Motorola DynaTAC (Dynamic Adaptive Total Area Coverage) pada 3 April 1973. Ponsel tersebut berukuran 9 inci dengan berat 2,5 pounds yang mampu digunakan untuk menelepon selama 35 menit dalam sekali pengisian baterai dan menghabiskan waktu 10 jam.
Sebelum DynaTAC lahir, untuk berkomunikasi secara mobile orang memerlukan fixed-phone yang dipasang pada mobil. Cara itu sukar dan mahal dilakukan. Paling tidak, untuk memperoleh layanan ponsel di mobil, seseorang harus merogoh kocek dari $2.500 hingga $4.000, belum termasuk biaya per panggilan yang dilakukan.
DynaTAC merevolusi dunia komunikasi mobile yang sukar dilakukan dan berbiaya mahal. Meski harga ponsel DynaTAC juga cukup mahal, hampir menyentuh $4.000, namun, biaya berlangganannya terhitung murah, sekitar $50 per bulan.
Cooper melakukan panggilan pertama kali via DynaTac pada April 1973. Adalah Joel S. Engel yang dihubunginya kala itu. Percakapan bersejarah itu sejatinya tidak terlalu mengesankan. Kepada CNN, Cooper mengatakan: "Saya tidak ingat persis apa yang dia katakan, tapi untuk sesaat tidak terdengar apa-apa. Asumsi saya adalah dia gemetaran."
Mungkin Cooper tidak sadar bahwa kala itu bukan hanya Engel yang gemetar, tapi juga seluruh dunia.
Selepas DynaTAC sebagai penanda era pertama ponsel, era-1.5 kemudian diciptakan Nokia melalui Nokia 1011. Untuk pertama kalinya pula komunikasi mobile tidak hanya dilakukan melalui suara, tapi juga teks singkat alias via SMS (Short Message Service).
Sementara itu, kelahiran BlackBerry, yang menggabungkan ponsel dengan kerja profesional, menjadi penanda lahirnya era ke-2 dunia ponsel.
BlackBerry memang bukan yang pertama menggabungkan mobilitas ponsel dengan kerja profesional. Apple, melalui Newton, sudah lebih dulu melakukan hal tersebut. Akan tetapi, BlackBerry terhitung lebih sukses karena memunculkan fitur notifikasi (push notification) pertama kali muncul pada 2003.
Pada perangkat BlackBerry, fitur notifikasi hadir dalam aplikasi email dan pengguna tidak perlu sering-sering masuk ke inbox. Mereka hanya perlu melihat notifikasi yang muncul untuk memutuskan apakah layak ditindaklanjuti atau sebaliknya. Dengan sistem begitulah BlackBerry dianggap memudahkan kerja profesional.
Lalu, hadirlah iPhone yang menandai era ke-3 dunia ponsel. Sialnya, selepas iPhone merevolusi dunia ponsel, hingga kini tidak ada lagi perkembangan yang berarti. Atas ketiadaan revolusi yang tersebutlah, maka tak heran jika Gartner, perusahaan riset teknologi informasi dan firma penasihat asal AS, menyebut: penjualan ponsel menurun.
Editor: Eddward S Kennedy