tirto.id -
Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Eddy Hussym mengatakan, pembatasan dengan dalih melindungi konsumen dari produk-produk yang dianggap berbahaya itu akan merugikan banyak korporasi.
Selain dianggap membatasi ruang gerak pengusaha, kebijakan itu juga dinilai bakal menimbulkan risiko-risiko Iain, mulai dari pemboncengan reputasi, pemalsuan hingga menjamurnya produk ilegal.
"Ujung-ujungnya akan merusak iklim persaingan usaha,” ujar Eddy dalam diskusi bertajuk 'Tren Peraturan GIobal yang Mengancam Masa Depan Merek' yang digelar di kantor Apindo, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (2/10/2019).
Apalagi, bagi sejumlah produk, pencantuman merek dibutuhkan untuk menciptakan "keterikatan" antara produsen dan konsumen.
Pembatasan, menurut Eddy, justru akan mempersulit brand baru saat bersaing dengan brand yang sudah lebih dahulu ada. "Ini yang sebisa mungkin kami hindari," terangnya.
Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Rachmat Hidayat, menilai kebijakan tersebut akan menghambat pertumbuhan industri di dalam negeri jika diterapkan.
“Tidak bijak rasanya, jika pemerintah membatasi hak seluruh konsumen berdasarkan satu sudut pandang saja," tutur Rachmat.
Sebab, menurutnya, konsumen berhak memilih produk yang diinginkan lantaran industri selalu menuliskan komposisi bahan apa saja yang dibuat untuk setiap produk terutama makanan dan minuman.
"Sudah sepantasnya kita sebagai pelaku usaha yang bertanggung jawab menyediakan produk terbaik bagi masyarakat, untuk mengambil sikap atas aturan yang dampaknya bisa merugikan kedua belah pihak," kata dia.
Ditolak Industri Rokok
Ia bilang, aturan soal penghapusan brand agar item tak menjadi menarik tak perlu lagi dilakukan.
Pasalnya, melalui Peraturan Pemerintah nomor 109/2012, produsen produk tembakau sudah diwajibkan untuk mencantumkan peringatan kesehatan, yakni gambar dampak buruk merokok yang komposisinya 40 persen dari total display kemasan.
Bahkan, saat ini, Kementerian Kesehatan sedang mengusulkan untuk menaikkan komposisinya menjadi 90 persen kemasan tanpa alasan kajian yang jelas.
Padahal, sebagai industri yang legal, Industri Hasil Tembakau (IHT) memiliki hak komunikasi sebagaimana Putusan MK No. 6/PUU-Vll/2009 merujuk Pasal 28F UUD 1945.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana