tirto.id - Kompetisi Indonesia Soccer Championship (ISC) baru dimulai pada 29 April 2016 lalu. Belum berjalan setengah putaran, kompetisi sudah diwarnai sejumlah insiden yang tak hanya menimbulkan korban luka, tetapi juga korban jiwa. Kali ini bukan hanya ribut antar suporter klub seperti yang biasa terjadi, tetapi juga melibatkan unsur militer dan kepolisian.
Insiden rakyat versus polisi terbaru terjadi pada 24 Juni 2016 saat laga Persija Jakarta melawan Sriwijaya FC di Stadion Gelora Bung Karno (SUGBK). Pendukung tim Macan Kemayoran atau yang dikenal sebagai The Jakmania, terlibat bentrokan fisik dengan aparat kepolisian.
Hasilnya, seorang pedagang minuman menjadi korban tewas. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar (Kombes) Krishna Murti, melalui akun Instagram-nya menyebut bahwa penyebab kematian pedagang tersebut adalah karena dikeroyok oleh suporter.
Namun, keterangan berbeda justru disampaikan oleh pihak kepolisian secara resmi. Kepala Bidang Humas Poldra Metro Jaya, Kombes Awi Setiono, menegaskan bahwa tewasnya pedagang itu disebabkan serangan jantung lantaran terkejut melihat pecahnya keributan di stadion.
Kerugian lain yang ditimbulkan akibat bentrokan di SUGBK adalah rusaknya sejumlah fasilitas stadion. Direktur Pembangunan dan Pengembangan Bisnis SUGBK, Gatot Tetuko, menyebutkan beberapa fasilitas stadion yang mengalami kerusakan antara lain gerbang VIP timur, kaca, kursi penonton stadion, hingga taman yang porak-poranda karena terinjak-injak.
Ketua Panitia Pelaksana (Panpel) Persija Jakarta, Bobby Kusuma Hadi, tidak menampik fakta tersebut. Namun, ia belum bersedia membeberkan rinciannya. Yang jelas, manajemen Persija harus mengeluarkan uang sedikitnya 50 juta rupiah untuk mengganti kerugian kepada pihak SUGBK.
Selain itu, lebih dari 17 kendaraan tidak luput dari sasaran amuk suporter, baik yang dirusak maupun dibakar, termasuk 1 unit kendaraan dinas milik polisi. Ditambah beberapa lapak di sekitar stadion yang mengalami aksi penjarahan dan juga pengrusakan.
The Jakmania vs Polisi
Tercatat ada 6 polisi yang menjadi korban aksi kekerasan suporter dalam insiden di SUGBK tersebut. Sebanyak lima orang mengalami luka serius, satu korban lainnya kritis karena tindak pengeroyokan. Kepolisian langsung mengamankan 155 anggota The Jakmania terkait kejadian ini.
Dari pihak kepolisian, Brigadir Hanafi mengalami nasib paling tragis. Ia harus kehilangan mata kirinya akibat penganiayaan tersebut. "Bola mata kirinya sudah tidak bisa digunakan dan harus diangkat," jelas Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Awi Setiyono, Rabu (29/6/2016), seperti dikutip dari Kompas.
Mirisnya, para pelaku dengan bangga mengabadikan peristiwa brutal tersebut. Mereka berfoto dengan Brigadir Hanafi yang sudah tidak berdaya dan mengunggah foto-foto sadis itu di sosial media. Aparat pun segera bergerak menciduk para pelaku dan menetapkan 10 orang suporter Persija sebagai tersangka.
Mengapa para suporter yang ditengarai sebagai anggota The Jakmania itu bisa bertindak sebrutal itu terhadap polisi? Aroma balas dendam pun menyeruak. Pasalnya, bukan sekali ini saja pendukung Persija bermasalah dengan aparat di kompetisi ISC yang baru beberapa pekan bergulir.
Tanggal 15 Mei 2016, juga di SUGBK saat laga antara Persija kontra Persela Lamongan, seorang suporter tim Macan Kemayoran bernama Muhammad Fahreza meregang nyawa. Dikutip dari Antara, pihak keluarga dan sejumlah rekan korban meyakini bahwa Fahreza tewas akibat dianiaya beberapa petugas kepolisian.
Apakah insiden pertama tanggal 15 Mei 2016 dengan kejadian kedua pada 24 Juni 2016 ada keterkaitan? Memang belum ada pernyataan resmi dari Polri atau dari otoritas The Jakmania maupun Persija. Namun, perbincangan di jejaring sosial cukup ramai yang membahas tentang kemungkinan itu.
Yang pasti, faktanya adalah bahwa suporter yang terdiri dari masyarakat sipil sudah berani beradu fisik dengan polisi yang merupakan aparat keamanan. Tidak dapat dipungkiri, insiden semacam ini berpotensi bisa terulang lagi jika masih ada rasa dendam di antara mereka.
Ultras Mania Gresik vs Tentara
Di Gresik, Jawa Timur, terjadi pula bentrokan rakyat sipil kontra militer. Laga ISC antara tuan rumah Persegres Gresik United melawan PS TNI pada 22 Mei 2016 diwarnai aksi baku-hantam antara kedua belah suporter, yakni pendukung tuan rumah yang terhimpun dalam Ultras Mania dengan penyokong PS TNI yang tentu saja terdiri dari para serdadu.
Nyaris mirip seperti kasus The Jakmania versus polisi di Jakarta, kericuhan yang terjadi di Stadion Petrokimia Gresik juga sama sekali tidak bersinggungan langsung dengan pertandingan yang sedang digelar. Bermula dari saling olok lantaran penyebab yang masih simpang-siur karena masing-masing pihak punya versi sendiri-sendiri, pecahlah bentrok fisik antara kedua kubu.
Laga yang baru berjalan beberapa menit pun terpaksa dihentikan sementara. Lebih dari 50 orang pendukung Persegres Gresik United harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami luka-luka, banyak di antara mereka yang patah tulang terkena pukulan ataupun tendangan suporter PS TNI.
Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) yang juga Presiden Direktur PS TNI, Edy Rahmayadi, telah meminta maaf . Namun, ia mencurigai ada hal-hal non-teknis di belakang insiden tersebut.
"Saya menyesal sekali, saya minta maaf. Saya berjanji itu tidak akan terjadi. Apapun persoalannya, tapi banyak hal yang membuat itu terjadi," ucap Edy Rahmayadi kepada Goal.
Terjadinya sejumlah insiden di tengah digulirkannya kompetisi ISC yang belum seumur jagung tentunya menjadi hal yang kontraproduktif bagi persepakbolaan nasional yang baru saja terbebas dari pembekuan oleh pemerintah dan skorsing dari FIFA.
Terlebih lagi, bentrokan “model baru” ini melibatkan unsur sipil dengan militer kendati kericuhan “konvensional” antar kelompok suporter juga masih tetap terjadi. Sebut saja bentrok antara pendukung PSS Sleman melawan suporter PSIM Yogyakarta pada 22 Mei 2016 lalu, tanggal yang sama dengan insiden di Gresik.
Dua kelompok suporter klub peserta Indonesia Soccer Championship B (ISC B, kompetisi kasta kedua) yang sama-sama berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini memang kerap terlibat perselisihan. Insiden terbaru tersebut memakan korban satu orang tewas dari kubu pendukung PSS Sleman.
Militer di Sepakbola Indonesia
Mulai ikut sertanya institusi militer dan aparat keamanan dalam kancah persepakbolaan profesional di Indonesia tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu faktor yang membuka peluang terjadinya gesekan langsung antara rakyat sipil dengan polisi atau tentara.
Ya, saat ini ada dua klub profesional yang lahir dari militer dan kepolisian di kompetisi sepakbola tanah air, yaitu PS TNI dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Bhayangkara Surabaya United dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
PS TNI lebih dulu melibatkan diri di level tertinggi persepakbolaan nasional ketimbang Bhayangkara Surabaya United atau yang sebelumnya bernama PS Polri. Tak tanggung-tanggung, PS TNI dikomandani langsung oleh Edy Rahmayadi yang saat ini masih menjabat sebagai Pangkostrad.
Klub yang merekrut cukup banyak pemain muda berbakat jebolan Timnas Indonesia U-23 dengan iming-iming kemapanan karier sebagai anggota tentara ini mulai unjuk gigi di turnamen Piala Jenderal Soedirman. Ajang ini memang digagas oleh TNI untuk mengisi kekosongan akibat vakumnya kompetisi Indonesia Super League (ISL).
Di turnamen yang berlangsung dari November 2015 hingga Januari 2016 itu, PS TNI menjadi satu-satunya klub amatir dari 15 tim peserta. Adapun 14 kontestan lainnya adalah klub-klub profesional yang biasa berkecimpung di level tertinggi persepakbolaan nasional.
PS TNI awalnya bersinergi dengan PSMS Medan supaya lebih nyaman mengikuti turnamen. Namun, pada akhirnya tim ini menjadi klub profesional setelah TNI mengakuisisi Persiram Raja Ampat untuk mendapat jatah tampil di kompetisi kasta tertinggi di Indonesia saat ini, yaitu Indonesia Soccer Championship A (ISC A) 2016.
Tak mau kalah dengan TNI, Polri juga melakukan taktik serupa. Dibentuklah PS Polri dengan menggaet para pemain muda berbakat jebolan Timnas Indonesia U-19, dengan janji diberi kemudahan untuk menjadi anggota polisi. PS Polri semakin sangar karena merekrut pula sejumlah pesepakbola top, baik pemain lokal maupun asing, tentunya dengan dana yang tidak sedikit.
Sama dengan TNI, Polri kemudian menggelar turnamen bertajuk Piala Bhayangkara yang dihelat mulai 17 Maret hingga 3 April 2016. Masih serupa dengan strategi TNI, PS Polri dilibatkan bersama 8 klub profesional ditambah PS TNI yang juga diikutkan di ajang ini.
Jika PS TNI bersulih-rupa dari Persiram Raja Ampat agar bisa menjadi klub profesional, PS Polri memilih untuk membeli sebagian besar saham Surabaya United, klub yang sebelumnya sempat memakai nama Persebaya Surabaya meskipun tersangkut dualisme dengan Persebaya 1927. Hasil merger ini melahirkan wajah baru PS Polri dengan nama Bhayangkara Surabaya United.
Jadilah, dengan kekuatan uang dan kekuasaan, TNI dan kepolisian turut berkiprah di kancah sepakbola nasional. PS TNI dan Bhayangkara Surabaya United pun kini berdiri sejajar dengan klub-klub legendaris macam Persib Bandung, Persija Jakarta, Persipura Jayapura, Arema, dan lainnya.
Namun, dampak yang berpotensi timbul tidak sesederhana yang dibayangkan. Buktinya pun sudah ada dengan terjadinya bentrokan antara kaum sipil dengan anggota militer dalam konteks sepakbola seperti yang terjadi di Jakarta dan Gresik.
Anggota polisi maupun tentara seharusnya berperan sebagai pihak yang mengamankan jalannya pertandingan. Tapi kali ini, mereka juga memposisikan diri sebagai pelaku sepakbola, baik sebagai pemain di lapangan maupun selaku suporter yang berbondong-bondong datang ke stadion untuk mendukung klubnya sesuai instruksi.
Situasi ini sangat berpotensi menimbulkan gesekan dengan pesepakbola atau suporter dari klub profesional yang sesungguhnya seperti yang telah terjadi dalam beberapa pekan terakhir. Belum lagi beres berbenah, boleh jadi sepakbola Indonesia akan menuai lebih banyak masalah.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti