tirto.id - Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2017 di beberapa daerah masih mengalami beberapa masalah dalam pelaksanaannya. Salah satunya temuan Ombudsman RI dalah pelaksanaan PPDB di DKI Jakarta yang tidak mengacu pada aturan Permendikbud No 17 tahun 2017 .
Pimpinan Ombudsman RI Ahmad Suaedy menyatakan, pelaksanaan PPDB yang tak mengacu aturan Permendikbud itu sebagai permasalahan yang paling prinsipil. Persoalan ini paling mendasar karena akan berakibat fatal pada maladminsitrasi secara sitemik.
"Dengan tidak mengacu pada Permendikbud itu bisa menciptakan permasalahan yang prinsipil menurut saya. Itu dapat berakibat pada permasalahan maladministrasi yang sistemik. Masih banyak di daerah yang tidak mengacu kepada Permendikbud 17 tahun 2017, bahkan ada kepala sekolah yang jelas menolak," kata Suaedy di Kantor Ombudsman RI, Senin (10/7/2017).
Pada hari ini, Ombudsman RI merilis data temuan masalah akibat pelaksanaan PPDB yang tidak mengacu pada Permedikbud 17 tahun 2017. Wilayah Jakarta, dikatakan Suaedy, secara menyeluruh jelas tidak mengacu pada peraturan tersebut. Sedangkan di daerah lain, menurut Suaedy, hanya tidak mengacu secara sebagian saja, seperti soal zonasi yang juga diatur dalam Permendikbud tersebut.
Pelaksanaan PPDB di Jakarta menggunakan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan No. 373 tahun 2017 yang diterbitkan tanggal 21 Maret 2017. Aturan ini mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 133 tahun 2015.
Terdapat tiga kali perubahan Keputusan Dinas Pendidikan DKI Jakarta tentang PPDB 2017. Perubahan pertama adalah terbitnya Keputusan No 497 tahun 2017 pada 28 April 2017; perubahan kedua terbitnya Keputusan No. 604 tahun 2017 pada 29 Mei 2017; dan, ketiga terbitnya Keputusan No. 680 tahun 2017 pada 16 Juni 2017.
Akibat perubahan peraturan yang menjadi dasar pelaksanaan PPDB itu, menurut Suaedy, dari temuan Ombudsman RI terdapat tiga hal yang dipandang maladministrasi.
Pertama, terganggunya kesiapan calon peserta didik baru karena dengan perubahan itu jadwal juga ikut berubah. Kedua, terdapat ketidaksesuaian jumlah rombongan belajar pada setiap kelas, dan ketiga, terkait kerancuan terkait jalur prestasi lainnya yang memiliki kuota maksimum sebanyak 25 persen dari persentase 15 persen seperti halnya dalam Keputusan Kepala Dinas Pendidikan No 604 tahun 2017 poin 6c.
Indikasi Kolusi dalam Pelaksaaan PPDB
Ombudsman RI juga menemukan adanya perbedaan jumlah kuota rombongan belajar setiap kelas dengan yang telah diatur Permendikbud. Suaedy menyebut terdapat indikasi kolusi.
"Kami melihat ini bisa berpotensi terdapat kolusi, meskipun sampai saat ini belum ada laporan soal itu di DKI Jakarta," kata Suaedy.
Dalam Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta No 373 tahun 2017, disebutkan bahwa kuota maksimal jumlah rombongan belajar sebanyak 32 peserta untuk tingkat SD, sedangkan dalam Permendikbud No 17 tahun 2017 ditentukan minimal 20 peserta dan maksimal 28 peserta.
"Ini kelebihan 4 peserta. Dari mana? Harus dipertanyakan juga, apakah nanti mereka bisa terdaftar sebagai siswa nasional atau tidak? Mendapatkan jaminan siswa nasional atau tidak? Jangan sampai malah merugikan hak siswa karena menyalahi Permendikbud," kata Suaedy.
Terkait hak siswa pula, Suaedy menyoroti perihal masih digunakannya sistem nilai UN dalam PPDB DKI 2017. Menurutnya, hal itu akan melanggar hak siswa dan sekolah. Karena, dengan begitu akan banyak siswa yang tersingkir dan tidak bisa mendapat hak sekolah di sekolah pemerintah.
"Kalau memakai zonasi, itu akan lebih memperhatikan hak siswa dan sekolah. Tidak akan ada itu yang pintar hanya bergerombol di satu sekolah favorit. Selain itu, akan ada pemerataan fasilitas bagi sekolah-sekolah kelas gurem di pinggiran," jelas Suaedy.
Dalam sistem zonasi yang diatur oleh Permendikbud No 17 tahun 2017, dikatakan setiap sekolah mesti menerima setidaknya 90 persen dari siswa yang berdomisili di wilayah sekitar sekolah tersebut.
Menanggapi temuan-temuan tersebut, Kepala Pusdatakomdik Dinas Pendidikan DKI Jakarta Maridi yang juga hadir dalam kesempatan yang sama, memberikan klarifikasi.
Maridi menyatakan tidak mengacunya Disdik DKI Jakarta pada Permendikbud yang berlaku karena berdasarkan FGD yang dilakukan oleh pihaknya dengan Pemprov DKI Jakarta, mereka baru akan melaksanakan Permendikbud mulai tahun depan.
"Perkara PPDB ini kan diburu waktu sesuai dengan jadwal tahun ajaran 2017/2018 dan Permendikbud 17 baru keluar bulan Mei. Sedangkan, proses PPDB harus ada payung hukumnya. Jadi, kami bikin peraturan agar tetap terlaksana sesuai jadwal Kemendikbud," kata Maridi di Kantor Ombudsman RI (10/7/2017).
Dirinya pun menyatakan tak akan mundur untuk tetap menggunakan peraturan yang telah mereka susun atas Pergub DKI Jakarta sebagai payung hukum PPDB 2017 DKI Jakarta.
"Hasil FGD kami begitu. Kami sudah memutuskan akan tetap melaksanakan Permendikbud tahun depan," katanya.
Sementara itu, terkait kuota prestasi yang rancu, Maridi menolak pihaknya tidak memiliki sistem terkait hal itu. Menurutnya, kuota maksimum 25 persen dari persentase 5 persen dalam PPDB jalur prestasi yang diatur Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta No. 604 tahun 2017 poin 6c telah mencakup soal itu.
"Kalau terkait jenis prestasi yang dimaksud, kami memang tidak mengaturnya. Karena, di lapangan misalnya, ada satu tim siswa berprestasi di bidang cheerleader tingkat internasional yang mendaftar di sekolah yang sama. Otomatis, yang berprestasi tingkat nasional seperti OSN akan tergeser," katanya.
Adapun terkait perubahan jadwal dan perubahan peraturan sampai tiga kali, Maridi menyatakan itu sehubungan dengan penyesuaian aplikasi.
"Itu berkaitan dengan penyesuaian aplikasi. Terutama terkait penjurusan di SMA. Itu belum ada di aplikasi. Sedangkan, kalau mau diubah harus ada payung hukumnya," kata Maridi.
Dirinya pun mengaku pihaknya telah melakukan sosialisasi dengan baik kepada calon peserta didik terkait perubahan-perubahan yang ada.
"Kami tidak hanya sosialisasi dengan memanggil pihak sekolah, tetapi juga melalui situs siapppdb.com dan disdik.jakarta.go.id. Bisa juga melalui posko pengaduan di sekolah," kata Maridi.
Terkait kuota jumlah rombongan belajar yang berbeda dengan Permendikbud, Maridi berkilah itu lantaran penyesuaian antara peraturan dengan fakta lapangan yang ada.
"Tentu peraturan tidak bisa sakdek saknyet dilaksanakan. Kami mesti juga mempertimbangkan hal-hal di lapangan. Seperti kelebihan bangku itu mau di kemanakan dan sebagainya," kata Maridi.
Dirinya pun berkeyakinan tidak ada kolusi atau penyelewengan seperti jual beli kursi di DKI Jakarta. Karena, menurutnya sistem online telah memungkinkan transparansi secara menyeluruh.
"Itu semua kan sudah diatur oleh aplikasi. Semua dikunci dalam aplikasi. Tidak akan ada yang dapat mengubah. Sekarang semua juga terbuka dan bisa dilihat prosesnya. Tidak mungkin ada jual beli kursi. Kami juga ada sistem pengawasan dan posko pengaduan di sekolah. Bisa juga langsung ke situs disdik.jakarta.go.id," jelas Maridi.
PPDB Online Masih Rawan Penyelewengan
Berbeda dengan keyakinan Maridi pada PPDB Online, Suaedy menyatakan sistem yang telah dilaksanakan sejak 2013 tersebut masih rawan terjadi penyelewengan. Karena, menurut Suaedy, dalam temuan Ombudsman RI tahun lalu, terdapat sejumlah penyelewengan dalam sistem ini, seperti adanya permainan dari pihak provider yang bekerjasama dengan oknum tertentu untuk memanipulasi nilai calon peserta didik.
"Potensi penyelewengan PPDB online kalau kita lihat di hari pertama pelaksanaan di sejumlah daerah itu server down. Yang seharusnya pendaftar itu bisa langsung input secara online hari itu, mereka harus daftar dulu secara manual, pulang dulu, nanti baru dikasih tanda terima, kemudian sore atau hari berikutnya. Ini potensi penyimpangan sangat tinggi di beberapa daerah," kata Suaedy.
Karena baru ditemukan penyelewengan pada tahun lalu, maka menurut Suaedy perihal PPDB online menjadi sorotan penting bagi Ombudsman RI tahun ini.
"Tahun kemarin itu tidak down (saja) ada penyelewengan, apalagi sekarang down, dugaan kami lebih parah," kata Suaedy.
Suaedy menyatakan tahun lalu pihaknya telah berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait penyelenggaraan PPDB dengan otoritas-otoritas yang bersangkutan, seperti Kemendikbud, Kementerian Agama dan Kemendagri.
Ketiga pihak tersebut, lantaran menurut Suaedy dalam proses PPDB terdapat persilangan otoritas. Lembaga pendidikan adalah otoritas kemendikbud, kebijakan pendidikan daerah menjadi otoritas pemerintah kota atau provinsi di bawah Kemendagri, sedangkan pendidikan agama menjadi otoritas Kementerian Agama.
"Oleh karena itu kami mengumpulkan tiga, yaitu Kemendikbud, Kementerian Agama, dan Kemendagri. Kami menyarankan agar ada pengawasan khusus. Bukan hanya soal online-nya, tapi juga terkait otoritasnya. Mereka berjanji bersedia melakukan pengawasan bersama," kata Suaedy.
Salah satu daerah yang memiliki keluhan terkait PPDB online akibat server down adalah Jawa Barat. Hal itu karena, menurutnya, berbeda dengan Jakarta yang sejak tahun lalu telah menggunakan server dari Telkom, Jawa Barat masih menggunakan server milik pemerintah dan dinas pendidikan.
"Tapi, memang soal PPDB online ini kami tidak bisa langsung menemukan penyelewengan sebelum ada hasil keluar. Kami harus lihat dulu hasil PPDB yang diumumkan. Misalnya, ada nama yang telah diterima, tapi tidak diambil itu akan dihapus atau tidak?," kata Suaedy.
Untuk mencegah terjadinya penyelewengan, Suaedy menyatakan pihaknya telah mengusulkan kepada Kemendikbud agar dilaksanakan PPDB secara nasional, bukan kedaerahan seperti sekarang.
"Kalau UN saja bisa, harusnya PPDB bisa," kata Suaedy.
Selain dua permasalahan tersebut, Suaedy juga menyatakan pihaknya telah menerima laporan dari 33 provinsi terkait penyelewengan dalam proses PPDB 2017.
"Banyak ya, ada pemalsuan surat keterangan miskin, intervensi pejabat, sampai MoU kuota siswa. Seperti ada anggota DPR di salah satu daerah yang menekan pihak sekolah untuk memasukkan anaknya atau kerabatnya. Makanya kami tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pihak sekolah, karena mereka juga mendapat banyak tekanan," katanya.
Namun, ia mengaku belum merekapitulasi laporan-laporan penyelewengan dari sejumlah daerah tersebut. Karena, sampai hari ini menurutnya data-data tersebut masih harus disusun.
"Kami belum tahu mana daerah yang paling banyak penyelewengan, karena datanya juga masih belum dikumpulkan," kata Suaedy.
Rencananya, Ombudsman RI akan menindaklanjuti temuan-temuan tersebut ke Kemendikbud pada akhir pekan ini. "Nanti akhir pekan ini kami laporkan ke Kemendikbud untuk ditindaklanjuti. Paling lambat minggu depan," pungkas Suaedy.
Di tempat terpisah, Mendikbud Muhadjir Effendy menyoroti praktik jual beli "kursi" pada sejumlah sekolah favorit. Muhadjir mengaku melarang keras praktik tersebut.
"Jangan sampai ada jual beli kursi, itu tidak boleh, dan saya melarang keras," kata Muhajir, usai menghadiri acara "Akhirussannah" di Pondok Pesantren Maskumambang Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Minggu (8/7/2017).
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri