tirto.id - Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU PBNU) dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah memutuskan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP). Mereka merasa tidak cocok dengan program buatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim itu.
Nadiem mengatakan POP adalah kebijakan turunan dari visi 'Merdeka Belajar'--yang diperkenalkan pada akhir tahun lalu. Organisasi yang tergabung ke dalam program ini, termasuk di antaranya yang disebutkan di atas, akan diminta bergotong royong meningkatkan kualitas pendidikan, yang menurut mantan bos Gojek ini belum menunjukkan perkembangan signifikan selama 20 tahun terakhir.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengalokasikan Rp567 miliar per tahun untuk program ini. Uang ini diberikan kepada organisasi terpilih untuk membiayai pelatihan atau kegiatan lain yang sesuai dengan visi program. Organisasi yang bergerak di kategori 'gajah'--menjalankan program di lebih dari 100 sekolah--akan mendapat uang maksimal Rp20 miliar per tahun, 'macan' (21-100 sekolah) Rp5 miliar per tahun, dan 'kijang' (5-20 sekolah) Rp1 miliar per tahun.
Situs resmi POP menyebut pada tahun 2020-2022, program ini ditargetkan dapat meningkatkan kompetensi 50 ribu guru di 5.000 sekolah hingga tingkat SMP.
Ketua LP Ma'arif NU Zainul Arifin Junaidi mengatakan mereka memutuskan undur diri karena program ini sudah janggal bahkan sejak awal. Salah satunya banyak sekali organisasi atau yayasan yang tidak jelas ditetapkan sebagai penerima POP.
Kejanggalan lain terkait adanya kesan Kemdikbud memaksa LP Ma'arif NU turut serta dalam program. Zainul bilang lembaganya diminta proposal pengajuan dana dua hari sebelum penutupan. Saat itu mereka menolak dengan alasan waktu yang mepet sementara syarat-syarat ada lumayan banyak. Namun pihak Kemdikbud bilang syarat-syarat tersebut bisa menyusul.
"Tanggal 5 Maret, lewat situs mereka, dinyatakan proposal kami ditolak," katanya kepada reporter Tirto, Kamis (23/7/2020).
Anehnya Kemdikbud kembali menghubungi mereka untuk melengkapi syarat-syarat. Ketika itu Kemdikbud meminta LP Ma'arif NU menggunakan badan hukum sendiri, bukan badan hukum NU. Permintaan ini ditolak. Lalu sehari kemudian Kemdikbud kembali menghubungi, kali ini meminta surat kuasa dari PBNU. "Kami terus didesak, akhirnya kami minta surat kuasa dan memasukkannya di detik-detik terakhir."
Dua hari lalu, Rabu, Kemdikbud kembali menghubungi. Kali ini LP Ma'arif NU diminta mengikuti rapat koordinasi. Zainul bilang undangan ini janggal karena "belum dapat SK penetapan penerima POP dan undangan." Ketika itulah ia mendapat daftar penerima POP, yang menurutnya banyak yang "tidak jelas."
Saat itulah LP Ma'arif NU bulat memutuskan tidak turut serta.
Meski demikian, Zainul menegaskan "kami tetap melaksanakan program penggerak secara mandiri." "Saat ini LP Ma'arif NU sedang fokus menangani pelatihan kepala sekolah dan kepala madrasah, 15 persen dari total sekolah/madrasah, sekitar 21 ribu," ujarnya.
Ketidakjelasan penerima dana juga jadi alasan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah undur diri dari POP.
"Tidak jelas karena tidak membedakan lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan ormas yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah," ujar Ketua Dikdasmen PP Muhammadiyah Kasiyarno dalam keterangan tertulis.
Ia menyebut detail siapa organisasi yang semestinya memberi, bukan mendapat bantuan: Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation. Dua organisasi ini mendapat bantuan kategori 'gajah'--Rp20 miliar per tahun.
"Kami mengusulkan agar Kemdikbud meninjau kembali surat tersebut (surat penetapan penerima dana POP 17 Juli Tahun 2020 Nomor 2314/B.B2/GT/2020). Untuk menghindari masalah yang tidak diharapkan di kemudian hari," ujarnya.
Meski menarik diri, sama seperti LP Ma'arif NU, Kasiyarno mengatakan Muhammadiyah akan tetap meningkatkan mutu pendidikan dengan cara mereka sendiri.
Sebagai informasi, Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah memiliki 30 ribu satuan pendidikan di seluruh Indonesia dan telah mengabdi sejak sebelum Indonesia merdeka, kata Kasiyarno.
Setelah LP Ma’arif NU dan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, keputusan serupa diambil oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) setelah menggelar rapat koordinasi pada 23 Juli kemarin.
Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi mengatakan organisasinya undur diri karena merasa POP bukan program yang semestinya diprioritaskan.
Menurutnya uang POP akan lebih bermanfaat jika dialokasikan langsung untuk membantu siswa, guru, dan penyediaan infrastruktur terutama di daerah 3T. Apalagi saat ini "pandemi COVID-19 datang meluluhlantakkan berbagai sektor kehidupan, termasuk dunia pendidikan dan berimbas pada kehidupan siswa, guru, dan orang tua."
PGRI juga menekankan agar Kemdikbud berhati-hati dan dapat mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran dengan benar.
Kemdikbud Gegabah
Pengamat pendidikan Dharmaningtyas mengatakan kasus ini menunjukkan Kemdikbud tidak memiliki kriteria jelas penerima manfaat.
Selain itu ia menilai Kemdikbud tidak memahami peta pendidikan nasional. LP Ma'arif NU dan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah menurutnya "tidak usah ikut kompetisi, kirim proposal, langsung dikasih bantuan saja" karena kerja mereka telah terbukti, apalagi jika dibandingkan dua organisasi yang dipermasalahkan.
Ia juga menyatakan sebaiknya pihak-pihak swasta ditempatkan di luar program. "Kalau begitu pasti tidak akan menimbulkan kontroversi," ujarnya kepada reporter Tirto.
Sementara Ketua Komisi X DPR Fraksi PKB Syaiful Huda mengatakan Kemdikbud harus memberikan tempat bagi NU dan Muhammadiyah sebab mereka memiliki jaringan satuan pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia. "Perlu ada pertimbangan-pertimbangan khusus karena POP ini merupakan bagian dari upaya untuk memberdayakan masyarakat," ujarnya dalam keterangan tertulis.
Ia juga mendesak Kemdikbud transparan soal syarat penerima manfaat. "Dengan demikian publik akan tahu kenapa satu entitas lolos dan entitas lain tidak."
Lalu apa respons Kemdikbud? Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemdikbud Evi Mulyani mengatakan penentuan organisasi yang mendapat bantuan dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu SMERU Research Institute.
"Menggunakan metode evaluasi double blind review dengan kriteria yang sama untuk menjaga netralitas dan independensi. Kemdikbud tidak melakukan intervensi terhadap hasil tim evaluator demi memastikan prinsip imparsialitas," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis.
Sementara terkait mundurnya LP Ma'arif NU dan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Evi bilang Kemdikbud menghormati keputusan tersebut. Ia juga menegaskan "Kemdikbud terus menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik dengan seluruh pihak sesuai komitmen bersama bahwa POP bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia."
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri