Menuju konten utama

Selain Ba'asyir, Siapa Lagi yang Harus Dibebaskan Jokowi?

Pemerintah beralasan pembebasan Ba'asyir demi alasan kemanusiaan. Aktivis menilai Jokowi mestinya menggunakan alasan yang sama untuk membebaskan 51 terpidana mati.

Selain Ba'asyir, Siapa Lagi yang Harus Dibebaskan Jokowi?
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (kiri) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/pras.

tirto.id - Keputusan Presiden Joko Widodo untuk membebaskan terpidana kasus terorisme, Abu Bakar Ba'asyir, dengan alasan kemanusiaan dipertanyakan pelbagai pihak. Pembebasan Ba'asyir juga belum jelas apakah menggunakan mekanisme pembebasan bersyarat, abolisi, grasi atau amnesti.

Jokowi mengklaim pembebasan Ba'asyir melalui pertimbangan yang panjang, termasuk kondisi kesehatannya yang menurun. Jokowi juga telah berkonsultasi dengan Kapolri Tito Karnavian, Yusril Ihza Mahendra, dan beberapa pakar.

"Ya yang pertama memang alasan kemanusiaan. Sepertinya beliau, kan, sudah sepuh, ya pertimbangannya kemanusiaan," kata Jokowi usai meninjau Rusun Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah di Desa Nglampangsari, Garut, seperti diberitakan Antara, Jumat (18/1/2019).

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menyatakan jika hal itu dilandasi kemanusiaan, pertimbangan serupa seharusnya dipakai untuk membatalkan hukuman mati bagi sejumlah terpidana dengan masa tunggu eksekusi yang terlalu lama.

“Jika benar memang pembebasan murni ABB [Baasyir] dilakukan atas dasar kemanusiaan, maka ICJR menunggu langkah kemanusiaan lainnya dari Presiden Joko Widodo,” kata Anggara melalui siaran resminya pada Minggu (20/1/2019).

Kaji Status Napi Lain

Menurut Anggara, Jokowi seharusnya bisa mendorong pengubahan pemidanaan bagi 51 terpidana hukuman mati dengan masa tunggu eksekusi sudah di atas 10 tahun dengan alasan serupa. ICJR mencatat, berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan, sampai Oktober 2018 terdapat 219 terpidana mati yang menunggu eksekusi.

ICJR menyimpulkan, dari data tersebut terdapat 51 terpidana mati dengan masa tunggu eksekusi melampaui 10 tahun, terhitung sampai 1 Desember 2018. “Bahkan 21 orang telah masuk ke dalam daftar tunggu pidana mati lebih dari 15 tahun,” ujarnya.

Anggara menegaskan Jokowi seharusnya juga mengubah pidana mati 51 orang tersebut menjadi hukuman penjara seumur hidup atau 20 tahun bui jika menghormati nilai kemanusiaan. Menurut dia, Tim Perumus RKUHP bentukan pemerintahan Jokowi sudah mengusulkan hukuman mati dijatuhkan sebagai alternatif terakhir.

“Karena memasukkan seseorang di daftar tunggu pidana mati terlalu lama, dengan ketidakpastian, merupakan bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dari negara,” ujarnya.

Peluang untuk Napi Lain Kecil

Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan menilai peluang untuk memberikan pembebasan kepada napi lain masih kecil. Pasalnya, untuk kasus Ba'asyir saja memerlukan waktu yang sangat lama.

“Preseden ini sesungguhnya sangat baik karena membuka ruang bagi terpidana-terpidana lain yang usianya juga sudah uzur untuk mendapatkan hal yang serupa dari Presiden,” kata Ricky Gunawan dalam keterangan tertulisnya.

LBH Masyarakat berharap pemerintah dapat membuat peraturan panduan yang mengikat secara hukum tentang usia narapidana. Menurut Ricky, peraturan seperti ini akan membuat narapidana lain yang jauh dari sorot media bisa mendapatkan hal yang serupa dengan Ba'asyir. Hal ini penting untuk pemenuhan hak asasi manusia dan bentuk tertib administrasi keadilan.

"Peraturan tersebut juga penting bagi pemerintah untuk menepis anggapan bahwa langkah pembebasan Ba'asyir ini hanyalah demi memenangkan demografi tertentu pada pemilihan umum,” ujarnya.

LBH Masyarakat juga berharap pemerintah mengkaji status terpidana lainnya, termasuk terpidana mati, yang sudah berusia tua dan mungkin sakit-sakitan, agar dapat juga segera dibebaskan.

Baca juga artikel terkait ABU BAKAR BAASYIR atau tulisan lainnya dari Gilang Ramadhan

tirto.id - Hukum
Reporter: Gilang Ramadhan
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Maulida Sri Handayani