tirto.id - Jokowi datang lagi ke Jawa Barat. Kali ini ke Cianjur, daerah yang pernah menjadi ibu kota Karesidenan Priangan. Jokowi main ke alun-alun. Ia ditemani Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat yang doyan mengurus alun-alun dan taman kota. Pujian mengalir.
“Ini akan menjadi inspirasi. Nanti, 514 kabupaten/kota yang ada di seluruh Indonesia, mau kita update sedikit-sedikit biar kayak alun-alun Cianjur,” ucap Presiden.
Tepuk tangan dan tempik sorak menyambut. Sejumlah amtenar yang hadir gembira belaka.
Jokowi lalu melanjutkan pidatonya. Menurutnya, selain sebagai tengara kota, alun-alun juga berfungsi sebagai ruang publik, ruang sosial, ruang budaya, dan gambaran peradaban.
“Dari dulu, alun-alun itu memang fungsinya seperti itu,” imbuh Jokowi seperti dikutip Kompas.
Benarkah sejak dulu fungsi alun-alun seperti yang diungkapkan Jokowi?
Lingkaran Terdalam Kekuasaan Jawa
“Banyak kota di Pulau Jawa memiliki lapangan terbuka untuk umum berbentuk persegi empat di pusat kota yang disebut alun-alun. Dibandingkan dengan sebutan Melayu, yakni padang dan medan, alun-alun memiliki suatu ciri khas: letaknya di depan kediaman penguasa daerah,” tulis Olivier Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe (2017).
Sementara Handinoto dalam makalah bertajuk “Alun-alun sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang” yang dimuat di Jurnal Dimensi (18 September 1992) menerangkan, alun-alun terbagi ke dalam tiga periode, yakni masa prakolonial, kolonial, dan era setelah kolonial.
Tiga pembelahan zaman ini terutama dibedakan oleh pergeseran konsep alun-alun. Kecenderungannya bergradasi dari sakral ke profan, seiring dengan perubahan kompleks bangunan yang menyertainya.
Menurutnya, alun-alun sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit yang berdiri pada abad ke-13. Mengutip dari naskah Negarakretagama yang ditulis Prapanca, ia menjelaskan bahwa di sebelah utara kompleks keraton Majapahit terdapat dua alun-alun yang bernama Bubat dan Waguntur.
Lebih lanjut ia menerangkan, fungsi kedua alun-alun ini berbeda. Bubat lebih bersifat profan, tempat diselenggarakannya pesta rakyat berupa pertunjukan dan permainan. Sementara Waguntur lebih sakral, digunakan untuk untuk upacara penobatan dan resepsi kenegaraan.
“Meskipun keterangan Prapanca dalam Negarakretagama kurang begitu jelas, tapi masih bisa ditangkap betapa pentingnya peran alun-alun sebagai bagian dari pusat kota,” imbuhnya.
Setelah kekuasaan Hindu berakhir di Jawa dan digantikan oleh Islam, alun-alun juga hadir di Kesultanan Mataram yang didirikan Panembahan Senopati.
“Alun-alun selalu menjadi bagian dari kompleks keraton,” tulisnya.
Dan keraton, imbuhnya, adalah pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan tempat raja tinggal, sehingga keraton dan alun-alun adalah miniatur makrokosmos yang disakralkan.
Sementara itu, Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsrentris (2018) menyebutkan, konsepsi ruang yang disusun Kesultanan Mataram adalah pengembangan dari tata ruang Candi Plaosan Lor yang diperkirakan berasal dari abad ke-9.
Denah candi ini memperlihatkan tempat-tempat suci yang dikelilingi ratusan candi kecil dan stupa. Mengutip hasil penelitian J.G. de Casparis, Lombard mencatat bahwa candi-candi kecil itu mewakili wilayah-wilayah vasal.
Mataram kemudian mengembangkannya menjadi konsep lingkaran-lingkaran konsentris, yang menurut Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta (2009) terdiri atas Keraton, Nagara, Nagragung, dan Mancanagara.
Keraton, terangnya, merupakan lingkaran terdalam tempat sultan dan keluarganya tinggal. Pemerintah di dalamnya disebut paréntah jero. Kemudian Nagara (ibu kota) yang lingkarannya semakin keluar, ditinggali para pangeran, patih, dan para pejabat tinggi lainnya. Pemerintahannya disebut paréntah njaba.
“Mereka merupakan saluran pertama sehingga lewat saluran ini perintah sultan diteruskan kepada kelas priyayi. Mereka juga berfungsi sebagai saluran komunikasi untuk laporan-laporan ‘dari luar’ kepada sultan,” tulisnya.
Pelbagai aturan di lingkaran ini amat ketat. Bahasa, pakaian, tatakrama, dan protokol khusuk di dalam keraton diatur sedemikian rupa dan wajib ditaati siapa saja yang memasuki keraton.
“Seseorang yang berasal dari kalangan priyayi atau wong cilik akan sangat malu dan takut kalau membuat kekhilafan atau kesalahan di dalam keraton,” imbuh Selo.
Selanjutnya Nagaragung, yakni ibu kota dalam arti yang luas. Tanah dalam wilayah ini berupa tanah lungguh yang dipercayakan kepada para pangeran dan pejabat tinggi. Dan terakhir yakni Mancanagara yang wilayahnya paling luar dalam lingkaran konsentris, yang diperintah para bupati yang ditunjuk sultan, serta bertanggung jawab kepada patih.
Dalam konsepsi ruang seperti itulah alun-alun hadir menjadi bagian dari lingkaran terdalam kekuasaan Jawa.
Alun-Alun dalam Aksis Utara-Selatan
Kompleks keraton diatur dalam dua poros, yakni barat-timur dan selatan-utara. Poros pertama menentukan ruang pribadi, akrab, dan keramat. Sementara satu lagi, yakni selatan-utara, menentukan ruang umum, resmi, dan tempat upacara.
“Poros inilah (selatan-utara) yang paling nyata karena menghubungkan alun-alun utara dengan alun-alun selatan melalui tujuh halaman berturut-turut yang saling berhubungan lewat pintu gerbang,” terang Denys Lombard.
Dari masing-masing gerbang (selatan dan utara)—sebelum benar-benar sampai ke kediaman sultan—setelah melintasi alun-alun seseorang mesti melalui beberapa tempat yang bernama Sitinggil, Brajanala, Kemandhungan, dan Srimanganti. Lombard menambahkan, tempat-tempat itu sebenarnya untuk menanti sebelum memasuki halaman pusat atau pelataran.
Sitinggil sebagai tempat menanti paling luar dan posisinya paling dekat dengan alun-alun kerap digunakan raja untuk berhadapan dengan para pejabat dan seluruh rakyat.
“Di Sitinggil lor terdapat sebuah serambi tinggi yang didatangi oleh raja pada kesempatan-kesempatan tertentu untuk duduk di kursi kebesaran, menghadap ke utara,” tulisnya.
Kesempatan raja menemui para pejabat dan rakyatnya menurut catatan Olivier Johannes Raap, di antaranya untuk menghadiri pelaksanaan hukuman pancung, pesta rakyat, dan pertunjukan kesenian.
Era Kolonial dan Kiwari
Setelah Belanda benar-benar menguasai Jawa pada abad ke-19, alun-alun mengalami sejumlah pergeseran makna. Meski demikian, para bupati yang bekerja di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial masih meneruskan warisan Mataram.
“Rumah bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur keraton di Surakarta dan Yogyakarta,” tulis Handinoto.
Di depan rumah bupati dibangun pendopo dan di alun-alun diadakan pelbagai acara seperti sodoran, grebegan, dan sebagainya. Warisan tradisional ini menarik pemerintah kolonial untuk mengembangkannya dalam sistem pemerintahan tidak langsung yang mereka jalankan.
Pemerintahan kabupaten yang dipimpin seorang asisten residen (orang Belanda) dan bupati (pribumi), dipusatkan di sekitar alun-alun. Jika rumah bupati dan pendopo berada di sebelah selatan, maka rumah asisten residen biasanya di sebelah utara alun-alun.
Pada masa itu di sekeliling alun-alun, seperti dicatat Olivier Johannes Raap, selain rumah bupati dan pendopo, juga terdapat masjid, gedung pengadilan, penjara, pasar, kantor pos, halte kendaraan umum, kantor polisi, dan fasilitas lainnya.
“Sifat sakral alun-alun di zaman kolonial kemudian berkembang lebih merakyat. Pada zaman kolonial ini menjadi semacam ‘civic space’. Bahkan pada akhir zaman kolonial berkembang menjadi semacam plaza di Eropa,” catat Handinoto.
Saat kolonialisme berakhir, alun-alun kembali mengalami pergeseran makna. Menurut Handinoto, banyak pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan tata ruang kota ragu-ragu dan tidak mengerti fungsi alun-alun. Konsep ruang peninggalan zaman kerajaan itu digunakan begitu saja untuk kegiatan olahraga dan taman kota.
“Jadi seperti apa yang dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan pola tradisional, tapi belum menemukan struktur-struktur baru yang mantap,” tulisnya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan