tirto.id - Diffuse axonal injury atau DAI merupakan salah satu jenis cedera otak berbahaya. Kondisi ini umum terjadi pada korban kecelakaan hingga penganiayaan.
Orang yang mengalami DAI harus segera memperoleh perawatan intesif segera. Meskipun jarang terjadi, penderita DAI memiliki kemungkinan sembuh.
Istilah diffuse axonal injury belakangan ini ramai dibicarakan akibat kasus penganiayaan David (17) oleh seorang anak pejabat pajak bernama Mario Dandy Satriyo (20).
Penganiayaan tersebut menyebabkan David sempat koma di Rumah Sakit. Ia didiagnosis mengalami DAI akibat aksi kekerasan Mario Dandy. Menyusul hal tersebut polisi kini telah mengamankan Mario Dandy dan menetapkannya sebagai tersangka.
Seberapa Berbahaya Diffuse Axonal Injury?
Banyak ahli yang sepakat bahwa DAI adalah kondisi yang berbahaya. Dikutip dari Johns Hopkins Medicine DAI menggambarkan kondisi seseorang mengalami robek serabut saraf penghubung panjang otak (akson).
Seseorang yang divonis mengalami DAI berarti mengalami cedera atau trauma di lebih dari satu area otak. Umumnya, penderita DAI akan mengalami kerusakan di beberapa bagian otak sehingga memicu koma bahkan kematian.
Ini dapat terjadi ketika otak mengalami pergeseran atau bahkan berputar di dalam tulang tengkorak. Kondisi ini biasa terjadi setelah peristiwa kecelakaan dan penganiayaan.
Ketika kepala mengalami benturan atau pukulan keras, maka otak akan terguncang mengenai tengkorak di sisi berlawanan. Hal ini dapat menyebabkan memar yang disebut dengan lesi contrecoup.
Guncangan ini kemudian menyebabkan bagian otak mengalami robekan pada lapisan dalam, jaringan, dan pembuluh darah. Kondisi ini kemudian memicu pendarahan dalam, memar, bahkan pembengkakan otak.
Berdasarkan Skala Glasgow Coma (GCS) tingkat keparahan cedera otak traumatis seperti DAI diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu ringan, sedang, dan berat.
Pasien cedera otak traumatis dengan GCS 13 sampai 15 tergolong ringan, yang termasuk mayoritas pasien cedera otak traumatis. Pasien dengan GCS sembilan hingga 12 dianggap memiliki cedera otak traumatis sedang.
Sementara itu, pasien dengan GCS di bawah delapan diklasifikasikan memiliki cedera otak traumatis berat.
Kemungkinan Sembuh dari Diffuse Axonal Injury
Dikutip dari Spinal Chord kemungkinan sembuh total dari diffuse axonal injury memang ada, namun jarang terjadi. DAI adalah kondisi ketika banyak sel-sel otak hancur atau rusak.
Sel-sel otak yang rusak atau hancur umumnya tidak dapat beregenerasi. Oleh karena itu, meskipun selamat orang yang mengalami kerusakan otak seperti DAI kemungkinan besar tetap harus menjalani rehabilitasi seumur hidup.
Kemungkinan sembuh dari DAI lebih tinggi pada penderita yang masih muda. Pada penderita berusia muda area otak lainnya yang masih berfungsi dapat menggantikan kinerja area yang rusak.
Otak juga dapat belajar untuk memindahkan informasi dari sekitar area yang rusak ke area yang masih sehat. Kendati demikian, berapa lama waktu pemulihan hingga saat ini belum bisa diprediksi. Ini dapat memakan waktu selama beberapa bulan hingga bertahun-tahun.
Sebaliknya, angka kematian akibat DAI cukup tinggi. Berdasarkan studi yang dirilis di Surgical Neurology International (2021) persentase kematian akibat DAI bervariasi, yaitu antara 30,8 persen hingga 62 persen.
Sekitar 30 persen di antara pasien DAI meninggal setelah 6 bulan melalui perawatan intensif. Sedangkan, kelangsungan hidup rata-rata penderita DAI adalah selama 13,5 hari.
Selain itu kondisi DAI juga dapat memicu kecacatan permanen, perubahan kemampuan fisik, dan kondisi mental penderita yang berhasil selamat.
Efek Diffuse Axonal Injury
Survivor DAI kemungkinan akan mengalami defisit kemampuan kognitif, motorik, sensorik, komunikasi, hingga masalah kejiwaan setelah menyelesaikan perawatan intensif.
Masih menurut Johns Hopkins Medicine berikut beberapa efek yang mungkin terjadi pada penderita DAI yang berhasil selamat:
- Kelumpuhan dan pelemahan otot;
- Mengalami masalah memori dan amnesia;
- Kemampuan memecahkan masalah dan memberi penilaian menurun;
- Tidak mampu menerima lebih dari satu atau dua langkah perintah pada waktu yang sama;
- Tremor dan epilepsi atau kejang-kejang;
- Koordinasi dan keseimbangan tubuh memburuk;
- Kesulitan berbicara, memahami ucapan, dan memilih kata yang ingin diucapkan (afasia);
- Kesulitan mengetahui bagaimana melakukan tindakan sederhana, seperti menyikat gigi (apraksia);
- Kehilangan kemampuan membaca dan menulis (aleksia dan agraphia);
- Kesulitan mengidentifikasi objek dan fungsinya;
- Kesulitan membangun hubungan sosial;
- Mudah cemas, depresi, dan lekas marah;
- Kesulitan mengendalikan perilaku impulsif (disinhibition), termasuk kemarahan, agresi, kutukan, penurunan toleransi frustrasi, dan perilaku seksual yang tidak pantas;
- Sering sakit kepala dan pusing;
- Kehilangan kontrol usus dan kandung kemih.
- Masalah penglihatan, termasuk penglihatan ganda, berkurangnya ketajaman visual, atau jangkauan penglihatan yang terbatas.
Editor: Yantina Debora