tirto.id - Presiden Republik Indonesia ke-IV Susilo Bambang Yudhoyono mengaku sudah mendapat informasi tentang penyadapan terhadap dirinya dan orang-orang terdekatnya sejak tahun lalu. Bahkan belakangan ada seorang sahabatnya yang tidak berani menerima telponnya karena khawatir ikut disadap.
“November tahun lalu, setelah dari keliling Jawa Tengah, saya diberitahu agar hati-hati telepon bapak dan anggota tim lain disadap. Satu bulan lalu, sahabat dekat saya tak berani terima telepon saya karena diingatkan orang di lingkungan pemerintah agar hati-hati telepon disadap," kata SBY dalam keterangan pers di Wisma Proklamasi, Jakarta Pusat, Rabu (01/02/2017).
Semula SBY tidak percaya begitu saja dengan informasi penyadapan terhadapnya. Dia merasa tidak memiliki salah. Apalagi, setiap mantan presiden mendapatkan pengamanan khusus dari paspampres dalam setiap kegiatan. “Tapi saya belum yakin, salah saya apa? Mantan presiden dapat pengamanan dari paspampres. Tidak hanya orangnya, tapi juga kegiatannya, sehingga saya antara yakin tak yakin, apa iya saya disadap," ujarnya.
Selain KPK, kata SBY, ada tiga institusi negara yang memiliki kemampuan menyadap. Ketiga institusi itu adalan Badan Intelejen Negara (BIN), BAIS TNI, dan Polri. Seluruh institusi itu, kata SBY, tidak bisa sembarangan menyadap. “Harus sesuai peraturan undang-undang,” katanya.
Ketua Umum DPP Partai Demokrat ini mengatakan menyadap secara ilegal bisa dikenai hukuman pidana. Hal ini berdasarkan UU ITE. “Salah satunya Pasal 31, setiap orang dengan sengaja atau tanpa hak melakukan intersepsi penyadapan dipidana dengan pidana penjara 10 tahun. Berat hukumannya. Atau denda 800 juta rupiah,” kata SBY.
SBY berharap negara ikut bertanggungjawab mengusut pihak yang menyadap dirinya. Dia juga memohon kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan penjelasan. “Supaya jelas. Ini negara kita sendiri bukan orang lain. Bagus kl diselesaikan secara adil dan bertanggung jawab,” ujarnya.
Keluhan SBY tentang penyadapan dirinya merupakan respons atas pernyataan tim kuasa hukum terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Selasa (31/01/2017). Ketika itu kuasa hukum Ahok, Humprey Djemat mencecar Ma’ruf Amin telah menerima telepon dari SBY.
"Apakah pada hari Kamisnya, ada telpon dari Pak SBY jam 10 lewat 16 menit yang menyatakan antara lain mohon diatur agar AHY bisa diterima di kantor PBNU? Dan yang kedua, apakah ada permintaan dari pak SBY yang mendesak dikeluarkannya fatwa (penistaan agama) terhadap terdakwa?" tanya Humphrey Djemat kepada Ma’ruf saat persidangan.
Ma'ruf membantah pernyataan Humprey. Pertanyaan ini diulang kembali oleh kuasa hukum Ahok, namun Ma'ruf tetapmembantah. Akhirnya Humphrey mengatakan bahwa ada dua hal yang disampaikan oleh SBY kepada Ma’ruf. Pertama, permintaan agar PBNU menerima paslon nomor urut 1, Agus-Sylviana. Yang kedua adalah desakan agar MUI mengeluarkan fatwa penistaan agama kasus Basuki Tjahaja Purnama.
Ahok akhirnya memberikan klarifikasi. Dalam pernyataannya, Ahok mengatakan bahwa hal tersebut menjadi ranah penasihat hukumnya. “Saya hanya disodorkan berita liputan6.com tanggal 7 Oktober, bahwa ada informasi telepon SBY ke Kiai Ma'ruf, selanjutnya terkait soal ini saya serahkan kepada penasihat hukum saya,” ujar Ahok.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar