tirto.id - Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan meningkatnya tren positivity rate kasus COVID-19 secara nasional dalam beberapa minggu terakhir perlu ditanggapi dengan bijak dan waspada.
Berdasarkan data per minggu ke-3 Juni 2021, positivity rate di Indonesia mencapai angka 14,64 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang dipatok WHO yaitu 5 persen. Jika berkaca pada data sejak awal pandemi, positivity rate di Indonesia pernah mencapai puncak paling tinggi, sebesar 28,25 persen di 2 minggu pertama Januari 2021.
Karena itu, positivity rate sekarang yang sudah mendekati 15 persen ini menurut Wiku harus diwaspadai dan semaksimal mungkin dikendalikan.
“Rentang waktu 14 hari adalah yang paling efektif dalam penentuan langkah intervensi kebijakan selanjutnya, karena rentang yang terlalu singkat atau terlalu lama seperti harian atau 2 bulanan dapat mengaburkan situasi yang sebenarnya terjadi di lapangan,” jelas Wiku.
Satgas menjelaskan, karena positivity rate ditentukan dari jumlah orang yang diperiksa, maka ada beberapa kondisi yang mempengaruhi akurasinya. Salah satunya terbatasnya sumber daya dan akses pada fasilitas tes. Ini karena penggunaan fasilitas tes diprioritaskan untuk yang sudah memiliki gejala atau kontak erat
Dengan begitu, bukan tidak mungkin hasil tes cenderung menunjukkan positif COVID-19, karena sudah dikerucutkan pada kelompok orang yang memang memiliki gejala atau kontak erat. “Di Indonesia, pada umumnya orang sehat tidak menjalani tes COVID-19, dan hal ini dapat mempengaruhi angka positivity rate menjadi tinggi”, ujar Wiku.
Terkait hal tersebut, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/446/2021 yang menetapkan penggunaan rapid tes antigen sebagai salah satu metode dalam pemeriksaan COVID-19. Melalui Kepmenkes ini diharapkan semakin banyak masyarakat yang mendapatkan akses uji COVID-19. Kebijakan skrining ini akan terus dibarui sesuai kondisi yang ada dengan tetap mempertimbangkan kenyamanan masyarakat termasuk untuk mereka yang mobilitasnya tinggi.
“Tentu, ini mempertimbangkan antigen jauh lebih cepat dan murah, dengan akurasi mendekati tes PCR. Antigen digunakan untuk melacak kontak erat, penegakan diagnosis dan skrining COVID-19 dengan kondisi tertentu seperti menghadiri kegiatan atau sebagai syarat bila seseorang ingin melakukan perjalanan,”ungkap Wiku.
Satgas mengingatkan ada beberapa situasi yang dapat menurunkan efektivitas tes antigen seperti penggunaan antigen yang tidak dikonfirmasi dengan tes PCR pada orang dengan kemungkinan terinfeksi atau kontak erat. Juga, penggunaan antigen yang tidak sesuai mutu standar WHO dan pengambilan sampel swab yang tidak sesuai prosedur seperti di sepertiga hidung anterior dapat berdampak pada penurunan efektivitas tes antigen.
Berdasar data, pengikutsertaan hasil tes antigen dalam pemeriksaan nasional yang dilakukan sejak minggu ke-4 Februari menunjukkan peningkatan tes antigen yang sedikit lebih tinggi dari pada PCR. Namun, perlu ditekankan bahwa jumlah orang yang diperiksa oleh PCR tidak berkurang jumlahnya. Artinya, pemeriksaan PCR memang tidak dikurangi di lapangan.
“Menyikapi keadaan ini, saya meminta kepada seluruh pemerintah daerah untuk memastikan penggunaan antigen yang tetap pada fungsinya dan dengan metode yang tepat. Apabila pada kasus yang perlu konfirmasi PCR, maka harus diteruskan dengan tes PCR agar hasilnya lebih akurat,”papar Wiku.
Terakhir, Satgas juga mengingatkan agar pemeriksaaan dengan metode PCR tetap dimasifkan walaupun telah ada metode rapid test antigen. “Ingat, PCR tetap menjadi gold standard atau standar tertinggi pemeriksaan COVID-19,” pungkas Wiku.
Editor: Maya Saputri