tirto.id - Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno belum berniat menghentikan pemakaian air tanah di Jakarta secara keseluruhan. Namun, kata dia, pengurangan pemakaian air tanah perlu dikontrol untuk mengurangi laju penurunan muka tanah di Jakarta.
Karena itu lah, kata Sandi, beleid yang mengatur pengambilan air tanah perlu diusulkan agar pengurangan pemakaian dapat didorong lebih efektif.
"Untuk nyetop, belum, belum ada. Tapi kan kita ingin sesuatu yang sangat serius. Ini kan ada penurunan muka tanah. Kita enggak sadar tapi tiap tahun itu 30-60 cm itu turun. Dan Tokyo mengalami yang sama dan beberapa kota di dunia lain mengalami yang sama," ungkapnya di Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis (15/3/2018).
Menurut Sandiaga, ketentuan soal pemakaian air tanah itu akan dibuat dalam Peraturan Daerah yang sifatnya lebih kuat dari Peraturan Gubernur (Pergub). Namun, ia belum dapat memastikan kapan Pemprov bakal mengajukan rancangan Perda tersebut kepada DPRD. "Nanti kita lihat bagaimana," ujarnya.
Kepada Tirto, Direktur Amrta Institut Nila Ardiani menyampaikan, regulasi untuk menghentikan pemanfaatan air tanah sampai pada tingkat yang tidak membahayakan lingkungan memang perlu dibuat.
Namun, ada beberapa hal yang masih perlu dilakukan oleh Pemprov soal pemakaian air tanah. Pertama, kata dia, "melengkapi dinas yang mengelola pendataan air tanah dengan peralatan teknologi tinggi."
Selain itu, Pemprov juga perlu menambah personil pengawas pemanfaatan air tanah yang ada di bawah Dinas Perindustrian dan Energi serta mengembangkan sistem insentif yang tepat.
Di luar itu, Pemprov juga harus meningkatkan akses air bersih perpipaan sehingga pemanfaat air tanah bisa beralih ke PAM. Caranya, kata dia, "dengan membangun instalasi pengolah air skala besar dan kecil, menambah pasokan air baku."
Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka perpindahan penggunaan air tanah ke PAM tidak akan optimal dan tetap melanggengkan modus pencurian air tanah di Jakarta. Sebab, saat ini, kebutuhan sektor komersial di Jakarta sebesar 190 juta meter kubik, baru terpasok sekitar 60 persen.
Menurut Nila, angka ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, Jakarta sangat bergantung pada pasokan air dari luar. Kedua, layanan air perpipaan untuk masyarakat kebanyakan belum memadai. Ketiga,safe yield atau ambang batas pemanfaatan air tanah yang terlampaui.
"Tiga hal tersebut merupakan indikator utama untuk menyatakan bahwa permasalahan air di Jakarta kompleks dan berat," imbuhnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto