tirto.id - Karier Samsul Arifin sebagai dokter dimulai di klub sepakbola Persebaya Surabaya medio 1990-an, lalu terus menanjak hingga menjadi petinggi rumah sakit. Kolega mengenalnya sebagai orang yang berjasa terhadap pengembangan rumah sakit di Jawa Timur. Ia adalah dokter kesekian yang meninggal karena terinfeksi virus Corona pada 14 November 2020 di usia 66 tahun, setelah 20 hari dirawat.
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini mulai bekerja di Rumah Sakit Islam Ahmad Yani Surabaya pada 1995, dari mulai jadi dokter IGD, lalu terus merangkak hingga menjabat direktur utama.
Budhi Setianto, yang mengenal Samsul sejak 25 tahun terakhir atau “sejak jadi dokter di IGD, lalu jadi kepala pelayanan medik, sampai direktur” pada 2012 silam, tahu betul jatuh bangun perjalanan koleganya. Ia pertama kali mengenal Samsul sebagai dokter yang rendah hati. Sifatnya tak berubah setelah kariernya melejit hingga akhirnya menjadi direktur.
Ia seorang yang gigih dan teguh dalam bekerja. Sosoknya disegani oleh para bawahan. Saking segannya, Budhi bilang tanpa harus diperintah mereka sudah langsung mengerjakan apa yang Samsul inginkan.
Hingga jelang akhir hayat, meski dalam kondisi tak sehat, tanggung jawab pekerjaan masih jadi prioritas Samsul.
Sejak pertengahan Oktober kondisi kesehatan Samsul sebenarnya sudah menurun. Ia mulai batuk dan tak enak badan setelah menghadiri acara rumah sakit di Gresik. Kondisi Samsul makin buruk dalam sepekan. Batuknya tak reda dan terserang demam. Jumat 23 Oktober, ketika masih rapat daring dengan para staf, beberapa kali ia harus berhenti presentasi karena batuknya makin menjadi.
“Badannya sudah tidak enak. Ia langsung pulang. Besoknya tidak masuk kerja,” kata Budhi yang saat ini menjabat sebagai Kabag Humas dan Pemasaran RSI Ahmad Yani kepada reporter Tirto, Senin.
Samsul kemudian tes swab lalu dirawat di RSI Ahmad Yani Surabaya pada Sabtu sore. Tes swab menunjukkan hasil positif COVID-19. Hari Minggu, Samsul mulai mengalami sesak nafas hingga akhirnya dirujuk ke RSUD dr Soetomo. Samsul dirawat intensif sejak 25 Oktober menggunakan alat bantu nafas atau ventilator.
Sempat beberapa saat ia membaik dan sadar. Namun setelahnya kembali memburuk. Kadar gula darah ikut meningkat, nafasnya makin sesak hingga akhirnya meninggal.
Keluarga dan karyawan rumah sakit yang berkontak erat pun akhirnya dites swab. Dua orang, sopir dan Wakil Direktur Bidang Umum dan Keuangan Djunarjo, terkonfirmasi positif. Sopir bernama Usman meninggal pada Kamis 12 November, sementara Djunarjo saat ini kondisinya baik, kata Budhi.
Budhi bilang hingga sekarang sudah ada sekitar 80 karyawan rumah sakit termasuk tenaga kesehatan, administrasi, dan teknisi yang terpapar COVID-19. Usman dan Samsul adalah dua orang terakhir yang dinyatakan positif dan meninggal.
Unair dan Persebaya
Universitas Airlangga juga kehilangan Samsul. Ia adalah alumni terbaik yang masih membaktikan diri untuk almamater. Samsul sangat dikenal di Program Studi S2 Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (AKK) karena setelah lulus program tersebut pada 2005, ia masih kerap dimintai bantuan.
“Bukan staf pengajar, tapi sebagai praktisi rumah sakit yang diminta membantu menguji, membimbing mahasiswa. Ia juga banyak memberikan masukan dalam pengembangan program,” kata Koordinator Program Studi AKK Unair Djazuly Chalidyanto kepada reporter Tirto, Senin.
Samsul juga dikenal sebagai dokter yang ramah oleh Herman Rivai, mantan asisten manajer Persebaya Surabaya medio 1990 hingga 2000-an. “Orangnya selalu tersenyum,” kata Herman kepada reporter Tirto, Senin (17/11/2020).
Salah satu rutinitas Samsul yang paling diingat Herman adalah memeriksa fisik pemain malam sebelum berlaga. Dari sana dia tahu siapa pemain yang sedang semangat alias on fire.
“Kalau dia dibilang 'striker badannya hangat', itu berita gembira bagi kita. Karena kalau badannya hangat saat itu pasti dia cetak gol,” kenang Herman. Sementara jika ada pemain yang kondisinya kurang baik, “beliau yang langsung mengatasi semua.”
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino