Menuju konten utama

Sampai Pilihan Politik Memisahkan Kita

Pilpres 2014 menyisakan banyak persoalan, yang laten dan mungkin tak nampak di permukaan adalah bagaimana relasi sosial berubah. Pilihan politik membuat orang saling bertikai satu sama lain. Mengapa ini bisa terjadi?

Sampai Pilihan Politik Memisahkan Kita
Ilustrasi Unfriend. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Pada 2015, BBC menurunkan artikel ringan yang dimulai dengan pertanyaan: akankah Anda berhenti berteman karena pilihan politik seseorang? Artikel itu tengah menyorot fenomena unfriend massal di jejaring perkawanan di Jerman. Banyak orang yang berhenti berteman dengan karib mereka di Facebook karena salah satu dari mereka mendukung atau menolak gerakan anti Islam, Pegida.

Blogger Jerman Marc Ehrich, saat itu mempromosikan sebuah perangkat yang membuat anda mengetahui apakah seseorang telah menyukai atau sedang mendukung kampanye di laman Facebook. Pada mulanya Marc hanya ingin main-main, sekedar memberitahu apabila seseorang suka band jelek. Tapi alat ini berkembang untuk mengetahui preferensi politik seseorang. “Saya ingin orang tahu apa yang disukai oleh temannya (terkait pilihan politik),” katanya.

Pada Desember 2014, Marc Ehrich menambahkan alat untuk mengetahui apakah di Facebook, seorang yang kita kenal menyukai Pegida atau tidak. Terlepas adanya tuduhan bahwa gerakan ini memecah belah, Ehrich merasa tidak menyesal atas pilihan orang-orang yang didasari alat yang ia buat. “Saya mendengar argumen seperti ‘Saya mengikuti Pegida karena saya ingin dikabari’ Jawaban saya adalah likes di Facebook adalah mata uang. Semakin banyak likes sebuah halaman, semakin banyak perhatian yang didapat, dan kamu tetap bisa tahu kabarnya tanpa perlu follow laman Facebook-nya,” kata Ehrich.

Gejala serupa kini muncul di Amerika Serikat. Banyak perkawanan berakhir di media sosial dan dunia nyata juga, karena pilihan politik. Pendukung Hillary Clinton dan Donald Trump saling mengejek, memaki, merisak, menyindir, dan mengutuk untuk kemudian akhirnya berpisah sebagai teman. Darren Samuelsohn, kontributor Politico, menulis bahwa media sosial telah menjadi kendaraan kampanye yang efektif, tapi di sisi lain ia menghancurkan banyak pertemanan.

Facebook menyebutkan selama masa kampanye ini, 100 juta orang Amerika menghasilkan empat miliar post, likes, komen, dan share artikel tentang kampanye presiden. Facebook mengaku tak punya data tentang seberapa banyak orang yang kemudian berhenti berteman atau saling memblokir pertemanan akibat pilihan politil. Namun yang jelas, pemilihan presiden Amerika dalam prosesnya terjadi pertikaian, perseteruan, perkelahian, dan hilangnya kekerabatan akibat pilihan politik.

Tapi seberapa konyol sih kita berhenti berteman karena pilihan politik? Perseteruan akibat pilihan politik di Indonesia bukan hal baru. Pada saat demokrasi terpimpin antara pendukung Masyumi dan PKI bisa saling berseteru. Pada saat Orde Baru berkuasa, Golkar dan bukan Golkar bisa jadi masalah. Kini, saat internet telah luas, media sosial hadir, dan setiap orang bisa bersuara, perseteruan akibat pilihan politik memasuki level baru yang sama sekali berbeda.

Infografik Pilpres AS

Dipa Raditya adalah Project Manager di sebuah perusahaan di Jakarta. Seumur-umur, pria berusia 26 tahun ini tak pernah peduli dengan politik. Namun, pada pemilu presiden lalu ia melakukan hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, menghentikan pertemanan karena politik. “Alasan kenapa unfriend karena tidak berhenti menyebarkan berita hoax, gambar gambar hoax dan kritik terhadap pemilu yang di luar batas,” katanya.

Orang yang ia putuskan untuk jauhi adalah salah seorang guru sekolahnya. Baginya banyak postingan media sosial seusai pilpres yang kelewat batas. “Jujur aku sih golput pas waktu itu tapi aku risih kalau misalnya yang mereka share capres A dicurigai keturunan PKI, Cinalah atau gimana gitu,” kata Dipa.

Ia menyadari bahwa sebenarnya pilihan politik bukan alasan untuk menghentikan pertemanan. Ia mengaku berasal dari latar belakang keluarga yang beragam, saat pilpres kemarin mereka terbuka terhadap pilihan-pilihan. Tapi bukan berarti Dipa akan diam saja jika melihat ada kebencian di halaman media sosialnya. “Aku orangnya simpel. Status bagus aku like, jelek aku cuekin,” katanya.

Tidak berbeda dengan Dipa, ada kisah Ayu Apriyani seorang bidan di Jambi. Ia pernah terpaksa memblokir dan berhenti berteman di media sosial karena merasa postingan yang disebarkah kawannya adalah hal-hal provokatif dan mengundang konflik. “Daripada debat kusir enggak jelas, saya lebih milih menyudahi pertemanan di medsos,” katanya. Ini tidak dilakukan ke semua orang biasanya, ia hanya memblokir dan menyudahi pertemanan terhadap orang yang dianggapnya merasa benar sendiri.

Sejauh ini, Ayu mengaku tak ada hubungan pertemanan yang rusak atau sampai berhenti di luar media sosial. “Sejauh ini tingkat paling parah rusaknya hubungan karena politik adalah saat saya berhenti cerita soal pilihan politik saya ke orang-orang,” katanya. Ini dilakukan untuk menjaga hubungan. Menurut Ayu, ada banyak sekali orang yang masih belum bisa perbedaan pilihan politik. Masih banyak orang yang tak segan meledek atau nyinyir terkait sikap politiknya.

Wasisto Raharjo Jati, Staf Peneliti Puslit Politik LIPI, menyebut bahwa apa yang terjadi di media sosial kita hari ini merupakan buntut dari fenomena internet of beings. “Internet membuat kita berbagi hal-hal yang privat ke ruang publik. Seperti sikap politik dan gaya hidup,” katanya. Ini membuat orang menjadi tahu sikap dan jati diri kita. Sebelum adanya internet pemikiran politik, cara pikir, dan karakter seseorang merupakan hal yang privat dan hanya bisa diketahui apabila kita dekat. “Sekarang segala hal diumbar di media sosial,” katanya.

Masalahnya, menurut Wasisto, apa yang kita bagi di media sosial kadang punya potensi disalahpahami. Kerap kali sikap, pendapat, dan pilihan politik kita berpengaruh terhadap cara kita menyampaikan sesuatu. Di sini lahir segregasi sosial, perpecahan antara pendukung dan yang anti. Sayangnya, keterbukaan di media sosial tidak diiringi dengan kesadaran rasional dan kematangan berpikir. Seseorang yang berseberangan dengan kita kerap dianggap sebagai lawan. “Orang-orang menjadi partisan, karena mereka berkumpul sesuai dengan pilihan dan referensi politik yang mereka sukai,” katanya.

“Masyarakat media sosial ita reaksioner dan menilai secara sempit terhadap postingan di media sosial,” kata Wasisto. Ini yang menyebabkan banyak orang dengan mudah termakan hoax atau berita bohong. Wasisto menilai banyak orang yang terjebak pada Click Activism, mereka menyebar setiap berita atau tautan yang dianggap merepresentasikan suaranya. Padahal belum tentu hal yang dibagi benar. “Setiap orang di media sosial kadang terjebak pada pemikiran partisan sehingga menolak pemikiran yang dia sukai,” tambahnya.

Media sosial juga menjadi kipas yang menambah runyam persoalan politik partisan di Internet. Di kalangan kelas menengah, persoalannya jadi semakin fatal karena algoritma sosial media secara tidak langsung juga mendukung polarisasi informasi. Facebook, misalnya, menampilkan newsfeed dengan konten yang sesuai preferensi politik kita saja. Akhirnya wawasan sebagian kelas menengah menjadi terbatas dan hanya fokus pada apa yang kita sukai.

John Wihbey dari journalistsresource.org menulis bahwa pengguna media mengalami kondisi “filter bubbles”, keadaan di mana tanpa sengaja ia diarahkan untuk terus menerus berada dan diberikan news feed yang disukai. Akhirnya pemikiran dan selera yang dibentuk berhenti pada satu topik tertentu tanpa ada pembanding. Hal ini telah terjadi selama beberapa tahun dan tak hanya terjadi di Facebook. Hampir setiap media sosial akan memberikan rekomendasi halaman atau iklan berdasarkan preferensi yang kita sukai. Jika anda menyukai tim sepak bola Liverpool misalnya, kemungkinan laman sosial media anda akan disuguhi oleh materi-materi promo cara melupakan kenangan di masa lalu.

Ada beberapa riset yang menunjukkan gejala ini sebagai peristiwa ekonomi daripada politik. Bahwa algoritma yang ada bertujuan untuk mengajak anda belanja, namun seiring dengan intenistas anda menyukai, membagi, atau berkomentar pada satu topik tertentu anda akan terus dikelilingi hal yang anda suka. Pada 2013 peneliti dari Carnegie Mellon University, Stanford dan Microsoft Research meneliti data browsing anonim dari 1,2 juta pengguna internet. Hasilnya mengerikan. Hanya sebagian kecil pengguna media sosial yang mau membaca berita dari media yang bertolak belakang dari sikap politiknya

Mereka menemukan individu-individu di internet secara tipikal mengkonsumsi berita hanya dari media yang ia anggap benar saja. Wasisto menganggap fenomena ini sebagai hal yang wajar. Internet of Beings membuat orang-orang yang secara terbuka menunjukkan sikap politiknya untuk bersatu. Mereka cenderung berkumpul, berdiskusi, dan berkelompok dengan orang yang dianggapnya satu visi. “Internet melahirkan apa yang susah dilakukan di offline, orang bisa tahu isi kepala orang lain hanya dari berita yang ia bagi atau postingan yang ia sampaikan,” katanya.

Pada tahap tertentu pilihan politik bukan lagi soal dukungan, di media sosial, seseorang bisa dengan mudah berbagi isi kepalanya. Dony Brasco, seorang musisi yang tinggal di Jakarta, menyebut bahwa ia pernah melakukan unfollow pada orang yang dianggapnya berbahaya. “Bagi penganut paham politik figuratif dan simpatisan politik sayap kanan. alasannya sederhana : saya sulit untuk berbicara rasional berdasarkan fakta objektif kepada golongan tersebut,” katanya.

Pada banyak kesempatan, menurut Dony ada postingan-postingan dari orang yang kita kenal di media sosial memiliki konten yang mengganggu. “Mereka menghina akal sehat saya. saya merasa tak nyaman,” katanya.

Di Internet atau di media sosial orang boleh bicara dan berpendapat apapun, tapi menyerukan kebencian atau tindakan kriminal merupakan batas di mana seseorang mesti ditolerir. Dony sendiri memilih tak lagi berdebat tapi langsung saja memblokir orang yang seperti itu. Bagaimana dengan Anda?

Baca juga artikel terkait UNFRIEND atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti