tirto.id - Sewaktu balatentara Jepang mendarat di Hindia Belanda, kalangan yang tak menyukai kolonialisasi Belanda bahagia, sebab pemerintahan Hindia Belanda takluk dalam hitungan minggu. Namun, ada juga orang Indonesia yang tak suka tentara Jepang, yakni golongan anti-fasis. Sakirman, seorang kepala sekolah teknik swasta di Bandung, termasuk golongan pertama.
“Menurut Soebadio, Ir. Sakirman adalah seorang nasionalis yang bersuka cita melihat kedatangan Jepang daripada seorang komunis anti-fasis,” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Sakirman kemudian bekerja di Kantor Kerajinan dalam Departemen Perekonomian Jepang di Jakarta. Insinyur lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB) ini juga anggota dari organisasi yang turut didirikan Amir Sjarifoeddin, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Ia menjadi anggota sejak 1941.
Baca Juga: Amir Sjarifoeddin Perdana Menteri Kiri dan Dihukum Mati
Sakirman tidak dilahirkan dalam keluarga susah. Menurut Sutrisno, dalam Letnan Jenderal Anumerta Siswondo Parman (1984), ayah Sakirman yang bernama Kromodihardjo adalah pengusaha yang cukup berhasil di sekitar Wonosobo. Kondisi orangtuanya itu memberi Sakirman peluang untuk bisa sekolah tinggi. Menurut Ensiklopedia Indonesia - Volume 3 (1954), Sakirman yang lahir pada 1911 di Wonosobo itu menamatkan pendidikannya pada 1939.
Meski anak orang berada, ia akrab dengan kehidupan kromo. Ketika Sakirman masih sekolah, PKI memberontak melawan Belanda pada 1926. “Ketika umur 15 tahun, Sakirman mengalami dan sangat terpengaruh oleh pemberontakan” catat buku menurut Hasil Rakjat Memilih Tokoh-tokoh Parlemen: Hasil Pemilihan Umum Pertama, 1955 di Republik Indonesia (1956).
Karenanya, setelah Indonesia merdeka, Sakirman akhirnya bergelut di partai bergambar palu-arit itu. Bahkan, ia menjadi anggota Politbiro sampai PKI tumbang.
Setelah Jepang kalah dan Indonesia merdeka, Sakirman tidak ikut Belanda. Dia berdiri di belakang Republik Indonesia, menjadi pemimpin dari laskar rakyat dari Jawa Tengah. Dia juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNI). Ketika Amir Sjarifoeddin menjabat menteri pertahanan, Sakirman termasuk orang yang memimpin TNI Masyarakat lalu Biro Perjuangan.
Di badan itu, ada juga Jenderal Mayor Soesalit, anak Kartini. Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1989), Sakirman diberi pangkat jenderal mayor.
Baca Juga: Potret Buram Anak Kartini
Ketika kabinet Amir jatuh, dia ikut tersingkir dari pemerintahan. Sakirman juga terseret dalam petualangan Amir Sjarifoeddin di Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan Peristiwa Madiun 1948. Tak hanya kena pecat, Sakirman juga ditahan. Menurut catatan Sutrisno, adiknya yang kala itu masih berpangkat mayor, Siswondo Parman, juga ikut kena tahan di rumah penjara Wirogunan.
Setelah peristiwa itu berlalu, Beberapa tokoh PKI seperti Aidit, Lukman, dan Sudisman berusaha membangun lagi PKI yang hancur, hingga akhirnya bisa ikut Pemilu 1955. Pada Pemilu inilah Sakirman berhasil masuk ke parlemen.
Sepuluh tahun kemudian, pertarungan kepentingan antara PKI dan Angkatan Darat memanas. Tentu hal ini tidak menguntungkan bagi Sakirman. Pada 1960an, adiknya Siswondo Parman sudah menjadi jenderal intel kepercayaan Jenderal Ahmad Yani. Karena itulah, Parman dan Sakirman menjadi relasi unik pada pusaran tragedi 1965. Adiknya merupakan jenderal Angkatan Darat yang menjadi tangan kanan jenderal anti-komunis, sementara abangnya adalah petinggi PKI yang bermusuhan dengan Angkatan Darat.
“Ir. Sakirman, orangnya pendek bulat […] mulanya ia sedikit curiga, tapi begitu menyadari saya benar-benar tertarik akan politiknya semasa muda, ia menghangat dan banyak cerita,” tulis Ben Anderson dalam Hidup di Luar Tempurung (2016), yang sejak sebelum 1965 sudah melakukan penelitian lapangan di Indonesia.
Baca Juga: S Parman Korban G30S Yang Justru Adik Petinggi PKI
John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008) mencatat: “Adanya Sakirman di dalam politibiro akan merupakan kendala bagi Aidit untuk mendiskusikan rencana G30S secara rinci […] Salah satu sasaran penting G30S ialah adik Sakirman, Jenderal Parman, Kepala Intelijen Angkatan Darat.”
Orang-orang PKI seolah sudah mencium gelagat bahwa partainya sudah tersusupi. Di sisi lain, Parman mengaku kepada seorang perwira militer Amerika Serikat bahwa ia sudah menyusupi tubuh PKI. Parman juga mengaku, "dapat mengetahui setiap keputusan yang diambil dalam sidang-sidang terpenting mereka dalam hitungan jam.”
Setelah G30S, Parman adik Sakirman diketahui terbunuh dalam penculikan yang dipimpin Letnan Kolonel Untung. Mayatnya diketemukan di Lubang Buaya. Setelah 5 Oktober 1965, hari pemakaman adiknya, Sakirman termasuk ke dalam daftar sasaran penangkapan.
Untuk kedua kalinya, lebih parah ketimbang pasca-1948, dia harus menyembunyikan diri. Sakirman akhirnya “ditangkap waktu bersembunyi di rumah seorang fotografer Cina di Solo pada bulan Oktober yang lalu dan ditembak oleh militer waktu mencoba melarikan diri,” catat Rosihan Anwar dalam Indonesia,1966-1983: Dari Koresponden Kami Di Jakarta (1992).
Menurut Sketsmasa volume 10 tahun 1966, Sakirman ditembak mati di Solo pada 1966.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani