Menuju konten utama

Saham Telkom, Dibuang Investor Asing Ditampung Lokal

Sejumlah sentimen negatif menerpa saham Telkom.

Saham Telkom, Dibuang Investor Asing Ditampung Lokal
Layar Information & Communication Technology (ICT) Telkom Indonesia. ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra

tirto.id - Investor asing pada Rabu (11/10) ramai-ramai melepas saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM). Dalam sehari, keseluruhan nilai penjualan saham TLKM mencapai sekitar Rp 1,8 triliun. Dari jumlah ini, total nilai penjualan oleh investor asing mencapai Rp 1,4 triliun. Adapun, nilai penjualan bersih oleh investor asing mencapai Rp 797,48 miliar.

Akibat aksi jual tersebut, harga saham TLKM pun sempat terkoreksi cukup dalam. Hanya sekitar satu jam setelah bursa dibuka, harga saham TLKM sempat terpuruk ke Rp 4.310 per saham atau terpangkas hampir 4,86% dari harga penutupan hari sebelumnya, Rp 4.530 per saham.

Beruntung, sejumlah investor, terutama investor domestik, melihat koreksi yang cukup dalam itu sebagai peluang untuk mengoleksi saham TLKM. Alhasil, hingga penutupan bursa, saham TLKM ditutup pada harga Rp 4.400. Toh, angka ini tetap lebih rendah 2,87% dari harga penutupan hari sebelumnya. Bahkan, jika ditarik sebulan ke belakang, investor telah merugi 6,78%. Pasalnya, selama tiga hari berturut-turut, saham TLKM terus melemah.

Penurunan harga saham TLKM tersebut ikut menyeret Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke zona merah. Hari ini, IHSG ditutup melemah 0,39% ke posisi 5.882,79.

Berbagai Sentimen Negatif

Menurut analis yang dihubungi Tirto, ada beberapa kabar negatif yang memicu asing melakukan aksi jual saham TLKM hari ini. Pertama, gangguan satelit Telkom 1 yang beberapa waktu lalu membuat ribuan ATM bank pengguna jasa TLKM, di antara BCA dan Bank Mandiri, tidak berfungsi selama sekitar dua pekan. "Orang curiga, permasalahannya tidak sekadar satelit rusak. Selama ini, biasanya kalau ada persoalan, Lockheed Martin akan mengeluarkan statement. Ini tidak ada sama sekali," ujar Satrio Utomo, analis pasar modal, Rabu (11/10).

Lockheed Martin merupakan perusahaan yang berbasis di Maryland, Amerika Serikat yang bergerak di bidang jasa aerospace global. Perusahaan inilah yang mengelola satelit Telkom 1 tersebut. Sebagai perusahaan yang tercatat di Bursa Efek New York (New York Stock Exchange, NYSE), Lockheed Martin mestinya memberikan keterbukaan informasi apabila ada permasalahan terkait dengan bisnisnya. Namun, menurut Satrio, sejauh ini tidak ada pernyataan dari Lockheed Martin.

Kedua, kabar yang menyebutkan bahwa TLKM telah melakukan wanprestasi terhadap PT Sofrecom Indonesia karena tidak membayar lisensi atas piranti lunak yang mereka gunakan. Piranti lunak tersebut bernama billing system I-SISKA atau Inovasi Sistem Informasi Kastemer. Disebut-sebut, TLKM tetap menggunakan piranti lunak ini tanpa izin selama enam tahun dan menunggak pembayaran lisensi sekitar US$ 1,84 juta. Kabarnya, perusahaan yang memiliki induk usaha di Prancis ini akan membawa kasus ini ke arbitrase internasional. "Namun, kabar ini sudah beredar sekitar dua minggu lalu dan sampai sekarang tidak rilis pernyataan resmi (dari pihak-pihak yang disebut)," tutur Rizka Afriani, analis PT OSO Securities, Rabu (11/10).

Ketika menghubungi kantor Sofracem lewat telepon, seorang pegawai Sofracem mengatakan, manajemen yang berwenang bicara dengan media tengah sibuk di luar kantor. Sementara surat elektronik yang dikirim Tirto juga belum dibalas.

Menurut Rizka, rumor tersebut sejatinya tidak menjadi perhatian pasar. "Menurut saya, yang paling memengaruhi penjualan asing adalah riset yang dikeluarkan Deutsche Bank Securities," imbuh dia.

Riset terbaru mengenai saham TLKM menyebutkan bahwa kemungkinan konsensus proyeksi perolehan laba TLKM terlalu tinggi. Analis Deutsche menyebutkan, kemungkinan kinerja Telkom pada kuartal III-2017 paling buruk dalam beberapa tahun terakhir. Dibandingkan setahun sebelumnya (year on year), labanya relatif tidak tumbuh. Bahkan, dibandingkan perolehan laba pada kuartal II-2017 (quarter on quarter), laba TLKM akan turun 2%. "Ini memang baru praduga mereka saja, tapi investor biasa bergerak sebelum ada rilis resmi. Dan proyeksi dari sekuritas asing biasanya memang memengaruhi investor asing," kata Rizka.

Pada kuartal kedua lalu, Telkom membukukan pertumbuhan laba 21,94% sepanjang tahun. Adapun, secara kuartalan, labanya turun tajam 19,02%, setelah pertumbuhan laba 44,76% pada kuartal pertama. Jadi, seharusnya penurunan laba sebesar 2% tidaklah terlalu berarti. Telkom dijadwalkan mengumumkan kinerja keuangannya per September 2017 pada 25 Oktober nanti.

Di luar sejumlah sentimen negatif yang belum terbukti kebenarannya tersebut, sebenarnya Telkom kemarin (10/10) merilis kabar baik. Melalui anak usahanya, PT Infrastruktur Telekomunikasi Indonesia (Telkom Infra), Telkom selesai mengintegrasikan kabel optik di lima segmen jalur sistem komunikasi kabel laut (SKKL). Total kabel optik tersebut sepanjang 770 kilometer, dengan perincian Sabang-Aceh (44 km), Simeleu-Bakongan (142 km), Sibolga-Nias (156 km), Larantuka-Atambua (354 km), dan Batam-Tanjung Balai Karimun (73 km).

Sayang, kabar baik yang disiarkan Telkom kemarin tersebut tidak mampu mengangkat harga saham TLKM. Nyatanya, tiga hari berturut-turut, harga saham TLKM terus turun.

Infografik Telkom Indonesia

Aksi Beli Investor Domestik

Melihat harga yang sudah turun cukup banyak, beberapa investor, terutama investor lokal, rupanya melihat peluang untuk mulai mengoleksi kembali saham TLKM. Tercatat, pembelian oleh investor domestik mencapai sekitar Rp 1,2 triliun.

Alhasil, menjelang penutupan pasar, harga saham TLKM sedikit bergerak naik dan ditutup pada harga Rp 4.400 per saham. Angka ini hanya melemah 2,87% dibandingkan harga di hari sebelumnya.

Rizka pun menilai, saham TLKM sejatinya masih menarik untuk dikoleksi. Pasalnya, secara fundamental, kinerja Telkom masih cukup baik dan selalu tumbuh. Tahun lalu, pendapatan Telkom tumbuh 13,53% dengan pertumbuhan laba bersih 24,94%. Selain itu, saham Telkom memberikan pembagian laba yang sangat menggoda. Dari laba bersih per saham 2016 yang sebesar Rp 192, Telkom membagikan Rp 136,75 kepada para pemegang sahamnya. Itu berarti, rasio pembayaran dividen Telkom mencapai 71,22%. Dibandingkan tahun sebelumnya, dividen ini lebih besar 44,5%. "Investor menyukai dividen yang tinggi," kata Rizka.

Prospek bisnis Telkom pun, menurut Rizka, masih menarik. Terutama karena Telkom masih berhasil mencatatkan pertumbuhan di bisnis data dan internet. Terbukti, kontribusinya pada pendapatan perusahaan terus meningkat. Pada 2010, kontribusi pendapatan data seluler baru sebesar 28,9%. Namun, tahun lalu, kontribusinya mencapai 49,4%. Bahkan, hingga semester pertama 2017, kontribusinya telah mencapai 53% atau sebesar Rp 33,9 triliun dari total pendapatan Rp 64 triliun.

Hingga saat ini, Rizka menilai saham TLKM masih menarik untuk dikoleksi. Bahkan, pada harga Rp 4.400 per saham saat ini, saham TLKM terbilang murah. Pasalnya, berdasarkan survei Bloomberg, para analis punya konsensus target harga wajar TLKM sebesar Rp 5.086 per saham. "Jadi pada harga sekarang bisa mencicil untuk beli lagi. Rekomendasi saya, buy on weakness," kata dia.

Namun demikian, Rizka memperingkatkan agar investor mewaspadai sentimen-sentimen negatif tadi. Apabila terbukti, penurunan harga saham TLKM bisa berlanjut. "Bisa saja Rp 4.000 tembus," tebak dia.

Hal lain yang perlu diwaspadai, menurut Satrio, adalan tren pelemahan daya beli yang terjadi di sektor ritel. "Bahaya jika pelemahan juga masuk ke sektor telekomunikasi. Bagaimana bila orang gak beli hape? Orang mau internetan, ke mana?" ujar dia.

Sebelum kembali membeli saham TLKM, ia menyarankan agar investor mencermati lebih lanjut pergerakan harga saham TLKM. Sebab, menurutnya, jika investor asing sudah keluar, tekanan pada harga saham Telkom akan cukup besar dan bisa berdampak penurunan harga jangka panjang. "Technically speaking, bisa koleksi lagi saat menyentuh support (batas harga bawah) Rp 4.250 per saham," hitung Satrio.

Baca juga artikel terkait TELKOM atau tulisan lainnya dari Asih Kirana Wardani

tirto.id - Bisnis
Reporter: Asih Kirana Wardani
Penulis: Asih Kirana Wardani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti