tirto.id - John B. Gordon, ilmuwan Inggris kelahiran 1933 penerima Nobel dari meneliti sel punca, punya pengalaman pahit karena sempat diremehkan saat mengenyam pendidikan di Eton College. Orang yang meremehkan adalah kepala sekolahnya sendiri yang menyoal ketertarikan Gordon pada dunia penelitian.
“Saya tidak ingat secara rinci, tapi garis besarnya ialah, ia kepala sekolah, mendengar saya tertarik di dunia sains (dan hendak menjadi peneliti). Namun, ia berpikir bahwa ketertarikan saya tersebut adalah ide konyol,” kata Gordon dalam jumpa pers selepas ia dinobatkan meraih Nobel pada 2012.
“Tidak ada harapan. Hanya menyia-nyiakan waktu seperti upaya saya (kepala sekolah) mengajarkannya sains,” kata Gordon yang mencoba mengingat perlakukan sang kepala sekolah.
Gordon tidak kecewa dengan perlakuan gurunya. Pikiran skeptis sang guru malah jadi cambuk semangat Gordon melakukan apa yang ia suka. Namun, sikap guru Gordon tak sepenuhnya disalahkan, saat itu bekerja sebagai ilmuwan memang tak mudah.
Farhad Manjoo, kolumnis teknologi asal Amerika Serikat dan pengarang buku berjudul “True Enough”, dalam tulisannya di Slate, secara tersirat mengungkapkan bahwa kerja sebagai ilmuwan memang bukanlah perkara mudah. Kerja utama seorang ilmuwan ialah berpikir. Namun, ilmuwan tentu saja tidak bisa hanya sekadar berpikir. Ia harus pula melakukan tugas-tugas lainnya dalam rangka menemukan, menciptakan, atau mengembangkan sesuatu. Ilmuwan punya tantangan melakukan tugas “gruntwork”, istilah yang digunakan untuk menggambarkan kerja yang tidak dihargai dan kasar dan repetitif.
Namun, kerja-kerja seorang ilmuwan saat ini sedikit lebih mudah. Ini terkait dengan pemanfaatan robot untuk membantu tugas-tugas seorang ilmuwan. “Jika Anda berjalan menuju laboratorium di universitas saat ini, ada kemungkinan cukup besar Anda akan menemukan robot-robot yang bekerja beriringan dengan orang-orang yang mengenakan jubah putih khas ilmuwan,” tulis Manjoo.
Robot-robot tersebut bekerja membantu ilmuwan terutama soal kerja gruntwork yang dahulu harus dilakukan sendiri seorang ilmuwan.
Andrew Sparkes, peneliti dari Aberystwyth University, dalam paper berjudul “Towards Robot Scientist for Autonomous Scientific Discovery” mengungkap secara tersirat bahwa bantuan robot pada manusia, terutama dalam konteks penelitian, merentang jauh hingga pertengahan abad ke-19, saat di mana otomatisasi mulai membantu kerja manusia. Perkembangan komputer di pertengahan abad ke-20, membawa manusia menciptakan program perangkat lunak untuk membantu tugas ilmuwan.
“Semakin banyak ilmuwan tidak lagi melakukan eksperimen fisik, melainkan menggunakan simulasi atau penambangan data untuk menemukan pengetahuan baru dari data yang ada,” tulis Sparkes.
Dalam sejarahnya, ada cukup banyak perangkat lunak komputer yang membantu tugas ilmuwan. DENDRAL, program berbasis kecerdasan buatan yang dikembangkan pada dekade 1960-an yang membantu menganalisis data spektral, AM sebuah program berbasis kecerdasan buatan yang dikembangkan dekade 1970-an yang melakukan tugas permodelan matematika, dan KEKADA,program heuristik yang menguji hipotesis untuk menelusuri fenomena alam, merupakan contoh-contoh pemanfaatan perkembangan komputer untuk membantu tugas ilmuwan.
“Kami menemukan sesuatu yang indah, persamaan elegan yang mendeskripsikan bagaimana sel bekerja (hanya menggunakan program komputer),” kata Michael Schmidt, yang bersama Hod Lipson menciptakan program bernama Eureqa, program komputer yang membantu ilmuwan menganalisis data hukum alam.
Ilmuwan kini sudah dibantu oleh robot untuk membantu kerjanya. Secara umum, robot yang membantu ilmuwan wajib memiliki tiga kriteria, antara lain: deduksi, induksi, dan abduksi. Deduksi memungkinkan penyimpulan fakta yang valid dari fakta dan aturan yang diketahui, induksi memungkinkan penyimpulan hipotesis dari fakta-fakta yang diketahui, dan abduksi memungkinkan penyimpulan fakta-fakta yang dihipotesis dari fakta-fakta yang diketahui.
Robot Pembantu Ilmuwan
Tim peneliti Massachusetts Institute of Technology, di awal Maret lalu, merilis robot bernama SoFi. Ia robot menyerupai ikan yang membantu ilmuwan memasuki wilayah-wilayah yang sukar dijangkau di lautan.
“Kami sangat gembira tentang kemungkinan dapat menggunakan SoFi untuk lebih dekat dengan kehidupan laut daripada mengandalkan manusia yang sukar melakukannya sendiri,” kata Robert Katzschmann, anggota tim peneliti pada Mashable.
Dalam paper berjudul “Exploration of Underwater Life with an Acoustically Controlled Soft Robotic Fish” menjelaskan soal kelahiran SoFi yang dikepalai oleh Robert K. Katzschmann. SoFi merupakan robot berbentuk ikan itu dibuat untuk melakukan manuver yang lincah serta didukung alat pengoperasian jarak jauh
Secara teknis, SoFi memiliki ukuran 0,47 m × 0,23 m × 0,18 m dengan berat sekitar 1,6 kg. Robot ikan tersebut diklaim mampu berenang di lautan selama 40 menit. Setidaknya ada 10 modul utama pembentuk SoFi, mulai dari kamera fisheye, mesin pompa, sayap pengendali, perangkat penerima sinyal, dan modul-modul lainnya.
Alih-alih menggunakan motor penggerak, sebagaimana robot bawah laut yang ada selama ini, SoFi berenang dengan mengepakkan ekor seperti ikan pada umumnya. Tujuan sistem ini agar tidak membuat biota-biota laut panik yang pada akhirnya membuyarkan penelitian bawah laut. Sistem hidrolik yang membuat sayap mengepak memiliki tiga frekuensi berbeda, rendah (0,9 Hz), sedang (1,15 Hz), dan tinggi (1,4 Hz). Memanfaatkan teknologi hidrolik, SoFi diklaim mampu berenang dengan jarak rata-rata 0,5 kali panjang tubuhnya per detik.
Sebagai pengendali, SoFi memiliki stik kontrol mirip Nintendo. Menurut tim pengembang, stik kontrol tersebut mampu mengendalikan SoFi tanpa hambatan hingga kedalaman 1,8 meter dengan radius 15 meter. SoFi dapat mengirimkan data dengan tingkat kesuksesan mencapai 97 persen.
Selain SoFi, ada pula robot yang membantu kerja ilmuwan bernama Adam. Berbeda dengan SoFi, Adam diciptakan untuk mengerjakan seluruh tugas ilmuwan dalam meneliti dari tahapan paling awal hingga akhir. Adam merupakan robot yang bisa melakukan perumusan hipotesis, merancang dan menjalankan eksperimen, menganalisis data, dan memutuskan eksperimen mana yang akan dijalankan. Dikembangkan oleh gabungan peneliti dari berbagai universitas, salah satunya Aberystwyth University, Wales.
“Ini merupakan kemajuan besar [...] Adam mengotomatisasi bagian dari proses ilmiah yang belum terotomatisasi di masa lalu,” cetus David Waltz, peneliti di Columbia University pada Wired.
Kelahiran Adam membuat dunia penelitian yang dilakukan para ilmuwan nampaknya akan berubah drastis. Keberadaan perangkat lunak atau program komputer hanya menyasar sisi perhitungan atau model-model percobaan komputer. Adam hadir pula untuk melakukan penelitian di ranah fisik, tanpa campur tangan si ilmuwan.
Di masa awal keberadaannya, Adam diharapkan akan melakukan penelitian pada ragi roti. Ragi roti merupakan organisme yang bisa dipahami manusia, tapi 10 hingga 15 persen dari total 6 ribu gen memiliki fungsi yang belum diketahui. Ini diharapkan dapat diuraikan oleh Adam, dengan melakukan perumusan hipotesis, merancang dan menjalankan eksperimen, menganalisis data, dan memutuskan eksperimen mana yang akan dijalankan.
Dalam paper yang ditulis Sparkes, Adam kali pertama dikembangkan pada 2005 lalu. Adam dirancang untuk melakukan percobaan pertumbuhan mikroba, khususnya dirancang untuk meneliti bagian bernama “locally orphan enzymes.” Dalam pembuatannya, Adam disiapkan untuk dapat melakukan 1.000 percobaan tiap harinya. Setidaknya, ada 14 pecahan-pecahan pembentuk Adam, yang jika digabungkan utuh memiliki ukuran hingga 5 meter.
Kelahiran SoFi, Adam dan robot-robot lainnya akan membantu manusia menemukan, menciptakan, atau mengembangkan sains dan teknologi dari alam yang jadi tempat hidup manusia. Cerita-cerita film Hollywood tentang robot-robot mungil yang jadi asisten, kini sudah benar-benar jadi kenyataan.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra