tirto.id - Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) dinilai hanya memfasilitasi kepentingan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hendak maju menjadi kepala daerah tidak perlu mundur dari parlemen.
Pernyataan itu ditegaskan Ketua lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Fery Junaidi, di Jakarta, Minggu (29/5/2016) merespons lamanya proses pengesahan revisi, akibat adanya tarik-ulur pada poin yang membahas perlu atau tidaknya seorang anggota DPR mundur dari jabatannya jika mengikuti pilkada.
“Revisi ini dibuat hanya untuk kepentingan anggota DPR demi melanggengkan jabatannya di parlemen,” kata Fery.
Fery juga mengaku bingung dengan proses yang lama dan tertutup pada revisi yang dilakukan Komisi II DPR-RI itu, padahal seharusnya UU tersebut sudah disahkan pada bulan ini.
Dengan molornya proses revisi tersebut, kata Fery, maka dipastikan tahapan Pilkada 2017 akan terhambat dan dikhawatirkan bisa memicu masalah lainnya.
Sebelumnya, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz mengatakan bahwa anggota DPR RI harus mundur dari jabatannya jika mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Masykurudin saat ditemui dalam sebuah kegiatan diskusi politik di Jakarta, Kamis (26/5/2016), menyampaikan hal tersebut sebagai respon terhadap lambatnya proses pengesahan revisi UU Pilkada oleh Komisi II DPR RI.
“Pencalonan anggota DPR apakah cukup cuti atau berhenti jadi hal yang krusial. Itu yang sekarang tidak selesai. Selesai atau tidak sebenarnya hanya soal kesepakatan mereka, tapi karena ada yang punya kepentingan maka jadi berlarut-larut,” kata dia.
Karena itu, JPPR bersikap tegas terhadap kondisi tersebut dan meminta Komisi II segera mensahkan revisi UU Pilkada, serta memutuskan agar anggota DPR yang ikut Pilkada harus mundur dari jabatannya. (ANT)
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz