Menuju konten utama

Respons Komunitas Kretek soal Polemik Tembakau di RUU Kesehatan

Komunitas Kretek menyebutkan penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam RUU Kesehatan dinilai mengada-ada.

Respons Komunitas Kretek soal Polemik Tembakau di RUU Kesehatan
Petani memetik daun tembakau saat panen di persawahan Dusun Welar, Toroh, Grobogan, Jawa Tengah, Senin (7/9/2020). Menurut petani, meskipun kualitas tembakau ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/wsj.

tirto.id - Komunitas Kretek menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang saat ini disusun secara omnibus law tidak transparan, manipulatif, penuh kepentingan, tidak urgen atau mendesak, dan memiliki potensi bahaya yang besar. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya penolakan dan kritik yang dilayangkan berbagai pihak.

Juru Bicara Komunitas Kretek, Siti Fatona, menyebutkan, penyertaan pasal 154 pada RUU Kesehatan yang menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif adalah salah satu contohnya.

“Undang-Undang lama masih relevan dan tidak ada urgensi dibuatnya aturan Omnibus Law. Aturan soal tembakau di Undang-Undang yang lama serta beragam aturan lainnya, sudah sangat komprehensif dan tidak perlu ditambah-tambahkan secara sewenang-wenang,” katanya dalam keterangan persnya, Sabtu (20/5/2023).

Siti menilai penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam aturan ini juga mengada-ada dengan tujuan utama untuk mengendalikan tembakau belaka. Sebagai informasi, pasal 154 yang terdapat dalam RUU Omnibus Kesehatan merupakan perubahan dari Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang membahas terkait Pengamanan Zat Adiktif.

Dalam pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, yang dimaksud sebagai zat adiktif adalah tembakau dan produk yang mengandung tembakau. Sementara, narkotika dan psikotropika diatur dalam undang-undang berbeda yang tidak termasuk dalam UU Kesehatan yang masih berlaku.

Namun, dalam RUU Omnibus Kesehatan yang tengah menjadi pembahasan, barang yang diklasifikasikan sebagai zat adiktif bertambah menjadi tembakau, minuman beralkohol, narkotika, psikotropika dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya. Hal inilah yang membuat berbagai kalangan menilai pasal zat adiktif dalam RUU Omnibus Kesehatan melampaui batas.

Beberapa pihak melayangkan kritik dan menentang pemasukan atau penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai bagian dari zat adiktif dalam pasal 154 RUU Kesehatan ini dengan berbagai alasan.

Salah satunya adalah lantaran perbedaan legalitas antara tembakau dengan narkotika dan psikotropika, di mana tembakau dan produk turunannya merupakan barang yang legal secara hukum sementara narkotika dan psikotropika tergolong ilegal.

Penyetaraan yang terjadi dalam RUU ini dikhawatirkan akan membuka celah delegitimasi tembakau sebagai produk legal yang berujung kriminalisasi petani dan seluruh pihak yang terlibat dalam rantai pasok tembakau serta produk turunannya. Hal ini, salah satunya juga disampaikan oleh Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana.

"Dampaknya terhadap industri hasil tembakau ini pasti mati, orang akan dilarang dan ditangkap polisi, Pemerintah harus bijak dalam membuat aturan,” ujarnya.

Selain pasal 154, Siti juga menyoroti sejumlah pasal lain yang berpotensi berbahaya dalam RUU Kesehatan. Pasal tersebut antara lain, Pasal 156 yang mengatur terkait standardisasi kemasan bagi produk tembakau, khususnya akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kesehatan.

“Dalam draf dan daftar inventarisasi masalah yang tersebar, terlihat Kementerian Kesehatan ingin jadi penguasa tunggal isu tembakau di Indonesia karena itu mereka memasukkan ayat yang inkonstitusional, yakni membuat perihal teknis ke dalam undang-undang,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Siti Nadia Tarmizi menegaskan bahwa tembakau dan juga alkohol tidak sama perlakuannya dengan narkotika dan psikotropika.

Dia menjelaskan tembakau, alkohol dan juga narkotika dan psikotropika dalam RUU hanya dikelompokkan ke dalam pasal zat adiktif atau unsur yang memiliki ketergantungan jika dikonsumsi.

"Pengelompokan tersebut bukan berarti tembakau dan alkohol diperlakukan sama dengan narkotika dan psikotropika di mana kedua unsur tersebut ada pelarangan ketat dan hukuman pidananya," kata dia kepada Tirto, Sabtu, 20 Mei 2023.

Nadia menjelaskan narkotika dan psikotropika diatur dalam Undang-Undang khusus. Tembakau dan alkohol tidak akan dimasukkan ke dalam penggolongan narkotika dan psikotropika karena berbeda undang-undangnya.

"Tembakau dan alkohol tidak akan disamakan dengan ganja, dll yang ada pidana dan pelarangannya," katanya.

Pengelompokan tembakau dan alkohol sebagai zat adiktif, lanjut Nadia, sebenarnya sudah ada dalam Undang-Undang Kesehatan yang saat ini berlaku.

"Jadi tembakau dan alkohol tidak benar akan diperlakukan sama dengan narkotika dan psikotropika," pungkas dia.

Terkait dengan draf RUU Kesehatan, Nadia menyampaikan daftar inventaris masalah (DIM) sudah diserahkan ke DPR. Apabila ada masukan dari masyarakat, bisa menyampaikan hal tersebut kepada DPR.

“Saat ini DIM sudah diserahkan kepada DPR. Mungkin masukan bisa disampaikan ke DPR untuk menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan dengan Pemerintah.”

Baca juga artikel terkait TEMBAKAU atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri