tirto.id - Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengatakan bahwa BMKG sudah lama menguji prekursor atau memprediksi gempa dengan metode anomali gas radon dan anomali muka air tanah.
"BMKG sudah lama mengoperasikan metode ini tidak hanya anomali gas radon dan anomali air tanah tetapi juga memasang sensor magnet bumi di berbagai daerah di Indonesia," kata Daryono saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Menurutnya metode prekursor dengan menggunakan anomali gas radon dan muka air tanah itu telah diterapkan BMKG untuk sumber gempa sesar aktif, stasiun prekursornyapun dekat dengan (sumber) gempa tersebut.
Sehingga metode ini tidak efektif jika digunakan untuk memprediksi gempa yang lokasinya jauh dengan stasiun prekursor.
Sebab ada batasan jarak di dalam mengoperasikan prekursor jika sumur yang digunakan untuk mengamati berada di Jogja.
Selain itu menurut Daryono, BMKG juga mengkaji anomali kecepatan gelombang P dan S kemudian mengkaji total electron content hingga suhu.
"Kalau yang mencakup wilayah jauh BMKG menggunakan metode anomali kemagnetan bumi dan total electron content," ujar Daryono.
Daryono juga menegaskan bahwa potensi gempa memang bisa diprediksi namun ketepatan prediksi tersebut masih belum konsisten.
"Potensi bisa diprediksi tetapi hingga saat ini periset gempa di seluruh dunia sepakat belum ada alat yang memprediksi dengan akurat dan tepat terkadang ada yang konsisten tapi masih banyak yang tidak konsisten," kata Daryono.
Sehingga menurutnya saat ini riset prekursor BMKG masih tetap dalam kajian yang terus dilakukan.
Namun dalam mengoperasionalkan dan mengkajinya, menurutnya BMKG belum menginformasikan hasilnya kepada masyarakat karena tidak ingin membuat panik dengan sesuatu yang masih belum pasti.
Daryono juga mengatakan, bahwa gempa dengan magnitudo di bawah 6 sangat banyak dan sering terjadi di Indonesia.
Sehingga jika akan melakukan pengujian sebaiknya terhadap gempa dengan magnitudo di atas 6.
"Gempa yang diprediksi sebaiknya gempa kuat yang jarang terjadi, karena kalau yang diprediksi gempa kecil maka tidak diprediksi pun akan sering terjadi, sehingga jangan sampai kegiatan prediksi gempa diibaratkan berburu binatang di kandang domba," katanya.
"Kalau gempa yang sekitar 5 banyak terjadi sehingga kita tidak tahu gempa yang dipredikis itu apa bukan karena memang sering terjadi," tambahnya.
Ia juga mengatakan multi observasi untuk mengoptimalkan prekursor gempa sebaiknya jangan hanya menggunakan satu atau dua parameter tapi harus multi parameter agar akurasinya lebih bagus
"Karena kita enggak tahu itu hasil anomali atau bukan itu harus dikonfirmasi dengan data magnet bumi, total electron content (TEC), anomali gravity, perlu ditambah selisih kecepatan gelombang P dan gelombang S," ujarnya.
"Juga mungkin ada memasang peralatan strainmeter dan tiltmeter di zona sumber gempa yang dikaji supaya apakah disitu ada terjadi regangan atau tekanan bisa diamati," tambahnya.
Selain itu menurutnya untuk mengoperasikan prekursor gempa, para peneliti sebaiknya juga harus memahami ilmu seismologi agar tidak salah dalam melakukan interpretasi dan misleading terkait nilai-nilai prekursor dan gempa yang diduga sudah berhasil diprediksi.
Guru Besar UGM Sebut Kembangkan Alat untuk Prediksi Gempa
Hal ini dikatakan Daryono untuk menanggapi pernyataan Guru Besar serta Ketua tim riset Laboratorium Sistem Sensor dan Telekontrol Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM, Profesor Sunarno soal alat yang bisa memprediksi gempa hingga 2 minggu sebelum kejadian.
Saat dihubungi melalui sambungan telepon, Sunarno mengatakan bahwa saat ini pihaknya masih terus mengembangkan sistem peringatan dini yang mampu mendeteksi dan memberikan peringatan gempa dengan magnitudo 4 hingga 7.
Menurutnya alat yang dikembangkan tersebut mampu mendeteksi gempa dua hari hingga dua minggu sebelum kejadian.
"Alat ini bisa memberikan informasi kalau ada indikasi gempa di Aceh hingga NTT, kalau gempanya besar alat akan mulai memberikan peringatan hingga dua minggu sebelum kejadian," kata Sunarno.
Sunarno menjelaskan, penelitian ini sebenarnya sudah lama ia dan timnya dilakukan.
Namun hasil penelitian ini baru ia publikasikan beberapa hari lalu karena di masyarakat terjadi kepanikan akibat informasi yang beredar tentang potensi tsunami hingga 20 meter.
"Penelitian ini sudah lama, sudah tujuh tahun lalu. Saya munculkan karena masyarakat resah akan ada potensi tsunami, padahal sebelum tsunami ini kan pasti akan ada gempa besar dulu. Dan gempa ini bisa diprediksi karena sebelum terjadi gempa akan indikasi atau gejala yang menyertainya," ujar Sunarno.
Sistem yang dikembangan Sunarno ini terdiri dari alat EWS yang tersusun dari sejumlah komponen seperti detektor perubahan level air tanah dan gas radon, pengkondisi sinyal, kontroler, penyimpan data, sumber daya listrik. Lalu, memanfaatkan teknologi internet of thing (IoT) di dalamnya.
Dilansir dari laman resmi UGM, pada 2018 lalu ia dan tim telah melakukan penelitian untuk mengamati konsentrasi gas radon dan level air tanah sebelum terjadinya gempa.
Pengamatan yang telah dilakukan kemudian dikembangkan sehingga dirumuskan dalam suatu algoritma prediksi sistem peringatan dini gempa bumi.
Sistem ini terbukti telah mampu memprediksi terjadinya gempa bumi di Barat Bengkulu M5,2 (28/8/2020), Barat Daya Sumur-Banten M5,3 (26/8/2020), Barat Daya Bengkulu M5,1 (29/8/2020), Barat Daya Sinabang Aceh M5,0 (1/9/2020), Barat Daya Pacitan M5,1 (10/9/2020), Tenggara Naganraya-Aceh M5,4 (14/9/2020), dan lainnya.
Sistem peringatan dini gempa ini telah digunakan untuk memprediksi gempa. Ada 5 stasiun pantau/EWS yang tersebar di DIY yang dalam setiap 5 detik mengirim data ke server melalui IoT.
"Lima stasiun EWS ini masih di sekitar DIY. Jika seandainya terpasang di antara Aceh hingga NTT kita dapat memperkirakan secara lebih baik, yakni dapat memprediksi lokasi lebih tepat /fokus," terangnya.
Sunarno menyebutkan sistem deteksi tersebut dikembangkan sebagai mekanisme membentuk kesiapsiagaan masyarakat, aparat, dan akademisi untuk mengurangi risiko bencana.
Sebab, posisi Indonesia yang berada di 3 lempeng tektonik dunia menjadikannya rentan terjadi gempa bumi.
Di Indonesia saat ini terdapat banyak daerah yang rawan gempa, menurut Daryono terdapat kita memiliki 13 segmentasi megathrust dan lebih dari 295 sesar aktif.
Sebelumnya pada 2019 juga telah terjadi 11.473 gempa bumi dengan aktivitas gempa signifikan yang memiliki magnitudo di atas 5,0 terjadi sebanyak 344 kali.
Sedangkan gempa kecil dengan kekuatan kurang dari magnitudo 5,0 terjadi sebanyak 11.229.
Editor: Agung DH