Menuju konten utama

Rekam Jejak Retaknya Hubungan Qatar dan GCC

Hubungan Qatar dengan tetangga-tetangganya semakin tak harmonis sejak kepemimpinan Emir Hamad.

Rekam Jejak Retaknya Hubungan Qatar dan GCC
Ilustrasi Qatar Arab Saudi. FOTO/iStock

tirto.id - Pada 5 Juni 2017, Arab Saudi, Mesir, UEA, dan Bahrain memutus hubungan diplomatik dengan Qatar. Transportasi darat dan udara dari negara-negara teluk itu yang menuju ke Qatar juga dibekukan. Negara-negara tersebut menuduh Qatar merusak kestabilan kawasan terkait dukungan Doha terhadap kelompok teroris.

Salah seorang pejabat dari Arab Saudi mengatakan langkah negara-negara Teluk tersebut adalah untuk “melindungi keamanan nasionalnya dari bahaya terorisme dan ekstremisme.” Alasan senada juga diungkapkan oleh UEA yang menuduh Doha mendukung dan mendanai para teroris dan organisasi sektarian.

Financial Times mengungkapkan pemicu utama runtuhnya hubungan baik Qatar dengan negara Teluk adalah karena adanya aliran dana dari Qatar kepada Iran dan afiliasi al-Qaeda. Dana itu untuk membebaskan anggota keluarga kerajaan dari negara teluk tersebut yang diculik di Irak pada 2015 dan ditahan oleh Kataeb Hizbollah, milisi Irak yang memiliki hubungan dengan Iran.

Konflik juga terjadi karena adanya laporan Qatar melakukan negosiasi dengan Iran yang notabene merupakan musuh Arab Saudi, Hizbullah dan kelompok pemberontak Suriah Jabhat al-Nusra untuk membebaskan keluarga kerajaan tersebut.

Rincian pendanaan Qatar kepada Iran dan teroris adalah: 700 juta dolar AS diberikan kepada tokoh-tokoh Iran dan Syiah. Qatar kemudian menambahkan 200-300 juta dolar AS untuk kelompok-kelompok Islam di Suriah, sebagian besar ke Tahrir Al-Sham, sebuah kelompok yang memiliki hubungan dengan al-Qaeda. Aliran dana yang mengalir dari Qatar inilah yang dituduh negara-negara Teluk sebagai bentuk dukungan Qatar terhadap teroris.

Tudingan bahwa Qatar mendanai para teroris bukanlah isu baru. Pada 2014, negara-negara Teluk juga melakukan pembekuan hubungan diplomatik dengan Qatar atas tuduhan bahwa Doha mendukung Ikhwanul Muslimin yang dianggap organisasi “teroris” oleh Arab Saudi dan UEA. Qatar banyak dikritik oleh negara-negara tetangga terkait dukungannya tersebut.

Hubungan ketiga negara tersebut dengan Qatar kembali membaik setelah delapan bulan, yang ditandai dengan pengembalian duta besar ketiga negara ke Doha. Hubungan Qatar dengan Arab Saudi semakin erat saat Raja Salman dari Arab Saudi berkunjung ke Doha pada 2016 dengan tujuan untuk memperkuat hubungan baik kedua negara. Namun, hubungan baik itu kembali retak dengan adanya pemutusan hubungan diplomatik pada 5 Juni lalu oleh Arab Saudi, UEA, Mesir dan Bahrain.

Infografik dinamika Hubungan Qatar GCC

Emir Hamad, Gas dan Iran

Menurut Dr Abdullah Al Taboor, seorang sejarawan terkemuka Emirat, ketegangan Qatar dengan negara Teluk seperti UEA, Arab Saudi dan Bahrain semakin memburuk setelah Sheik Hamad Bin Khalifa Al Tani menggulingkan ayahnya pada tahun 1995 dan menjadi Emir baru di Qatar.

“UEA, Arab Saudi dan Bahrain berpendapat bahwa dengan menurunkan Sheikh Khalifa, Doha gagal menghormati nilai dan tradisi Teluk. Selama kunjungannya ke tiga negara, ayah Emir yang baru digulingkan tersebut, Shaikh Khalifa Bin Hamad menjelaskan bahwa ia berusaha mendapatkan kembali kekuasaan,” kata Taboor seperti dikutip Gulf News.

Senada dengan itu, menurut The Atlantic, kemarahan negara tetangga memang meningkat saat kepemimpinan Emir Hamad. Bersama dengan menteri luar negerinya Sheikh Hamad bin Jassim al Thani, Emir Hamad mulai membangun Qatar dan menjadikan negara terkemuka di Timur Tengah pada tahun 1990an hingga 2000an. Ia mengembangkan infrastruktur gas alam cair dan melakukan perjanjian energi jangka panjang dengan negara-negara industri dan negara berkembang di seluruh dunia, di saat negara Teluk lainnya belum memanfaatkan potensi gas dan menjauh dengan Arab Saudi.

Di sisi lain, Arab Saudi berusaha menggulingkan Emir Hamad dan terlibat dalam usaha kudeta balasan pada Februari 1996 yang dirancang untuk menggulingkan Emir Hamad dan mengembalikan Sheik Khalifa. Namun, upaya kudeta tersebut gagal. Upaya kudeta kedua pada 2005 terhadap Emir Hamad juga diyakini ada campur tangan Arab Saudi.

Marc Champion dari Bloomberg menyampaikan hal senada. Perselisihan itu meruncing saat Qatar mulai melakukan pengiriman pertama gas alam cair dari cadangan terbesar di dunia. Selain itu, ladang gas Qatar di sebelah utara ternyata dibagi dengan Iran, musuh bebuyutan Arab Saudi. Qatar terus berkembang menjadi salah satu negara terkaya di dunia dengan pendapatan per kapita sebesar 130 ribu dolar AS per tahun.

Kekayaan Qatar tak lepas dari posisinya sebagai eksportir LNG nomor satu di dunia. Tahun ini Qatar menggelontorkan 2,7 miliar dolar AS untuk menginvestasikan pada Rosgyft Oil Co milik Rusia. Dengan sumber daya yang dimiliki, Qatar bisa mengembangkan kebijakan luar negerinya yang membuat marah tetangga-tetangganya. Misalnya Qatar mendukung Ikhwanul Muslimin, Hamas di jalur Gaza dan faksi-faksi bersenjata yang ditentang oleh UEA atau Arab Saudi.

Qatar juga membayar jaringan televisi global Al Jazeera yang dalam beberapa waktu lalu mempermalukan dan membuat marah sebagian besar pemerintah Timur Tengah. Komentar kontroversi pernah dilontarkan saluran Al Jazeera untuk keluarga penguasa Arab Saudi yang membuat krisis hubungan diplomatik kedua negara. Komentar Al Jazeera ditanggapi Arab Saudi dengan menarik duta besarnya dari Doha. Arab Saudi juga menarik persetujuannya terkait rencana Qatar untuk membangun jaringan pipa gas ke Kuwait yang akan melewati perairan teritorial Arab Saudi.

Perkembangan pesat Qatar tidak disambut baik oleh negara tetangga apalagi kebijakan Emir Hamad dirancang untuk membawa Qatar keluar dari bayang-bayang Arab Saudi. Qatar fokus mengembangkan gas sedangkan tetangga-tetangganya fokus memproduksi minyak yang tergabung dalam GCC (Gulf Cooperation Council) sehingga Qatar bebas dan tak terikat dengan Organisasi Negara Pengekspor Minyak, kartel minyak yang didominasi Arab Saudi.

Qatar malah membangun ikatannya sendiri dengan memperkuat hubungan dengan Iran yang tentu tak disukai Arab Saudi. Menurut Jim Krane, peneliti energi dari Rice University’s Baker Institute, Texas, negara-negara kawasan kini sedang mencari kesempatan untuk mematahkan 'sayap' Qatar.

“Qatar dulu adalah bagian dari Arab Saudi, tetapi (Qatar) menggunakan otonomi bahwa kekayaan gasnya diciptakan untuk mengukir peran independen untuk dirinya sendiri,” kata Jim Krane.

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN DIPLOMATIK atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Politik
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti