tirto.id - Redlight Emergency, acara tahunan komunitas musik di Jember, Jawa Timur, kembali akan diadakan pada Sabtu (22/10). Bertempat di Chord Cafe, tahun ini menandai helatan kelima Redlight Emergency.
Acara ini berawal dari keinginan sederhana: membuat gigs untuk band-band yang sedang tumbuh dan berkembang di Jember. Sejak akhir 1990, geliat kolektif di Jember mulai tumbuh. Di antaranya ada Gerimis, kolektif punk yang rutin mengadakan gigs Gerilya Bawah Tanah sejak 1998 silam.
Di era awal 2000, internet masuk ke berbagai penjuru Indonesia, termasuk Jember. Tumbuhnya banyak warung internet di kawasan kampus, membuat banyak band bisa mengakses pengaruh-pengaruh musik yang sebelumnya susah didapat. Ditambah dengan demam garage rock yang lahir dari sudut-sudut New York, Jember yang terpisah 16 ribu kilometer dari markas The Strokes dan Mooney Suzuki ini juga mengalami euforia serupa.
Maka bermunculan banyak band baru, tunas kolektif, juga aneka ria gigs tiap akhir pekan. Geliat musik di Jember semarak. Dari era ini, bermunculan band-band seperti Night to Remember, The Baja Hitam, Sagavo, yang kehadirannya berbarengan dengan eksistensi band-band yang lebih dulu muncul, seperti Serversick dan Tamasya.
Namun usai 2010, gigs mulai menghilang. Mahasiswa yang dulu aktif bermain band dan membentuk kolektif di sana-sini, dipanggil oleh hal yang lebih genting: pekerjaan dan cicilan. Mereka keluar dari Jember, berkelana ke mana-mana. Sayangnya, regenerasi juga ikut mandeg.
Perlahan, sudut-sudut kampus mulai terkooptasi. Kafe dan klub yang dulu rutin mengadakan gigs, dirobohkan, berganti jadi konter ponsel atau bangunan indekos. Seperti jejeran domino yang berjatuhan, efeknya merembet ke mana-mana. Termasuk nyaris tak ada lagi band dan kolektif musik Jember yang aktif.
Melihat kondisi itu, maka muncul inisiatif Redlight Emergency.
Nama dan warna itu menyiratkan satu hal: kota Jember dan musiknya perlu pertolongan. Mari datang kembali ke kota ini, dan kembali bermain musik bersama-sama. Hal ini efektif. Para diaspora yang pernah menimba ilmu dan waskita di Jember, kembali berdatangan. Setahun sekali. Mungkin nostalgia, mungkin ada perasaan ingin kembali main band di sela hidup kubikel yang membunuh perlahan, mungkin juga ingin mendorong para teman-teman muda mereka aktif bermain musik.
Dua tahun terakhir, Redlight Emergency vakum. Tahun ini gelaran kembali diadakan. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, banyak diaspora dari Jember yang pulang untuk acara ini. Ada yang ingin menonton, ada yang ikut bermain.
Gulfino Guevarrato, seorang budget research analyst yang bekerja di tim kampanye dan advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), adalah salah satu yang memutuskan untuk pulang sejenak ke Jember.
Menurutnya, Jember dan para manusianya memang perlu menghidupkan ruang kreatif. Kota pelajar, ujar Fino, panggilan akrab Gulfino, harus didukung dengan ekosistem yang kreatif.
"Saya pun pernah merasakan, ruang kelas di kampus seringkali memuakan. Gigs adalah pelarian paling efektif dan ekstatif," ujar Fino.
Fino dan puluhan orang lain dipastikan akan memadati acara yang akan menghadirkan kombinasi band lawas dan baru di Jember. Mulai dari Serversick, The Bajahitam, The Rocket, Sagavo, From This Accindent, hingga Papa Acid dan Ismamsaurus.
Mari bersenang-senang!
Editor: Nuran Wibisono