tirto.id - Anthony Bourdain, pengelana rasa legendaris itu, pernah berkata: New York mungkin kota yang tidak pernah tidur, tapi Singapura adalah tempat yang bisa membuat orang tidak berhenti untuk makan. Singapura adalah paradoks, yang dalam ungkapannya: sebuah sistem yang tidak ingin dia jalani, bukan dunia yang dia inginkan, tapi sialnya punya daya tariknya sendiri.
Kebersihan, kerapihan, kriminalitas yang rendah, pengangguran yang nyaris nol, pemerintahan yang efektif bebas korupsi, transportasi publik yang efisien, air minum gratis yang banyak disediakan di banyak tempat publik –cukup bermodalkan tumbler keliling kota-- dan deretan hal lain yang harus saya akui sebagai hal yang membuat iri, apalagi dari kacamata warga negara Indonesia seperti saya. Perbandingan yang terbilang jauh.
Beberapa tahun sebelumnya, saya mendatangi negara ini hanya untuk urusan transit. Kapan hari saya cukup punya waktu satu minggu di Singapura, untuk sekalian jalan-jalan dan menjajal makanan-makanannya.
Bisa jadi makanan adalah hal yang mempersatukan Singapura, karena mereka tidak punya bahasa daerah dan baju daerah untuk dirayakan. Sepertinya pula, makanan adalah bagian besar dari identitas Singapura.
Dari Changi menuju Chinatown, saya naik kereta dengan kondisi penumpang yang meskipun ramai tapi terasa senyap --dengan sebagian besar penumpangnya khusyuk dengan gawainya masing-masing di tangan. Jika ada yang berisik, sepertinya itu adalah perut saya yang terdengar protes untuk segera minta diisi.
Hawker atau semacam tempat makan pujasera di area Chinatown adalah tujuan yang ingin segera saya kunjungi. Tempat yang tidak terlalu jauh dengan ditempuh berjalan kaki setelah turun dari kereta bawah tadi. Tempat dengan tajuk Maxwell Food Centre menjadi tujuan. Patokan gampangnya: ia berada di seberang jalan Buddha Tooth Relic Temple.
Sepertinya saya kurang tepat dalam memprediksi waktu, ketika sampai ternyata berbarengan dengan jam makan siang, kerumunan orang menyemut mengerubungi kios-kios kecil di dalamnya. Ada lebih dari 100 kios di Maxwell Food Centre ini, dengan ragam makanan yang terpampang dalam papan lampu bertuliskan menu andalan. Carrot cake, biryani, bakut teh, kwetiau goreng, oyster cake yang sekilas menyerupai bakwan atau ote-ote, juga aneka minuman dan pilihan dessert yang beragam. Kios-kios tadi seperti terangkum dalam tiga kasta besar makanan yang tersaji: Chinese food, India, dan Melayu.
Di tempat makan yang hampir seluas lapangan sepak bola itu, ada satu kios yang menonjol. Antriannya paling panjang, menunya adalah nasi ayam. Kiosnya bernama; Tian-Tian Hainanese Chicken Rice. Tempat ini seperti familiar dalam kepala saya, saat mendekat ternyata benar adanya.
Ulasannya pernah saya baca beberapa kali. Dan yang membuatnya berbeda adalah poster Anthony Bourdain yang ditempel di kaca kiosnya, seperti menjadi magnet untuk mereka rela mengantri. Selain bertujuan makan, mereka seperti sembari ingin membuktikan testimoni legenda kuliner dunia tersebut soal rasanya:
“Chicken rice is so fragrant & delicious that it can be eaten on its own.”
Memilih menu makanan yang berderet dengan jumlah kios seratusan lebih adalah satu persoalan, persoalan lainnya adalah mencari tempat duduknya. Nyaris semua kursi meja terisi, kalau pun ada, hanyalah satu dua kursi kosong dan harus berbagi meja dengan orang lain.
Untuk mendudukinya, caranya adalah meninggalkan kotak tisu di meja sebagai penanda, semacam aturan tidak tertulis bahwa tempat tersebut sudah terisi. Setidaknya itu juga cara yang saya terapkan, setelah mengamati beberapa dari pengunjung lain yang sebelumnya melakukannya dengan cekatan.
Tian-Tian Hainanese Chicken Rice percaya diri menampilkan satu menu di papan lampu neon berwarna biru tua, dengan dominasi aksara China. Ini membuat saya tertarik untuk ikut memesan, meskipun dengan prasyarat turut mengantri sebelum menyantapnya.
Wujudnya adalah setangkup nasi yang tampak kecokelatan, dengan sekian kerat daging ayam yang berlemak dan mengkilat, ditambah beberapa potongan timun, dan sambal yang berwarna gabungan merah dan oranye. Saya memesan dalam dua porsi medium, dengan tambahan satu porsi sayur pakcoy yang terpisah. Menu ini dibanderol dengan harga 18 dollar Singapura.
Menyuapkan gabungan nasi dan ayamnya secara bersamaan di mulut, terasa daging ayamnya yang lembut, sebuah hasil dari ketelatenan ayam yang direbus, untuk kemudian direndam dalam air dingin, hingga digantung dan ditiriskan. Proses yang setiap tahapnya sudah dilakukan puluhan tahun oleh Foo Kui Lian, seorang perempuan bertubuh mungil di balik pencipta resep nasi ayam Hainan Tian-Tian miliknya.
Nasinya sendiri tampak mengepul dengan malu-malu saat terhidang, berpenampakan seperti beras ketan dan terasa legit, dengan gabungan yang rasa-rasanya adalah aroma minyak wijen dan jahe yang menguar tipis, teksturnya pun tidak terlalu lengket.
Sementara untuk sambalnya, tidak terasa pedas dan ada sedikit rasa asam setelah menyecapnya. Untuk sayur pakcoy-nya, jejak saus tiramnya terasa tegas dengan taburan bawang goreng yang melingkarinya.
Saat menyantap kesemuanya, yang terasakan di dalam mulut adalah paralel gabungan antara rasa gurih dan manis yang seperti saling bersahutan.
Hawker dan Saksi Perjalanan Panjang Kaki Lima Singapura
Lukisan dengan ukuran lebar 119.5 dan tinggi 85.6 cm, berjudul “Here They Come!” yang dilukis oleh Koeh Sia Yong tahun 1965 itu terpajang di National Gallery Singapura. Warna lukisan dengan dominan cokelat, menggambarkan beberapa pedagang di pinggir jalan yang seperti bergegas pergi dengan wajah penuh kekhawatiran.
Lukisan itu menggambarkan pedagang kaki lima yang berdagang di pinggir jalan. Si pelukis yang memasukkan pedagang chwee kueh dengan gerobaknya, pedagang ikan, dan pedagang sayuran dengan pikulannya, seperti jeli mendokumentasi situasi Singapura tahun itu dengan guratan kuasnya.
Dalam film dokumenter A Frame in Time yang menceritakan sekeping sejarah masa lalu Singapura itu, lokasi dari lukisan tersebut bertempat di Teochew Street, lokasi yang sekarang bernama Clarke Quay. Di situ dulunya ada pasar besar, dan banyak pedagang keturunan Tionghoa yang ngemper berjualan untuk menyambung hidup, sekaligus was-was jika tiba-tiba datang rombongan petugas trantib mengusirnya.
“Here They Come!” karya Koeh Sia Yong itu adalah artefak sejarah pedagang kuliner kaki lima di Singapura bermedium kanvas, ketika pemerintah yang baru merdeka saat itu mulai merasionalisasi kebijakan ekonomi informal. Sekaligus menerapkan peraturan untuk mengumpulkan para pedagang kaki lima tadi ke dalam tempat-tempat yang terpusat.
Dalam buku Singapore Hawker Centres: People, Places, Food yang ditulis oleh Lily Kong, transformasi para pedagang kaki lima di Singapura yang seperti sekarang terlihat, adalah jalan panjang pembangunan yang mereka lalui. Lily mendeskripsikan, era tahun 60-an adalah situasi penuh sesak para pedagang di beberapa jalan utama di Singapura, dengan kualitas higienis makanan yang dipertanyakan.
Hingga kemudian para hawker berangsur mulai tertata dan rapi di tahun 70-an akhir hingga 80-an. Dan di tahun 90-an, beberapa kios-kios hawker sudah mulai memasang standar label dengan abjad “A” hingga “D” dalam urutan higienis makanan di papan jualannya.
Maxwell Food Centre di kawasan Chinatown Singapura ini, adalah satu bagian dari seratusan lebih hawker centre yang banyak tersebar di beberapa sudut Singapura.
Jika ada yang ingin saya cari setelah menyantap nasi ayam Hainan tadi, itu adalah santapan chwee kueh. Sejenis kue mangkok yang diisi tepung, lalu dikukus, kemudian ditaburi potongan lobak yang diawetkan, ditambah udang kering yang ditumis dengan bawang, dan ditaburkan di atasnya.
Sajian ini penasaran ingin saya coba, setelah memandangi lama lukisan “Here They Come!”-nya Koeh Sia Yong, saat pedagang chwee kueh terlihat mendorong gerobaknya dengan ketakutan.
Saya kemudian berkeliling, dan beberapa kali coba bertanya dalam bahasa Inggris atau Melayu kepada para pedagang di situ, apakah di sini ada yang menjual chwee kueh? Mereka seragam menggelengkan kepala. Sajian “keprihatinan” masa lalu Singapura itu nihil saya dapatkan, apalagi untuk dirasakan.
Chwee kueh dan pedagang dengan gerobaknya yang diabadikan oleh Koeh Sia Yong itu seperti menjadi makanan simbolik, yang sepertinya sudah tidak “diperlukan” lagi di Singapura yang lebih modern, setidaknya untuk di Maxwell Food Centre sendiri.
Setelah cukup kenyang dan tidak mendapatkan yang saya cari, mata saya masih tertuju ke kios Tian-Tian Hainanese Chicken Rice yang masih menyisakan antrian panjang, dan poster Anthony Bourdain yang tampak tersenyum.
Tiba-tiba saya jadi teringat Tony dalam tayangan Parts Unknown episode Singapura. Saat dia menyantap omlet tiram goreng, udang goreng, dan sate di Geylang Street, sambil berbincang dengan beberapa anak muda Singapura, tentang hal-hal yang baik dan buruk di Singapura.
Hal baiknya adalah soal toleransi dan efisiensi di negara itu, yang menjadi jawaban untuk susah dibantah.
Namun ketika perbincangan soal modernisasi di Singapura dan bagaimana warga Singapura harus membayar harga mahal , wajah Tony mulai tampak berubah. Ini adalah fenomena yang lahir karena saking sibuknya bekerja di Singapura, para anak muda tadi bahkan tidak bisa menuangkan air dari dispenser untuk dirinya sendiri, dan harus selalu asisten rumah tangganya.
Tony, setelah mendengarkan mereka sebagai representasi modernitas negaranya itu, berseloroh dengan situasi yang dia gambarkan lekat dengan nuansa borjuis. Sambil bercanda dengan mimik muka yang serius, Tony mengungkapkan, dia seperti jadi ingin bergabung dengan partai komunis.
Ungkapan Bourdain soal Singapura di awal tulisan tadi --sebagai tempat dengan sebuah sistem yang tidak ingin dia jalani-- seperti mendapatkan alasan kuatnya dalam perbincangan tersebut. Namun sebagai orang Indonesia yang silau dengan bentuk keteraturan dan efisiensi Singapura --dan seperti saya rindukan-- saya tidak sepenuhnya setuju dengan Tony. Pengalaman puluhan tahun hidup di Indonesia, dengan sederet birokrasi bobroknya yang berkarat, adalah salah satu biang yang kemudian melahirkan masalah sistemik lainnya.
Namun, terlepas soal hal-hal tadi, dan ketika bicara soal ragam kulinernya dan bagaimana menikmatinya, sepertinya susah dibantah, satu minggu di Singapura sepertinya masih tetap terasa kurang.
Editor: Nuran Wibisono