Menuju konten utama
Kuasa Hukum:

Putusan PK Baiq Nuril Didasari Bukti Cacat Hukum

Bukti elektronik yang dipertimbangkan majelis hakim kasasi dalam putusan itu adalah bukti elektronik yang tidak sah yang cacat, yang tidak memenuhi ketentuan pasal 5 dan pasal 6 UU ITE.

Putusan PK Baiq Nuril Didasari Bukti Cacat Hukum
Terpidana kasus pelanggaran UU ITE Baiq Nuril menjawab sejumlah pertanyaan wartawan usai menjalani sidang perdana pemeriksaan berkas memori PK di Pengadilan Negeri Mataram, NTB, Kamis (10/1/2019). ANTARA FOTO/Dhimas B. Pratama/wsj.

tirto.id - Penasihat hukum Baiq Nuril Aziz Fauzi kecewa atas putusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA) terhadap kliennya. Aziz menilai, putusan MA itu didasari pada bukti yang cacat hukum.

"Bukti elektronik yang dipertimbangkan majelis hakim kasasi dalam putusan itu adalah bukti elektronik yang tidak sah yang cacat, yang tidak memenuhi ketentuan pasal 5 dan pasal 6 UU ITE," kata Aziz di LBH Pers, Jakarta Selatan pada Jumat (5/7/2019).

Dalam persidangan, hakim menjadikan rekaman pembicaraan antara Nuril dan atasannya sebagai barang bukti untuk menyatakan Nuril bersalah.

Padahal, menurut Aziz rekaman yang ditunjukkan di muka hakim dan dijadikan pertimbangan sudah berubah.

Hal ini diketahui dari keterangan seluruh saksi di persidangan yang mengatakan ada bagian yang hilang di bagian awal dan tengah rekaman tersebut.

"Barang bukti elektronik itu telah berubah isinya di awal dan pertengahan. Ada nama L yang dihilangkan, itu dibenarkan oleh semua saksi," ujarnya.

Aziz beralasan, hal itu bisa terjadi lantaran file yang dijadikan bukti adalah salinan, bukan file asli. Sedangkan berdasar pasal 5 dan pasal 6 UU ITE, suatu file elektronik baru bisa dijadikan barang bukti jika memenuhi empat syarat, yakni harus dapat diakses, dapat ditampilkan, dapat dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan isinya.

"Oleh karena itu berdasarkan pasal 5 dan pasal 6 tersebut, barang bukti elektronik tersebut tidak dapat menjadi barang bukti yang sah. Tidak bisa seharusnya digunakan oleh polisi, jaksa bahkan pengadilan menjatuhkan hukuman pidana," ujarnya.

Tak berhenti di sana, Aziz pun menyebut barang bukti rekaman tersebut juga cacat dari sisi prosedur memperolehnya.

Putusan MK nomor 20 tahun 2016 menyatakan barang bukti elektronik harus diperoleh berdasarkan perintah dari penegak hukum, sementara barang bukti rekaman dalam kasus ini diperoleh dari inisiatif Nuril sendiri.

"Jadi secara formil sebenarnya bukti ini cacat, tapi inilah yang dipertimbangkan oleh majelis hakim agung untuk menjatuhkan pidana ke Ibu Nuril," ujarnya.

Peninjauan Kembali (PK) Baiq Nuril ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Perempuan yang sebelumnya staf tata usaha SMAN 7 Mataram ini menjadi korban pelecehan seksual dan divonis bersalah oleh MA.

Ia dijerat dengan UU ITE dan divonis MA dengan hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Padahal di tingkat pengadilan negeri, Baiq dinyatakan bebas.

Setelah mengajukan PK sejak 4 Maret 2019 lalu, Mahkamah Agung akhirnya tetap memutuskan menghukum Nuril pada Kamis (4/7/2019).

Dalam laman kepaniteraan MA, majelis hakim menyatakan menolak pengajuan PK Nuril.

"Tolak," seperti dikutip dari poin amar putusan Nuril, Jumat (5/7/2019).

Kasus Nuril termasuk kontroversial karena ia adalah korban pelecehan seksual yang dilakukan mantan atasannya di SMA 7 Mataram, Muslim. Namun, Nuril justru dihukum.

Baca juga artikel terkait KASUS BAIQ NURIL atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Nur Hidayah Perwitasari