Menuju konten utama
Swastanisasi Air di Jakarta

Putusan MA Harus Bisa Akhiri Polemik Pengelolaan Air di DKI

KMMSAJ meminta agar MA segera mengirimkan putusan kasasi soal swastanisasi air di DKI Jakarta ke pihak-pihak terkait agar bisa segera diimplementasikan.

Putusan MA Harus Bisa Akhiri Polemik Pengelolaan Air di DKI
Aktivitis dari koalisi masyarakat menolak swastanisasi air Jakarta (KMMSAJ) bersama warga jakarta melakukan aksi di depan gedung Mahkamah Agung, Jum'at (3/6). Mereka menuntut hak atas air warga Jakarta yang telah dikuasai oleh swasta. tirto/andrey gromico

tirto.id - Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta segera mengimplementasikan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) untuk menghentikan kebijakan privatisasi air di Jakarta.

Deputi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Tigor Hutapea mengatakan, KMMSAJ berencana menemui Pemprov DKI Jakarta untuk mendesak agar segera mengambil alih pengelolaan air dari PT. PAM Lyonnaise dan PT Aetra Air Jakarta.

“Untuk menjamin air di Jakarta lebih murah dan lebih bersih. Karena hak atas air merupakan hak prinsipil warga, kan sangat penting. Dan sudah seharusnya pengelolaan diserahkan kepada negara bukan swasta,” kata Tigor saat dihubungi Tirto, Rabu (11/10/2017).

Dalam hal ini, MA melalui putusan kasasi Nomor 31 K/Pdt/2017 memerintahkan PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja) dan Pemprov DKI Jakarta menyetop swastanisasi air di DKI. MA menilai, para tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat DKI Jakarta.

MA tidak hanya menerima permohonan kasasi yang diajukan oleh 12 orang pemohon. Akan tetapi, MA juga membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 588/PDT/2015/PT DKI., tanggal 12 Januari 2016 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 527/PDT.G/2012/PN JKT.PST., tanggal 24 Maret 2015.

Dalam putusannya, MA menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air di Jakarta kepada pihak swasta. Hal itu terwujud dalam Pembuatan Perjanjian Kerjasama (PKS) tanggal 6 Juni 1997 yang diperbarui dengan PKS tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini.

Majelis hakim kasasi yang terdiri dari Nurul Elmiyah, Sunarto dan Panji Widagdo menyatakan bahwa para tergugat telah merugikan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI dan masyarakat Jakarta. MA memerintahkan agar para tergugat menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di Provinsi DKI.

Baca juga: Jalan Panjang Gugatan Swastanisasi Air di DKI Jakarta

Karena itu, kata Tigor, KMMSAJ juga meminta agar MA segera mengirimkan putusan tersebut ke pihak-pihak terkait agar

bisa segera diimplementasikan. “Jangan sampai ada dalih pemerintah belum menerima surat dan sebagainya,” kata Tigor.

Tigor menuturkan, selama ini KMMSJ menilai bahwa Aetra dan Palyja cenderung berorientasi pada keuntungan bisnis daripada memberikan kemudahan akses air bersih kepada warga. Padahal, dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kebutuhan rakyat.

"Dan seharusnya pengelolaan diserahkan kepada negara, bukan swasta. Akhirnya orientasi yang dilakukan dua perusahaan ini kan lebih mengejar untung bukan pelayanan publik,” kata dia menegaskan.

Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat masih enggan menanggapi pernyataan KMMSJ. Djarot mengaku belum menerima salinan dari putusan tersebut, sehingga tidak bisa berkomentar banyak terkait putusan kasasi MA tersebut.

“Silakan saja [kalau koalisi mau sampaikan ke pemerintah]. Saya belum terima dan pelajari [putusan MA]" kata mantan Walikota Blitar ini, di Balai Kota, Jakarta Pusat.

Baca juga: Keluhan Warga Terkait Air di Jakarta Sebelum Putusan MA

Sementara itu, anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Bestari Barus berpendapat, putusan MA bernomor 31 K/Pdt/2017 tersebut harusnya mengakhiri dilema Pemprov DKI Jakarta dalam hal pengelolaan air bersih.

Menurut Bestari, pemerintah--dalam hal ini PAM Jaya--terganjal oleh surat perjanjian kerja sama dengan Aetra dan Palyja sejak 6 Juni 1997. “Saya sudah panjang bicarakan dengan teman-teman PAM dan Sekda untuk segera mengakuisisi Palyja dan Aetra. Karena kan sekarang enggak boleh dipihak ketigakan,” kata Ketua Fraksi Nasdem di DPRD DKI ini.

Bestari menuturkan, Badan Pengawas BUMD harus memperhatikan betul pengelolaan air di Jakarta oleh PAM Jaya. Sebab, kata dia, belum jelas seberapa besar keuntungan yang diperoleh Pemprov DKI selama menjalin kerja sama dengan dua perusahaan tersebut.

"Saya sudah sampaikan ke mereka [PAM Jaya] dan sedang ada penghitungan. Berapa sih sebenarnya keuntungan kita? Juga kalau itu ingin diakuisisi,” kata Bestari.

Gugatan atas privatisasi air di DKI Jakarta ini awalnya dilayangkan warga yang tergabung dalam KMMSAJ dan mengajukan sengketa perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 22 November 2012 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

KMMSAJ yang terdiri atas LBH Jakarta, ICW, KIARA, KRUHA, Solidaritas Perempuan, Koalisi Anti Utang, Walhi Jakarta, dan beberapa LSM lain mengajukan gugatan terhadap Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, dan PT Perusahaan Air Minum Jaya serta PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta sebagai pihak turut tergugat.

Kemudian, pada 24 Maret 2015, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan KMMSAJ ihwal pengelolaan air di DKI Jakarta. Hakim Ketua, Iim Nurokhim menganggap pihak tergugat melanggar aturan. Iim menyatakan, pihak tergugat lalai dalam pemenuhan hak asasi manusia atas air bagi warga negara, khususnya warga DKI.

“Kami memerintahkan pihak tergugat menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di DKI,” kata Iim saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 24 Maret 2015.

Sayangnya, Pemprov DKI saat itu mengajukan banding. Gugatan warga negara terhadap swastanisasi air di Jakarta pun kandas di tingkat banding setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui putusan Nomor 588/PDT/2015/PT DKI., tanggal 12 Januari 2016 membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 527/PDT.G/2012/PN JKT.PST., tanggal 24 Maret 2015.

Namun, KMMSAJ tidak tinggal diam. Mereka kemudian mengajukan kasasi ke MA terkait dengan sengketa pengelolaan air di DKI. Berkas kasasi itu telah terdaftar di MA dengan nomor 31K/PDT/2017. Dalam memori kasasi itu, KMMSAJ kembali mengikutsertakan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) sebagai turut tergugat. Dan Makamah Agung pun telah mengabulkan kasasi tersebut.

Akankah putusan kasasi MA tersebut menyelesaikan polemik pengelolaan air di DKI Jakarta?

Baca juga: Menggugat Privatisasi Air di Indonesia

Baca juga artikel terkait PRIVATISASI AIR atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz