tirto.id - Kala itu Serie A Italia memasuki musim 1999/2000. Salah satu klub terbesar di negara tersebut, Inter Milan, baru saja mengontrak salah satu pelatih terbaik yang pernah dilahirkan dari rahim Italia, Marcelo Lippi.
Pelatih berambut perak yang kelak mengantarkan skuad Azzuri menjuarai Piala Dunia 2006 di Jerman itu datang dengan satu misi : mengantarkan Inter menjuarai Serie A. Lippi mengemban tugas yang sangat berat, karena Inter sudah lama sekali mengalami puasa gelar meskipun hampir selalu bersaing di papan atas.
Lippi segera memimpin persiapan timnya dalam serangkaian pramusim klub. Setelah puas mengenali masing-masing pemainnya, ia menghampiri Andrea Pirlo, yang saat itu masih berstatus pemain muda.
Tanpa basa-basi, ia menarik Pirlo ke pinggir lapangan dan langsung bicara padanya.
“Andrea, demi kebaikanmu sendiri, pergi dan bermainlah di klub lain, setidaknya selama semusim. Galilah pengalaman yang cukup untuk dirimu. Hal ini akan sangat bermanfaat untukmu, kau akan lihat sendiri,” papar Lippi seperti dikutip dari biografi Pirlo, I Think Therefore I Play.
Pirlo agak terkejut dengan kata-kata Lippi. Saat itu, Pirlo adalah salah satu pemain muda yang mulai mendapatkan kesempatan bermain di Inter. Namun, Pirlo juga sadar, saran dari Lippi patut dipertimbangkan.
Lippi adalah pelatih juara yang memiliki segudang pengalaman. Ia juga memiliki rekam jejak panjang dalam memoles pemain muda menjadi bintang kelas dunia, seperti saat mengorbitkan Alessandro Del Piero di Juventus.
Pertimbangan inilah yang mampu meyakinkan Pirlo untuk pindah dengan status pinjaman ke klub kecil bernama Reggina.
Sebagai catatan, Reggina adalah klub yang berbeda 360 derajat dari Inter. Apabila Inter selalu berjuang memperebutkan juara, maka Reggina lebih sering baku bunuh menghindari degradasi di papan bawah. Namun, seperti harapan Lippi, Reggina menyediakan kesempatan bermain yang lebih besar bagi Pirlo.
Reggina juga menyediakan atmosfer pertandingan dan tingkat ketegangan yang berbeda. Bagi klub langganan papan bawah, persoalan menang-kalah sama artinya dengan urusan hidup-mati.
“Saya akhirnya pergi ke Reggina, dan ternyata belajar banyak. Terutama, bagaimana memikul tanggung jawab yang lebih besar, dan bagaimana berjuang saat tertekan,” papar Pirlo.
Pirlo akhirnya menjelma menjadi motor lini tengah Reggina dengan total memainkan 28 pertandingan di liga dan membukukan 6 gol sepanjang musim 1999/2000. Musim sebelumnya, saat masih di Inter, Pirlo hanya mencatatkan 20 penampilan tanpa berhasil menyarangkan satu gol pun.
Performa di Reggina mengantarkan Pirlo ke dalam skuad Italia junior yang menembus perempatfinal Olimpiade Sydney 2000. Belakangan, permainannya makin berkembang dan ia menjelma jadi tulang punggung tim nasional Italia dalam berbagai kompetisi.
Menyekolahkan Para Pemain Muda
Peminjaman pemain adalah salah satu metode transfer yang kerapkali menjadi pilihan bagi para klub, khususnya untuk mematangkan para pemain mudanya. Kisah Pirlo di atas adalah salah satu contohnya. Di sisi lain, klub peminjam juga ketiban untung dengan mendapatkan talenta potensial tanpa harus mengeluarkan banyak uang.
Peminjaman (loan) merupakan salah satu mekanisme yang tersedia dalam bursa pemain selain pembelian dengan kepemilikan penuh (buying) dan kepemilikan bersama (co-ownership) – cara yang disebut belakangan sering dipakai di Serie A Italia.
Lewat sistem ini, sebuah klub dapat meminjamkan pemainnya ke tim lain, baik yang berada dalam divisi yang sama maupun berbeda, tanpa kehilangan status kepemilikannya atas pemain tersebut.
Proses peminjaman pemain seringkali tidak melibatkan biaya apapun alias gratis. Namun, pihak-pihak yang melakukan perjanjian peminjaman bisa saja menambahkan beberapa klausul tambahan, seperti biaya peminjaman (fee) atau klausul untuk mendapatkan prioritas pertama dalam pembelian pemain yang tengah dipinjam (optionto buy).
Klub-klub besar Eropa seperti Real Madrid, Barcelona, Manchester United, dan Juventus seringkali menempuh mekanisme ini untuk mendidik para pemain mudanya. Bahkan, klub-klub ini dikenal memiliki feeder club, yaitu sebuah klub yang secara khusus digunakan untuk menampung para pemain muda dari akademi mereka.
Beberapa feeder club yang terkenal antara lain Vitesse Arnhem di Eredivisie Belanda yang menampung pemain muda Chelsea dan Royal Antwerpen (Belgia) sebagai feeder Manchester United. Beberapa pemain terkenal yang sempat menjalani masa peminjaman ke feeder club antara lain Nemanja Matic dan Lucas Piazon (Chelsea ke Vitesse) serta Dong Fangzhuo (United ke Royal Antwerpen). Namun, patut dicatat bahwa tidak semua pemain ini akhirnya mampu tampil menonjol selepas mengakhiri masa peminjamannya.
Salah satu klub yang paling getol meminjamkan pemainnya adalah Chelsea. Raksasa dari kota London ini total meminjamkan 38 pemainnya hingga penutupan bursa transfer pada 1 September 2016 lalu.
Saking banyaknya jumlah mereka, Patrick Bamford—pemain muda Chelsea yang tengah dipinjamkan-- bahkan mengaku jika ke-38 pemain pinjaman ini memiliki grup Whatsapp tersendiri.
“Kami sebenarnya punya “Grup Pemain Pinjaman Chelsea” di WA. Departemen Peminjaman Pemain Chelsea yang membuatnya. Kadang-kadang baterai ponselku sampai habis kalau semua orang saling berkirim WA,” kelakarnya seperti dikutip dari Independent.
Kebijakan peminjaman pemain Chelsea beberapa kali terbukti manjur. Sistem ini membuahkan pemain-pemain jempolan, mulai dari mereka yang saat ini masih membela Chelsea seperti Nemanja Matic dan Thibaut Courtois hingga pemain yang bersinar di klub lain seperti Ryan Bertrand (Southampton) dan Kevin De Bruyne (Manchester City).
Layu Sebelum Berkembang
Sistem peminjaman dapat pula menjadi mimpi buruk bagi seorang pemain. ESPN mencatat, terdapat cukup banyak pemain yang menghabiskan hampir seluruh kariernya sebagai pinjaman, tanpa sempat memperkuat klub induknya sama sekali.
Benik Afobe adalah salah satunya. Ia sempat digadang-gadang sebagai calon pemain masa depan di Arsenal, klub yang terkenal getol mengorbitkan talenta muda di tim utamanya. Namun, harapan Afobe akhirnya menguap di awang-awang.
Sepanjang membela Arsenal antara 2010-2015, Afobe harus rela menjalani lima tahun masa peminjaman di enam klub berbeda. Selepas masa peminjamannya selesai, Afobe dilepas begitu saja oleh Arsenal. Hal ini tentu membuatnya sangat dongkol, mengingat ia sudah masuk akademi Arsenal sejak usia tujuh tahun.
“Menurutku aku tidak mendapatkan kesempatan yang cukup di tim utama Arsenal...Aku tidak pernah sekalipun tampil, padahal di saat yang sama ada pemain biasa-biasa saja yang bisa membela Arsenal hingga lima atau sepuluh pertandingan,” keluhnya kepada ESPN.
Nasib Afobe masih lebih baik daripada Josh Mc Eachran. Pemain ini sempat ditahbiskan sebagai salah satu bakat berlian di persepakbolaan Inggris. Sayangnya, karir Mc Eachran rontok seketika saat ia ”dibuang” Chelsea ke klub antah-berantah bernama Brentford dan menjalani lima musim yang menyedihkan di klub itu.
Belum cukup menyedihkan?
Afobe dan Mc Eachran harus bersyukur nasib mereka tidak separah Jon Obika. Pemain produk asli akademi sepakbola Tottenham Hotspurs ini bahkan menghabiskan enam musim sebagai pemain pinjaman dan berpindah klub hingga 11 kali!
Saat ini Obika terdampar di Swindon Town, klub yang menghuni League One—kasta ketiga persepakbolaan Inggris.
Cara Berhemat nan Darurat
Mekanisme peminjaman pemain belakangan juga digunakan oleh klub-klub besar untuk menyiasati keuangannya. Mereka beramai-ramai meminjamkan pemainnya—khususnya yang bergaji tinggi--untuk menekan pengeluaran.
Hal ini dilakukan untuk menyiasati aturan Financial Fair Play (FFP) dari konfederasi sepakbola Eropa (UEFA) yang berlaku sejak 2011.
FFP pada intinya mewajibkan setiap klub Eropa untuk menjaga keseimbangan neraca keuangannya dengan mengontrol pengeluaran berlebihan serta mengurangi kerugian. Apabila klub-klub tersebut gagal mencapai kondisi keuangan yang sehat, maka klub tersebut dilarang mengikuti kompetisi antarnegara yang berada di bawah naungan UEFA seperti Liga Champions dan Liga Europa.
Penerapan FFP membuat klub-klub besar Eropa serentak memutar otak untuk menyiasatinya. Mereka sadar, sebagian besar pengeluaran mereka bersumber dari pos pembelian pemain dan gaji. Akhirnya, opsi peminjaman pemain digunakan sebagai solusi untuk menekan pengeluaran.
Peminjaman Fernando Torres dari Chelsea ke Milan (2014) dan Atletico Madrid (2015) merupakan contohnya. Sadar bahwa Torres adalah pemain cadangan bergaji selangit, manajer Chelsea saat itu, Jose Mourinho, memilih untuk meminjamkannya demi menyeimbangkan neraca keuangan Chelsea yang pada saat bersamaan juga tengah gencar membeli pemain.
Trik yang sama turut dilakukan oleh klub berlimpah minyak, Manchester City, pada permulaan musim 2016/2017. Seturut kedatangan manajer baru, Pep Guardiola, manajemen City mengadakan “bersih-bersih” dengan menjual pemain bergaji besar namun tidak sesuai dengan gaya permainan Guardiola.
Beberapa pemain berharga mahal keluar dengan banderol “diskon” seperti Edin Dzeko yang pindah ke AS Roma seharga 9,35 juta poundsterling, dan Stevan Jovetic ke Inter Milan (12,33 juta poundsterling).
Di saat yang sama, City juga meminjamkan pemain-pemain utamanya musim lalu seperti Samir Nasri ke Sevilla, Wilfried Bony (Stoke City), Eliaquim Mangala (Valencia) dan sang calon legenda, Joe Hart (Torino).
Peminjaman Joe Hart adalah peristiwa yang banyak menguras drama. Transfer ini terjadi menjelang bursa transfer musim panas ditutup. Hart—yang membela City sejak usia muda—hendak disingkirkan oleh Guardiola karena tidak sesuai dengan taktiknya yang mewajibkan seorang kiper mampu mengumpan dan membawa bola untuk mengawali serangan.
Desakan untuk keluar makin kencang setelah Guardiola membeli Claudio Bravo dari Barcelona. Hart yang sadar dirinya bukan lagi pilihan utama akhirnya memilih untuk dipinjamkan ke klub kecil di sisi utara Italia, AC Torino. Namun, masalah tidak selesai sampai di sana.
Torino sebagai klub yang tergolong kecil di Italia merasa kesulitan untuk membayar gaji Hart yang dilansir mencapai 135.000 poundsterling per pekan. Di sisi lain, City harus segera 'menyingkirkan' Hart supaya anggaran gaji mereka makin membengkak.
Apa solusinya?
The Guardian memberitakan, Torino dan City akhirnya sepakat untuk membiayai gaji Hart secara urunan, dengan porsi pembayaran lebih besar dibebankan kepada City.
Strategi transfer City akhirnya membuahkan hasil. Dengan perginya pemain-pemain bergaji mahal, City punya keleluasaan dalam bermanuver di lantai transfer. Mereka berhasil mendatangkan pemain-pemain berbanderol raksasa seperti John Stones (47,26 juta poundsterling), Leroy Sane (42,50 juta pounds), Gabriel Jesus (27,20 juta pounds). Total jenderal, City menghabiskan dana transfer sebesar 181 juta pounds seperti dilansir oleh Transfermarkt.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti