Menuju konten utama

Punya Sundar Pichai, Bagaimana Kualitas Pendidikan India?

Sundar Pichai jadi orang tertinggi di Google. Baguskan kualitas pendidikan India?

Punya Sundar Pichai, Bagaimana Kualitas Pendidikan India?
Ilustrasi orang tua India dengan anak perempuannya menggunakan laptop. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Ketika saya berjumpa dengan karyawan Google di Tokyo beberapa minggu lalu (sebelum Desember 2019), saya berbincang tentang bagaimana Google telah berubah tiap tahunnya,” kenang Sundar Pichai, Pemimpin Eksekutif (CEO) Alphabet, induk usaha Google, dalam salah satu fragmen “A Letter from Larry and Sergey.”

Pichai menambahkan: “Memang, kenyataannya, selama lebih dari 15 tahun bekerja untuk Google, sesuatu yang tidak berubah pada perusahaan ini hanya satu: perubahan.”

Selepas Larry Page dan Sergey Brin, yang pada 4 September 1998 silam mendirikan mesin pencari bernama “Google”, mundur dari perusahaan yang mereka dirikan, Google berubah. Kursi pimpinan kini diduduki Sundar Pichai, pria kelahiran 12 Juli 1972 di Madurai, Negara Bagian Tamil Nadu, India.

Pandai besi lulusan Indian Institute of Technology (IIT) Kharagpur ini mengawinkan jabatan CEO Google dan CEO Alphabet sekaligus. Andai saja Perdana Menteri India, Narendra Modi, tidak menghadapi kecaman internasional terkait undang-undang anti-muslim, mungkin ia akan mengulang ucapannya empat tahun silam;

“Selamat Sundar Pichai. Salam hangat untuk posisi barumu di Google.”

Cemerlangnya karier Pichai turut mengungkit sentimen positif antara India dan sains teknologi. Sentimen ini bukan sebatas tentang “0” atau “nol” atau “zero” yang diubah menjadi angka atau tanda oleh bangsa India di sekitar lima abad sebelum kelahiran Isa Putra Maryam. Bukan pula tentang Srinivasa Ramanujan, sosok yang melahirkan partition number bagi umat manusia. Melainkan terkait fenomena munculnya Satya Nadella dan Shantanu Narayen yang menjabat sebagai CEO Microsoft dan Adobe, atau Sabih Khan, Wakil Presiden Apple. Mereka muncul beriringan dengan kejayaan Sundar Pichai.

Atas fenomena tersebut, Pichai sempat berujar: “Berbagai produk teknologi yang dibantu diciptakan alumni IIT dan institusi pendidikan lain di India telah sukses membantu merevolusi dunia.”

Akan tetapi, merujuk ungkapan Pichai, benarkah meroketnya dunia IT India lantaran kualitas pendidikan negeri tersebut?

Kualitas Pendidikan dan IT Modal ‘Jugaad’

Selepas Lion Air JT 610 dan Ethiopian Airlines ET 302 jatuh dan menyebabkan 346 orang tewas, Boeing 737 Max dilarang terbang di seluruh dunia.

Dalam penyelidikan disebut bahwa salah satu penyebab 737 Max bermasalah lantaran Boeing mengalih-dayakan penciptaan perangkat lunak Max, kepada perusahaan pihak ketiga asal India bernama HCL Technologies dan Cyient yang tidak berpengalaman mengembangkan sistem sekompleks pesawat-pesawat Boeing.

Bloombergmenulis: “Kesalahan dasar pada perangkat lunak menyebabkan sepasang kecelakaan Boeing yang mematikan terjadi.”

Alih daya pengerjaan menulis kode perangkat lunak dengan menggandeng perusahaan IT di India tidak hanya dilakukan Boeing. IBM, salah satu perusahaan yang merintis kelahiran komputer, juga memiliki sekitar 130 ribu pekerja di India.

Gojek, startup yang dibanggakan Luhut Binsar Panjaitan karena menyumbang Rp 44 triliun untuk perekonomian Indonesia, memiliki karyawan di India melalui perusahaan C42 Engineering dan CodeIgnition, yang khusus mengerjakan baris-baris kode pemrograman di berbagai layanannya.

Secara menyeluruh, The Economist melaporkan, jika Cina menjadi tempat untuk mengalihdayakan penciptaan perangkat keras, India menjadi tempat berbagai perusahaan dunia untuk mengalihdayakan penciptaan perangkat lunak. Dari sepuluh kota tempat alih daya programmer terpopuler, enam di antaranya berada di India.

Hingga 2018, India diperkirakan memiliki 5,2 juta penulis kode pemrograman. Unggul dibandingkan Amerika Serikat yang hanya memiliki 4,5 juta penulis kode. Dengan jumlah tersebut, India mengklaim bahwa 65 persen alih daya pengerjaan perangkat lunak dunia dilakukan oleh mereka.

Tapi, apakah ini artinya pendidikan di India sudah sangat baik? Jika melihat daya khayal pejabat-pejabat India, di mana salah satunya mengklaim bahwa Internet sudah ada sejak zaman Mahabharata, pendidikan di India sesungguhnya tergolong menyedihkan, tak berbeda jauh seperti yang terjadi di Indonesia.

Data yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut, India memiliki Human Development Index sebesar 0,647 (mendekati 1 lebih baik). Dengan indeks itu, India menempati ranking ke-129 dalam soal kualitas manusianya, termasuk soal pendidikan.

Jika melihat sepak terjang Pichai, Nadella, hingga Khan, kualitas India seharusnya lebih bermutu dibandingkan Indonesia. Namun, masih merujuk data PBB terkait, status Indonesia lebih baik dengan memperoleh indeks sebesar 0,707, dan menjadikan negeri +62 ini berada di posisi ke-111 soal kualitas manusianya.

Sementara secara umum, pendidikan di India juga tidak terlalu istimewa, dan, lagi-lagi tak berbeda jauh dibanding Indonesia.

Laporan The Wall Street Journal yang mengutip riset Pratham menyebutkan, selepas India melakukan liberalisasi ekonomi pada 1991, mereka gagal menyelamatkan dunia pendidikan. Akibatnya, pendidikan India terkunci, berkutat dengan regulasi rumit yang sukar direformasi.

Selayaknya di Indonesia, pendidikan di India memaksa murid belajar banyak bidang studi dan hafalan menjadi senjata utama untuk naik tingkat dalam jenjang pendidikannya. Masih seturut laporan WSJ, dari 13.000 sekolah dasar di wilayah pedesaan India, wilayah yang mengakomodasi 70 persen populasi India, ditemukan bahwa setengah dari total murid kelas 5 tidak bisa membaca.

Di level tinggi, India kini memiliki 1,5 juta kursi perguruan tinggi di bidang teknik. Ironisnya, 75 persen lulusan tidak memperoleh pekerjaan. Padahal, sebagaimana tulis Olga Khazan dalam “Behind the 'Bad Indian Coder'”, bekerja di lingkup IT, khususnya menjadi penulis kode pemrograman, “merupakan tiket termudah orang India keluar dari kemiskinan.”

Ada sebuah fakta menarik lain (sekaligus ironis) di balik maraknya profesi programmer di India. Tech in Asiamelaporkan, pada dasarnya para penulis kode di India "hanyalah" bermodalkan “jugaad”: sebuah budaya yang melekat pada mereka untuk melakukan sesuatu dengan keterbatasan.

Dalam bahasa Inggris, sebagaimana diberitakan BBC, “jugaad” tidak memiliki padanannya. Sementara dalam kosakata Indonesia, “jugaad” tampaknya bertautan dengan istilah “modal dengkul” atau “kepepet”.

Mengutip penelitian Glassdoor ,The New York Times menjelaskan, ada pun alasan mengapa perusahaan IT dunia memilih India adalah lantaran harga pekerjanya murah. Para pekerja IT India hanya dibayar seperlima hingga seperempat dibandingkan pekerja Amerika.

Pada kenyatannya pendidikan di India memang tidaklah istimewa, dan sebab itu, para pemrogram dari sana pun kerap diasumsikan segendang-sepenarian. Di dunia maya, khususnya di forum Reddit, para programmer India dinilai acap teledor menangani celah keamanan, yang sesungguhnya berbahaya bagi perusahaan yang mempekerjakan mereka.

Infografik Sundar Pichai

Infografik Sundar Pichai. tirto.id/Sabit

Sri Rangan, programmer asal Delhi yang diwawancarai Khazan, menyatakan bahwa rendahnya kualitas penulis kode asal negerinya disebabkan oleh kondisi India (sosial-budaya, ekonomi, dan tentu saja, pendidikan) yang mengenaskan.

Ia pun membandingkan dengan AS: jika penulis kode asal AS berangkat kerja dengan transportasi yang layak, WiFi yang kencang, dan berbagai fasilitas unggul lainnya, programmer India hanya mendapat fasilitas yang memprihatinkan.

Namun demikian, perkataan Chandan Chowdhury, mantan ketua National Institute of Industrial Engineering India, juga patut disimak: “Di banyak kesempatan, merekrut penulis kode handal yang baru lulus kuliah membutuhkan waktu lama untuk membuatnya dapat mengikuti ritme.” Sementara penulis kode dari India, yang kerap dianggap biasa-biasa saja, sebut Chowdury telah terlatih mengikuti ritme cepat industri IT.

Serentetan fakta di atas seperti hendak menegaskan: mencuatnya Sundar Pichai hingga Satya Nadella mestinya tidak bisa dibaca sebagai kisah sukses pendidikan, wabilkhusus dunia IT India, melainkan cukup menjadi sampling bias dalam sebuah situasi yang "abnormal".

Baca juga artikel terkait SUNDAR PICHAI atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Eddward S Kennedy