tirto.id - Wakil Presiden periode 2004-2009 dan 2014-2019, Jusuf Kalla, menyebut Indonesia saat ini sedang dilanda krisis demokrasi. Demokrasi saat ini menurutnya sekadar formalistik seperti terselenggaranya pemilihan umum reguler, sementara asas 'dari rakyat untuk rakyat' tak berjalan.
Ia juga menilai demokrasi telah menghasilkan pemimpin yang menguasai finansial, alih-alih kompeten dan memiliki kharisma. Semua ini “tidak menghasilkan sesuatu yang apa kita harapkan,” kata Kalla saat memberikan sambutan di agenda Munas PKS ke-V, 21 November lalu.
Kalla menyebut dampak dari sistem seperti itu terlihat jelas dengan kemunculan Rizieq Shihab, pentolan Front Pembela Islam (FPI) yang baru kembali dari Arab Saudi. Menurutnya Rizieq-lah kini yang dipercaya masyarakat menyampaikan aspirasi, alih-alih perangkat formal demokrasi seperti partai politik dan DPR.
“Kenapa ratusan ribu orang gitu (mendukung Rizieq)? Kenapa dia tidak percayai DPR untuk bicara? Kenapa dia tidak percaya partai-partai di DPR, khususnya partai Islam? Kenapa masyarakat memilih habib Rizieq menyuarakan dia punya aspirasi? Itu pertanyaan yang sangat penting untuk kita evaluasi, khususnya PKS dan partai-partai Islam,” kata Kalla.
Kalla khawatir jika ini dibiarkan, “demokrasi jalanan” akan semakin banyak bermunculan. “Jangan kita kembali lagi ke demokrasi jalanan. Partisipasi masyarakat bukan mendukung apa yang dipilihnya, tapi memilih jalannya sendiri, menjadi demokrasi jalanan lagi, seperti Reformasi 1998 atau 1966 dulu.”
Wartawan Tirto telah mencoba menghubungi Juru Bicara FPI Munarman via pesan singkat Whatsapp untuk diminta pendapat terkait pernyataan Kalla. Namun, hingga Rabu sore tak ada respons.
Islam Sekadar Label
Peneliti politik Islam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan ucapan Kalla jelas merupakan kritik terhadap partai Islam. “Pernyataan JK itu kurang lebih merespons label Islam dalam partai politik Islam yang tidak berkembang menjadi kekuatan ideologis, namun lebih sekadar labelisasi saja,” kata Wasisto kepada wartawan Tirto, Rabu (25/11/2020) sore.
Imbas sekadar menjadikan Islam sebagai label adalah partai-partai tersebut tidak tahu cara meramu identitas yang mereka pakai untuk meraih kekuasaan. “Ini berbeda dengan partai-partai sekuler/nasionalis yang mengerti cara meramu identitas nasionalis/sekuler melalui sosok figur karismatik.”
Sosok seperti ini yang tak bisa dimunculkan partai-partai Islam, yang lantas muncul pada diri Rizieq. Semakin sulit karena partai Islam sendiri tidak tunggal. “Ada Islam modernis, ada Islam tradisionalis, dan ada pula Islam konservatif.”
Wasisto mengatakan partai politik Islam akan begitu-begitu saja jika tak punya figur seperti Rizieq, atau ada “semacam payung besar yang mewadahi semua aliran Islam itu dalam kancah elektoral.”
Selain kritik, ia juga menduga Kalla berbicara seperti itu untuk menaikkan popularitasnya sendiri. “JK sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia tentu bisa jadi berkepentingan untuk menaikkan nama [sendiri] sebagai corong baru kekuatan politik Islam,” kata dia. Menurutnya Kalla berpeluang untuk itu karena “meskipun popularitas Rizieq ini cukup viral di sosial media, namun secara ketokohan dia ini cukup dapat resistensi di daerah-daerah yang kebanyakan non-muslim.”
Evaluasi
Anggota DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengatakan Kalla sebetulnya tengah menjabarkan tentang “tren populisme Islam yang mendinamisasi kondisi politik tanah air.” “Di mana publik yang ingin jalan pintas menyatu dengan janji yang agak susah diwujudkan,” kata Mardani kepada wartawan Tirto, Rabu.
Inilah yang menurutnya tak bisa dilakukan partai. “[Partai dan politikus] kadang tidak 'berani' menjanjikan yang mesti berproses. Ada koalisi dan oposisi.”
Namun Mardani mengakui bahwa ucapan Kalla memang harus menjadi bahan masukan bagi partai Islam. “Kami jadi harus lebih aspiratif dan lebih kokoh menyampaikan usulan kerangka perbaikan.” Dengan demikian “kontestasi karya dan gagasan yang mengemuka, bukan figur apalagi baliho.”
Guspardi Gaus, anggota DPR RI dari partai Islam PAN, mengatakan pernyataan Kalla “harus dikaji dulu” sebab itu adalah persepsi pribadi dalam konteks kebebasan berpendapat. Lagipula pernyataannya keluar ketika Rizieq memang sedang ramai dibicarakan. “Apakah yang dia katakan sudah pasti benar?” kata Guspardi saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (25/11/2020) siang. “Untuk [menjawab] hal-hal seperti itu, yang lebih paham adalah pemimpin partai.”
Jika ucapan Kalla benar, kata Guspardi, partai-partai Islam khususnya yang berada di parlemen semestinya memang memperbaiki diri. “Langkah-langkah strategis untuk menjawab kerisauan atau fenomena itu,” kata dia.
Guspardi juga mempertanyakan apakah yang dimaksud oleh Kalla benar 'kepemimpinan Islam' atau 'kepemimpinan nasional' secara lebih luas. Karena, kata dia, jika yang dimaksud adalah opsi nomor dua, semua partai kudu mengevaluasi diri. “Enggak cuma partai-partai Islam saja.”
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino