tirto.id - Gita Savitri Devi lebih dikenal dengan nama Gitasav, sesuai nama akun instagram dan twitternya. Ia adalah seorang influencer di media sosial. Biasa dikenal karena cerita-cerita serunya tentang jadi mahasiswa perantauan di Jerman; atau karena jadi trendsetter mode bagi para hijaber di Instagram.
Gadis 25 tahun ini adalah mahasiswa tingkat akhir Freie Universität Berlin, Jerman. Sejak 2010 silam, ia sudah menetap di Jerman untuk menekuni jurusan kimia murni.
Tujuh tahun bukan waktu sebentar. Itu waktu yang cukup untuk punya pengalaman seru, sedih, atau mencerahkan. Bagi Gita, salah satu pelajaran yang berarti dari pengalaman tinggal merantau di Jerman adalah belajar arti toleransi.
“Ternyata bertoleransi itu bukan mencampuradukkan pemahaman semua orang, semua agama, atau semua ajaran. Toleransi itu memfokuskan diri ke keyakinan sendiri, tapi membiarkan orang lain berkeyakinan berbeda dengan kita."
“Aku belajar kalau aku ini hanyalah manusia, sama dengan jutaan manusia lainnya. Terlepas dari angka-angka yang menentukan mana mayoritas dan minoritas, yang terpenting itu kita harus saling menghargai,” ungkapnya kepada Tirto.
Jerman memang negeri majemuk. Menurut statistik, hingga Desember 2015 lalu, penduduk Jerman berjumlah sekitar 82 juta jiwa dengan latar belakang berbeda. Di sana, menurut Pew Research, ada sekitar 4,8 juta jiwa penduduk beragama Muslim yang tersebar di 16 negara bagian. Jumlah itu hanya 5,8 persen dari total penduduk asli. Membuat Muslim jadi kelompok penyandang agama minoritas di sana.
Meski bagian dari kelompok minoritas itu, Gita merasa Jerman masih tempat yang tak masalah untuk ditinggali terkait nilai toleransinya. Ia malah beranggapan orang-orang Jerman pada umumnya sangat menghormati para pendatang dan berlaku ramah.
“Kalau untuk kultur dan lingkungan di Jerman oke aja, sih. Mereka orangnya juga sangat respectful terhadap Ausländer (orang asing). Mereka juga respek dengan prinsip kita. Misalkan aku enggak minum bir, mereka enggak memaksa aku untuk lantas ikutan minum,” ungkap Gita.
Meski begitu, bukan berarti Jerman tempat sempurna yang jauh dari praktik tak menyenangkan seperti rasialisme. Beberapa bulan lalu, Gita dan Mega Liyanti, kawannya yang juga mahasiswa di Jerman, menceritakan kisah mereka menghadapi rasialisme di Jerman dalam sebuah video di kanal Youtube.
Sebagai wanita berhijab, keduanya sempat mendapat perlakuan rasis dari warga di sana. Mega sempat tak diterima jadi kasir KFC, dan kerap dapat pandangan aneh dari para komuter di atas kereta. Sementara Gita, pernah digoda dengan bahasa mandarin karena dikira berasal dari Cina.
Meski begitu, keduanya tetap merasa orang-orang Jerman pada umumnya menerima baik para pendatang. Menurut Gita, masa lalu Jerman yang sempat punya pengalaman kelam soal ras pada Perang Dunia II, adalah salah satu sebabnya. “Mereka malu, mereka ngerasa tuh. Gila, kaum gue tuh pernah se-ultranasionalis itu gitu.” kata Gita.
Baginya, kebesaran hati orang Jerman mengaku sejarahnya yang kelam adalah sebuah hal baik. Selain pengalaman hubungan antar sesama, Gita menceritakan kesannya berpuasa di Jerman yang tak mudah dan telah dilaluinya selama bertahun-tahun.
Pengalaman Ramadan
Bagi sebagian Muslim dari Indonesia, berpuasa di negeri lain tentu saja adalah cerita tersendiri. Perbedaan kultur dan zona waktu biasanya jadi cerita yang paling susah dilupakan. Begitu pula bagi Gitasav.
Di tahun ketujuhnya di Jerman, ia bahkan sudah punya trik khusus untuk menghadapi puasa di sana. “Pertama kali puasa di sini beratnya bukan main,” ungkap Gita. Baginya, berpuasa di antara orang-orang yang tidak berpuasa bukan masalah. Tapi, “lamanya itu yang masalah,” sambung Gita.
Sudah beberapa tahun terakhir Ramadan di Jerman jatuh di musim panas. Musim ini yang memang paling menantang bagi Gita. Jam 4 langit sudah terang. Jam setengah 10 malam baru gelap. “Puasanya jadinya lama sekali. Imsak jam 3 kurang, sementara jam setengah 10 malam baru iftar (buka puasa).”
Hal itu membuat Gita jadi tak bisa melanjutkan tidur karena matahari sudah tinggi. Cuaca yang panas kering dan tak ada angin juga jadi tantangan. Di Indonesia dia masih bisa menahan dahaga selama puasa, tapi “di sini rasanya tenggorokan kering sekali,” tambah Gita.
Jarak imsak dan iftar yang cuma beberapa jam juga bikin dia jadi tak bisa memaksakan diri untuk makan yang cukup, supaya di siang hari jadi lebih kuat karena tak kelaparan. “Aku pun jadi kurang tidur, padahal pagi harinya harus kuliah.”
Namun, untuk mengatasi hal itu, Gita sudah punya solusinya sendiri. Ia sama sekali tak makan nasi. Selama Ramadan, Gita hanya akan makan sayuran dan daging, agar menjaga tubuhnya tak lemas selama beraktivitas di siang hari.
Durasi puasa yang lama memang jadi ihwal tak sedap bagi Gita. Namun, menurutnya, berpuasa di Jerman memberinya kesempatan ibadah yang lebih khusyuk.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra