tirto.id - Ribuan buruh yang berdemonstrasi di depan Balai Kota Jakarta Pusat masih menunggu Pemprov DKI untuk menemui mereka. Dengan wajah yang dibasahi keringat, para buruh berorasi dan berteriak meminta agar Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubenur DKI mundur dari jabatannya.
"Cabut mandat, cabut mandat," teriak massa aksi berulang-ulang.
Pangkal kegusaran para buruh siang ini bermula dari diumumkannya besaran Upah Minum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2018 oleh Gubernur Jakarta Anies Baswedan pada 1 November lalu. Besaran UMP 2018 ini berdasarkan pada survei kebutuhan hidup layak (KHL), kenaikan inflasi, serta pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
Anies mengatakan bahwa kenaikan UMP 2018 mencapai Rp3.648.035 dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp3.335.000. Angka tersebut hanya naik 9,4 persen atau sebesar Rp314.535, jauh di bawah tuntutan buruh.
Padahal, kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, dalam kontrak politik yang ditandatangani Anies pada masa kampanye Pilkada Jakarta lalu, ia berjanji akan menetapkan UMP lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015.
"Mereka sudah berbohong, tapi masih bisa senyum-senyum dan beretorika di televisi," kata Said Iqbal.
Selain itu, kata Said Iqbal, Anies juga berjanji bahwa ketetapan upah sektoral dan struktur skala upah akan dihitung berdasarkan formula dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003.
Jika Anies-Sandi memenuhi janjinya, kata Said, seharusnya kenaikan UMP DKI 2018 yang diputuskan adalah Rp3.917.000. Sebab, hal itu sesuai jika dihitung berdasarkan komponen lengkap KHL, serta inflasi dan pertumbuhan PDB.
“Mau ganti Ahok tapi kelakukannya lebih bejat dari Ahok. Ahok masih mending enggak berbohong, meski kata-katanya kasar,” teriak Said Iqbal saat berorasi di tengah-tengah massa buruh.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz