tirto.id - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menggelar sidang putusan permohonan praperadilan Hary Tanoesoedibjo dalam kasus SMS ancaman kepada Jaksa Yulianto, Senin (17/7/2017). Dalam putusannya, Hakim Tunggal Praperadilan Cepi Iskandar memutuskan menolak permohonan praperadilan Hary Tanoe.
"Mengadili, dalam eksepsi menolak eksepsi dari pemohon. Dalam pokok perkara, menolak permohonan praperadilan dari pemohon. Menyatakan penetapan tersangka terhadap pemohon Hari Tanoesoedibjo adalah sah. Membebankan biaya perkara sebesar nihil," kata Cepi dalam persidangan di PN Jaksel, Senin (17/7/2017).
Keputusan tersebut diambil setelah hakim mempertimbangkan sejumlah bukti dari pemohon dan termohon. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan menolak bukti dari pemohon dalam menggugat penetapan tersangka HT yang menyatakan SMS tersebut tidak mengandung unsur pidana dan tidak bisa menjadi alat bukti.
Menurut Hakim Cepi, sebagaimana dipertimbangkan dari bukti pemohon dan termohon, SMS tersebut mengandung unsur pidana dan masuk sebagai inti perkara yang layak untuk didalami lebih lanjut di pengadilan.
"Berdasarkan pasal 184 KUHAP yang dinamakan cukup bukti sekurang-kurangnya dua alat bukti, apakah sudah memenuhi ini yang akan dipertimbangkan. Hakim mempertimbangkan dari alat bukti termohon telah mencukupi untuk masuk ke inti perkara dan pendalaman penyidikan dilanjutkan," kata Hakim Cepi.
Menanggapi hal itu, Kuasa Hukum Hary Tanoe, Munatsir Mustaman, setelah proses pembacaan putusan pengadilan menyatakan keputusan hakim tidak sesuai dengan keinginan pihaknya.
"Kalau putusan tadi sebenarnya ada beberapa yang tidak sesuai dengan keinginan kami. Pertama, persoalan SPDP. Hakim pemeriksa perkara tidak mempertimbangkan lebihnya tenggang waktu penyampaian SPDP ini kepada termohon. Padahal sudah sangat jelas di putusan MK (Mahkamah Konstitusi) bahwa SPDP harus diberitahukan kepada pihak terkait utamanya terlapor dan pelapor maksimal 7 hari," kata Munatsir di PN Jakarta Selatan, Senin (17/7/2017).
Selanjutnya, Munatsir juga menganggap hakim tidak mempertimbangkan keterangan-keterangan ahli yang diajukan pihaknya sebagai bukti.
"Kami melihat hakim tidak mempertimbangkan keterangan-keterangan ahli yang telah kami ajukan kepada persidangan. Ada bebrapa ahli yang kami ajukan, dan rata-rata menyatakan bahwa sms atau WA yang dikirimkan kepada Saudara Yulianto bukan ancaman. Jadi kami berpendapat bahwa itu bukan tindakan pidana," katanya.
"Kami melihat SMS dan WA bisa dijadikan alat bukti. Dan kami menganggap bahwa alat bukti tersebut tidak cukup kuat. SMS ini harus dibuktikan dulu sesuai dengan digital forensik, misalnya apa benar dari nomor Pak Hary Tanoe atau dari nomor lain," sambungnya.
Untuk itu, Munatsir mengaku pihaknya akan terlebih dahulu meminta salinan dari putusan yang dibacakan hakim guna menentukan langkah selanjutnya setelah bertemu dengan Hary Tanoe.
"Kami akan meminta salinan putusan dulu, baru kami pikirkan langkah selanjutnya setelah ketemu Pak Hary Tanoe," katanya.
Di sisi lain, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Fadil selaku termohon dalam praperadilan ini menyatakan pihaknya akan melanjutkan penyidikan agar berkasnya segera lengkap.
"Kami akan melanjutkan penyidikan aja. Dan segera menuntaskan agar segera berkasnya dinyatakan lengkap. Mudah mudahan nanti ada perbaikan, setelah itu kami limpahkan dan segera supaya bisa tahap 2," kata Fadil di PN Jakarta Selatan, Senin (17/7/2017).
Sebelumnya, Direktorat Siber Badan Reserse Kriminal Polri telah mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus SMS berisi ancaman dengan tersangka HT.
Hary Tanoe ditetapkan sebagai tersangka terkait pesan singkat yang dikirimkan ke Jaksa Yulianto yang diduga mengandung unsur ancaman dan melanggar Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.
Atas penetapan tersebut, Hary Tanoe tidak terima dan mengajukan permohonan praperadilan di PN Jakarta Selatan atas penetapan tersangka terhadap dirinya dengan pihak termohon Bareskrim Polri.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Maya Saputri