tirto.id - Bupati Seno Samodro dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu. Pelaporan ini dilatari unjuk rasa warga Boyolali terkait pidato Prabowo yang menyinggung masalah kemiskinan dan membawa frasa “tampang Boyolali”.
Unjuk rasa itu digelar pada Ahad (4/11/2018) itu diduga melibatkan sejumlah aparatur sipil negara (ASN) atau pegawan negeri sipil (PNS). Hanfi Fajri selaku kuasa hukum Advokat Pendukung Prabowo, yang melaporkan Seno, menilai Seno sudah tak netral sebagai kepala daerah.
Hanfi menyeret Seno dengan Pasal 282 junto Pasal 547 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. “Karena bupati ini pejabat negara yang harus bersikap netral,” kata Hanfi di kantor Bawaslu RI, Senin (5/11/2018).
Hanfi mengklaim sudah mengumpulkan bukti yang menunjukkan dugaan ketidaknetralan Seno. Ia menyebut kehadiran Seno dalam demonstrasi itu sudah merugikan Prabowo. Tak hanya itu, Hanfi menuding, Seno menghasut masyarakat Boyolali agar tak memilih Prabowo pada pemilu mendatang.
Selain ke Bawaslu, Hanfi juga melaporkan Seno ke Bareskrim Polri. Dalam laporan ini, Seno diduga menghina Prabowo kala berorasi saat unjuk rasa itu.
"Dalam pidatonya Bupati Boyolali mengatakan Pak Prabowo, Asu [anjing], di hadapan masyarakat Boyolali dalam kegiatan Forum Boyolali Bermartabat," kata Hanfi.
Salahkan Kehadiran Seno dan ASN dalam Demonstrasi?
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono menilai kehadiran Seno dan sejumlah ASN dalam unjuk rasa akhir pekan lalu tidak melanggar UU Pemilu. Namun, pria yang akrab disapa Soni itu tak merinci alasannya.
“Tidak melanggar, cuma tidak perlu berlebihan dalam merespon isu tersebut, karena kita perlu jaga kondusivitas,” kata Soni saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (5/11/2018).
Pernyataan Soemarsono bahwa Seno tidak melanggar, bisa diuji dengan melihat isi pasal yang dituduhkan. Seno dilaporkan melanggar Pasal 282 UU Pemilu. Beleid itu mengatur pejabat negara, struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu.
Sanksi bagi pelanggar Pasal 282 tertuang di pasal 547 UU Pemilu. Ancaman pidana maksimal 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta bisa diberikan pada pelanggar.
Secara terpisah, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadanil menyebut ASN tidak boleh hadir di acara atau demonstrasi yang punya tendensi politik. Menurutnya, dugaan keterlibatan ASN/PNS pada demonstrasi Boyolali harus diusut sebab aksi kala itu sudah memiliki muatan politik.
“Ketika ASN sudah hadir di gerakan massa yang memiliki kepentingan politik praktis seharusnya enggak boleh,” kata Fadli kepada reporter Tirto.
Fadli menjelaskan, ASN hanya boleh hadir dalam kampanye sebatas untuk mengetahui visi dan misi kandidat pemilu. Namun, ASN tak boleh aktif berkampanye dan menyampaikan keberpihakannya ke salah satu kandidat.
Sementara terkait kepala daerah, Fadli menerangkan, mereka masih bisa hadir dan aktif di kegiatan kampanye sepanjang dilakukan pada hari libur atau cuti.
“Dia [kepala daerah] boleh saja ikut berkampanye tidak apa-apa. Kepala daerah kan bukan ASN, pejabat politik. Kalau yang bermasalah ASN. Kalau [kegiatan kampanye kepala daerah] dilakukan di hari minggu, ya dia enggak perlu cuti,” ucap Fadli.
Keterangan Fadli ini sejalan dengan Pasal 62 Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018. Pasal itu menyebut, kepala daerah tidak perlu mengambil cuti jika melakukan kampanye pada hari libur. Mereka hanya dilarang menjadi Ketua Tim Kampanye sebagaimana diatur Pasal 63 PKPU terkait. Kepala daerah juga tak bisa menggunakan fasilitas negara saat berkampanye, kecuali di gedung yang memang disewakan untuk umum.
Meski begitu, Fadli meminta Bawaslu menelusuri lebih jauh benar tidaknya ASN hadir dalam demonstrasi di Boyolali. Dia juga berharap ada kejelasan soal ada tidaknya mobilisasi yang dilakukan Seno selaku Bupati Boyolali kepada ASN dalam demonstrasi itu.
“Kalau mobilisasi dilakukan kepala daerah, dia bisa diusut juga karena melibatkan ASN dalam mobilisasi massa kampanye. Itu enggak boleh,” katanya.
Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Made Suwandi berkata, ASN memang tidak boleh berkegiatan politik apalagi di masa kampanye. Dalam konteks kasus di Boyolali, KASN akan menunggu hasil pemeriksaan Bawaslu RI sebelum mengambil sikap.
“Nanti Bawaslu melaporkan ke kami, apakah itu masuk pelanggaran atau tidak. Nah, kalau Bawaslu mengatakan mereka ikut kampanye politik, mereka kirim ke kami dan kami klarifikasi panggil [ASN] yang bersangkutan," kata Made kepada reporter Tirto.
Jika dalam penelusuran Bawaslu ditemukan ASN ikut berdemonstrasi, Made menyebut, KASN akan menulis surat rekomendasi ke Bupati Boyolali agar memberi sanksi. Ini sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Hukuman yang menanti pelanggar aturan itu, sesuai PP 53/2010 adalah penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 tahun; penundaan kenaikan pangkat selama 1 tahun; atau penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 tahun.
“Biasanya kami beri waktu 2 minggu untuk ditindaklanjuti. Kalau tidak ditindak kami lapor ke Mendagri dan MenPAN,” kata Made menegaskan.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih