Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Potensi Calon Kuda Hitam di Luar Nama Ganjar, Prabowo & Anies

Imam menilai upaya untuk masuk radar di tengah tiga nama kandidat yang selalu muncul dalam survei penuh tantangan.

Potensi Calon Kuda Hitam di Luar Nama Ganjar, Prabowo & Anies
Pertemuan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Jak Bistro, Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin (5/11/2018) sore. tirto.id/Haris Prabowo

tirto.id - Persaingan kontestasi bakal calon presiden semakin ketat. Survei Litbang Kompas per Oktober 2022 menyebut, posisi teratas masih ditempati tiga nama langganan survei, yaitu: Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ketiga nama ini bersaing ketat.

Dalam survei tersebut, Ganjar mulai menyalip Prabowo dan menjadi teratas dengan perolehan suara 23,2 persen. Dalam catatan Litbang Kompas, suara Ganjar mengalami kenaikan bertahap yakni 20,5 persen pada Januari 2022 dan 22 persen pada Juni 2022. Sementara itu, Prabowo tergelincir ke peringkat dua dengan lektabilitas 17,6 persen. Padahal, Prabowo mengantongi 26,5 persen di Januari dan 25,3 persen pada Juni 2022.

Di peringkat ketiga, Anies Baswedan berusaha mengejar. Angka persentase Anies mencapai 16,5 persen per Oktober 2022. Sebelumnya, perolehan suara Anies sempat di angka 14,2 persen pada Januari 2022 dan 12,6 persen pada Juni 2022.

Di luar tiga nama di atas, masih belum ada yang mencapai dua digit. Berdasarkan data survei Litbang Kompas terbaru, suara Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil unggul atas Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno.

Kang Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, berada di peringkat teratas (kategori perolehan suara di bawah 2 digit) dengan angka 8,5 persen atau naik dari elektabilitas Juni 2022 yang hanya 3,4 persen. Kemudian, disusul Sandiaga dengan 2,5 persen, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa 2,3 persen, dan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan 2,2 persen.

Hasil survei Litbang Kompas tentu membuka kembali sejumlah temuan sejumlah lembaga survei lain. Indonesia Political Opinion (IPO) misalnya merilis data berdasarkan survei mereka terhadap 1.200 responden dengan margin of error 2,9 persen. Survei ini berlangsung selama 19-24 Oktober 2022.

Survei IPO menunjukkan, Prabowo berada di peringkat pertama dengan angka 24,8 persen. Posisi kedua Ganjar Pranowo dengan 22,5 persen, lalu Anies Baswedan di angka 19,3 persen. Di luar tiga nama ini, belum ada nama yang mencapai 2 digit. Berdasarkan data survei IPO, Agus Harimurti Yudhoyono (7,2 persen), Ridwan Kamil (5,1 persen) dan Sandiaga Uno (2,9 persen).

Poltracking juga mencatat tiga nama yang bersaing di tiga besar, yaitu: Ganjar Pranowo (22,1 persen), Prabowo Subianto (18,1 persen) dan Anies Baswedan (15,9 persen). Sementara di luar tiga nama itu, angka persentase di bawah 10 persen, yaitu: AHY (4,4 persen), Ridwan Kamil (3,3 persen) dan Sandiaga Uno (2,1 persen). Data ini berdasarkan survei yang melibatkan 1.220 orang pada Agustus 2022 dengan margin of error 2,9 persen.

Mengapa Hanya Tiga Nama yang Mendominasi?

Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam menilai, ketiga nama di atas kerap muncul karena publik masih menimbang nama-nama yang disebut layak sebagai pemimpin. Ia sebut alasan tiga nama itu kuat dalam survei karena posisi mereka di pemerintahan.

“Kenapa 3 nama itu konsisten? Karena kita tahu bahwa 3 nama itu adalah tokoh yang memiliki jabatan public, gubernur Jakarta, Menteri Pertahanan dan gubernur Jawa Tengah,” kata Imam kepada reporter Tirto.

Imam menuturkan, jabatan mereka membuat nama Ganjar, Prabowo dan Anies masih disorot media. Pemberitaan tersebut membuat ketiga nama tersebut masih menjadi top survei.

Faktor kedua, kata Imam, adalah posisi mereka yang memang sejak awal mau maju bakal capres. Ketiga nama ini sudah menyiapkan diri sejak lama.

Lalu, apakah survei menjadi pertimbangan partai mengusung mereka daripada nama lain? Imam tidak memungkiri hal itu. Ia beralasan, partai menggunakan hasil survei sebagai salah satu variabel mengusung kandidat. Angka survei akan menunjukkan kemenangan kandidat dalam menghadapi pemilu. Partai akan bersifat realistis demi menenangkan pemilu.

Lantas apa berarti kandidat dengan perolehan survei di bawah 10 persen sulit diusung? Imam mengatakan, masih ada peluang bila angkanya naik.

“Saya kira kita masih menunggu potensi munculnya kuda hitam dalam pilpres. Masih terbuka. Kita tahu ada nama-nama yang secara perlahan mengerek elektabilitas, ada Jenderal Andika, ada Sandiaga Uno, ada Ridwan Kamil, ada Erick Thohir dan lainnya,” kata Imam.

Akan tetapi, Imam menilai upaya untuk masuk radar di tengah tiga nama tersebut penuh tantangan. Para kandidat di bawah 10 persen harus melakukan kerja politik keras, baik langsung maupun terselubung. Imam mengingatkan partai ingin menang. Hal itu terbukti dengan langkah PDIP mengusung Jokowi sebagai capres di 2014 atau kombinasi Jokowi-Maruf Amin pada 2019.

“Ini memang selalu menjadi variabel penting dalam setiap sukses politik baik pilkada maupun pilpres. Selain faktor ideologi, tentu faktor probabilitas kemenangan sangat diperhitungkan,” kata Imam.

Sementara itu, pemerhati komunikasi politik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Silvanus Alvin menilai, konsistensi ketiga nama di tiga besar, yaitu Prabowo, Anies dan Ganjar, menandakan bahwa mereka punya kualitas mumpuni.

“Berputarnya 3 nama kandidat capres yang sering disurvei termasuk sebagai calon pemimpin bangsa dengan kualitas yang hebat di bidang masing-masing,” kata Alvin.

Namun, Alvin mengingatkan bahwa kemunculan ketiga nama dalam survei bukan terjadi tanpa alasan. Salah satu dugaan adalah muncul agenda setting lembaga survei tertentu. Dugaan lain adalah pengakalan responden berbasis umur tertentu.

Alvin mengutip data BPS bahwa ada dominasi Gen Z. Dengan demikian, ada potensi permainan nama sebagaimana disiapkan lembaga survei.

Terlepas dari potensi permainan survei, kata dia, setidaknya ada dua hal yang membuat 3 nama tersebut konsisten di atas. Pertama, khusus Anies dan Ganjar, mereka kerap muncul di publik lewat media, baik lewat muka atau teks. Hal itu memicu siklus sehingga mereka menjadi top of mind.

Poin kedua terjadi pada Prabowo, kata Alvin. Prabowo sudah maju sebagai capres dua kali (2014 dan 2019). Kemudian, posisi Prabowo sebagai ketua umum dan masuk kabinet Jokowi membuatnya mendapat respons positif di media.

Kenapa parpol sudah ada yang ancang-ancang kandidat capres padahal pendaftaran masih lama dan memilih mereka di atas 10 persen? Alvin menduga koalisi partai tidak mau ambil risiko mengusung tokoh dengan elektabilitas di bawah 10 persen. “Kecuali kandidat tersebut bisa saja ketum partai tertentu,” kata Alvin.

Alvin mengingatkan bahwa partai tidak akan serta merta menggunakan hasil survei sebagai basis pemilihan bakal capres. Partai pasti akan mencari kandidat yang sesuai visi misi partai selain soal hasil survei.

“Kalau logika hanya mendukung pemenang survei, maka partai-partai berpotensi mendukung pemenang survei dan ini logika yang salah,” kata dia.

Lalu, apakah kandidat di bawah 10 persen tidak bisa diusung walau pendaftaran masih lama? Alvin menilai situasi politik masih cair. Namun ia pesimistis ada kandidat kuta hitam kecuali ada kejadian khusus.

“Kandidat kuda hitam saya rasa sulit muncul dalam Pemilu 2024 mendatang. Kecuali ada kandidat yang membuat gebrakan besar, viral dan jadi disruptor seperti Jokowi. Jokowi bisa menjadi kuda hitam karena latar belakang yang non elite, kalangan sipil, tampil sederhana,” kata Alvin.

Alvin menambahkan, “Kalau saat ini, saya lihat belum ada kandidat yang bisa menjadi disruptor politik seperti Jokowi di masanya. Oleh karena itu kandidat capres akan berputar di nama-nama yang kerap muncul di media-media.”

Baca juga artikel terkait PILPRES 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz