tirto.id - Usia M Husien Saputra belum genap sebulan saat menghembuskan napas terakhirnya, pada 7 Oktober 2015. Ia meninggal saat baru berusia 28 hari karena diduga terkena infeksi saluran pernapasan akut akibat terkena asap kebakaran hutan dan lahan yang melanda kawasan Sumatera.
Sebelum kasus Husien, sudah ada 18 bayi lain di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau yang dirawat secara intensif di rumah sakit umum daerah akibat kasus yang sama. Kepala Bidang PMK Dinas Kesehatan Kuantan Singingi, Detri Elvira mengatakan hal tersebut terjadi karena bayi dan anak-anak lebih beresiko tinggi terhadap paparan asap kebakaran ketimbang orang dewasa.
Kementerian Kesehatan memperkirakan pada 2016, ada sekitar 800.000 anak di Indonesia terkena penyakit pneumonia atau radang akut yang menyerang jaringan paru dan sekitarnya. “Estimasinya 3,5 persen dari total jumlah balita, jumlah balita itu 100 persen dari penduduk, kira-kira sekitar 24 ribu jumlah balita, jadinya 3,55 persen dari 24 ribu terkena (pneumonia) itu,” kata Kepala Sub Direktorat Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Kementerian Kesehatan, dr Christina Widaningrum, seperti dikutip Antara.
Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Menurut Christina, pada 2015 dilaporkan jumlah anak yang menderita pneumonia di Indonesia mencapai 554.650 anak. Dari 23 balita yang meninggal dunia setiap jam, empat di antaranya dikarenakan pneumonia.
Lingkungan yang Mengancam Nyawa
Namun demikian, penyakit pneumonia bukan satu-satunya penyebab kematian pada usia anak di bawah lima tahun atau balita. Pada Senin (6/3/2017), organisasi kesehatan dunia atau WHO melansir laporan baru tentang bahaya lingkungan bagi balita. Dalam laporan tersebut disebutkan, setiap tahunnya polusi lingkungan membunuh sekitar 1,7 juta anak di seluruh dunia.
Ada beberapa penyebab kematian balita yang diakibatkan karena lingkungan, di antaranya: infeksi pernapasan, diare, malaria, dan karena cedera yang disebabkan lingkungan. Namun, angka tertinggi dari penyebab kematian tersebut adalah infeksi pernafasan akut atau pneumonia yang jumlahnya mencapai 570.000 balita.
Sementara balita meninggal karena diare mencapai angka 361.000. Penyebabnya akibat kurangnya akses terhadap air bersih, sanitasai, dan kebersihan. Selebihnya 270.000 anak-anak meninggal kurang dari satu bulan, 20.000 balita meninggal akibat malaria, dan 200.000 balita meninggal karena cedera tak disengaja yang disebabkan lingkungan, seperti keracunan, jatuh, dan tenggelam.
Direktur Jenderal WHO, Margaret Chan mengatakan balita paling berisiko meninggal akibat lingkungan tercemar karena perkembangan organ-organ tubuh dan sistem mereka, juga saluran pernafasan dan tubuh yang lebih kecil. “Lingkungan yang tercemar adalah salah satu yang mematikan - terutama untuk anak-anak,” ujarnya.
Dalam konteks ini, WHO mengingatkan bahwa kematian balita ini akan meningkat secara dramatis jika tidak ada langkah yang diambil untuk mengurangi risiko lingkungan. Penyebab paling umum dari kematian anak termasuk diare, malaria dan pneumonia yang semuanya bisa dicegah.
Dalam laporan berjudul “Mewarisi Dunia yang Berkelanjutan: Peta Kesehatan Anak dan Lingkungan di Sekitarnya”, WHO mengatakan paparan yang berbahaya bisa dimulai dari dalam rahim, dan kemudian berlanjut jika bayi dan balita terkena polusi udara dalam dan luar ruangan dan menghirup asap rokok. Kondisi ini meningkatkan risiko pneumonia di masa kecil serta risiko penyakit pernapasan kronis, seperti asma seumur hidup.
Pada Oktober 2016, The Guardian melansir hasil penelitian Unicef yang mengatakan terdapat 300 juta anak-anak di dunia hidup di daerah dengan polusi udara yang ekstrim, di mana asap beracun lebih dari enam kali pedoman internasional. Penelitian yang menggunakan data satelit ini menunjukkan bahwa hampir 90 persen dari anak-anak di dunia - 2 miliar - tinggal di tempat-tempat di mana polusi udara luar ruangan melebihi batas yang ditentukan WHO.
Unicef memperingatkan tingkat polusi udara global berkontribusi 600.000 kematian anak per tahun, lebih dari yang disebabkan oleh malaria dan HIV/AIDS. Dalam hal ini, anak-anak jauh lebih rentan terhadap polusi udara. Menurut laporan Unicef, anak-anak sangat beresiko, karena mereka bernapas lebih cepat daripada orang dewasa dan lapisan sel di paru-paru mereka lebih permeabel terhadap partikel polutan.
Partikel-partikel kecil juga dapat melintasi penghalang darah-otak, yang kurang tahan pada anak-anak, secara permanen merugikan perkembangan kognitif dan prospek masa depan mereka. Bahkan belum lahir juga terpengaruh apabila terhirup oleh ibu hamil.
Karena itu, dalam laporannya, WHO merekomendasikan beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menanggulangi angka kematian balita yang disebabkan lingkungan, mulai dari mengurangi polusi udara di dalam dan di luar, meningkatkan air bersih dan sanitasi, meningkatkan kebersihan - termasuk di fasilitas kesehatan di mana wanita melahirkan, melindungi ibu hamil dari asap tembakau, dan membangun lingkungan yang lebih aman. Misalnya, membuat lebih banyak ruang terbuka hijau, mengurangi emisi, mengelola limbah berbahaya dan mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya adalah upaya-upaya yang bisa dilakukan.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti