Menuju konten utama

Politikus PDIP Curiga PP 72/2016 Jebakan untuk Jokowi

Politikus PDIP di Komisi VI DPR RI mencurigai PP 72/2016, yang mengatur penyertaan modal negara di BUMN, merupakan jebakan bagi Presiden Joko Widodo agar melanggar konstitusi.

Politikus PDIP Curiga PP 72/2016 Jebakan untuk Jokowi
(Ilustrasi) Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Menteri BUMN Rini Soemarno sebelum rapat terbatas mengenai percepatan pembangunan di Sumatera Selatan, di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (21/3/2017). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.

tirto.id - Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Dyah Pitaloka menyatakan curiga pembentukan PP Nomor 72 Tahun 2016 merupakan jebakan agar Presiden Joko Widodo melanggar konstitusi.

Karena itu, saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat dengan Menteri Keuangan dan sejumlah deputi Kementerian BUMN pada Kamis (23/3/2017), Rieke mendesak pemerintah segera merevisi total isi PP tentang tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perseroan Terbatas tersebut.

Rieke berpendapat jebakan untuk Jokowi terdapat pada isi PP tersebut yang mengatur bahwa penyertaan modal negara untuk BUMN bisa dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN atau tidak perlu pembahasan bersama DPR RI.

Dia bahkan sampai menyoroti hal detail seperti penulisan huruf kapital untuk penyebutan pemerintah pusat.

“Pada frase Pemerintah Pusat (di PP 72/2016), kalau huruf P-nya besar di kata 'pemerintah' dan 'pusat', termasuk seperti dalam kata 'Undang-Undang', itu artinya merujuk kepada presiden. Bisakah presiden terlibat dalam persoalan teknis atas penyertaan modal negara tanpa melalui APBN?”

Alasan ini, menurut Rieke, memperbesar kecurigaan dia bahwa pelaksanaan PP 72/2016 akan menyebabkan Jokowi mudah dituding telah melanggar konstitusi.

“Ketika itu dilaksanakan, presiden bukan hanya bisa dituduh melanggar Undang-Undang tapi juga konstitusi, karena seorang presiden tidak bisa menyetujui atau memutuskan anggaran tanpa mekanisme APBN. Tidak bisa, ini jebakan, dan oleh karena itu PP ini harus dicabut,” ujar Rieke.

Politikus PDIP lainnya di Komisi VI DPR RI, Darmadi Darianto juga mendesak pemerintah segera merevisi PP 72/2016.

“Kami ingin revisi total PP 72/2016, agar Presiden Joko Widodo tidak salah langkah dan menjadi preseden buruk di kemudian hari,” ujar Darmadi.

Darmadi menyoroti bunyi pasal 2A ayat 1 dalam PP tersebut. Pasal itu menyatakan, “Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau PT dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).”

Menurut Darmadi, “PP 72/2016 terkesan dibuat untuk memuluskan perusahaan dalam mendapatkan modal tambahan, meningkatkan ekuitas, yang kemudian menaikkan leverage.”

Dia khawatir, dengan indikasi bahwa aset BUMN bukan bagian dari kekayaan negara, pemerintah bisa melepaskan kepemilikan saham perusahaan negara tanpa persetujuan DPR. “Nanti akan dikaji lagi pasal-pasal mana yang perlu direvisi.”

Di rapat tersebut, Komisi VI DPR RI bersepakat menolak substansi dari PP 72/2016 dan segera akan menggelar rapat khusus mengkaji regulasi itu.

Menanggapi kritik demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang hadir bersama jajaran deputi Kementerian BUMN, mengapresisi masukan Komisi VI DPR RI.

“Saya hargai, kekhawatiran itu agar pemerintah tidak salahi konstitusi,” ujar Sri.

Kapasitas Sri dalam rapat kerja tersebut sebetulnya bukan sebagai Menteri Keuangan, melainkan pengganti Menteri BUMN Rini Soemarno.

Absennya Rini dalam setiap rapat kerja dengan DPR RI sejak pertengahan 2016 lalu dikarenakan adanya pelarangan bagi dirinya untuk ikut rapat yang diteken panitia khusus (pansus) kasus Pelindo. Rini bersama Direktur Utama Pelindo II saat itu, RJ Lino, dinilai telah melanggar konstitusi dan perundang-undangan.

Baca juga artikel terkait BUMN atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom