Menuju konten utama

Polemik Kasus Tajudin Si Penjual Cobek

Kuasa hukum Tajudin menuturkan dalam gugatan uji materi ini fokusnya adalah untuk memperjelas maksud dari eksploitasi yang ada dalam kedua pasal tersebut.

Polemik Kasus Tajudin Si Penjual Cobek
Tajudin memperlihatkan surat tanda terima penyerahan barang saat ia mengambil barang miliknya yang disita polisi di Mapolres Tangerang Selatan, Banten, Kamis (19/1). Meski sempat dipenjara 9 bulan dengan tuduhan eksploitasi anak, PN Tangerang akhirnya memvonis bebas Tajudin dari tuduhan jaksa tentang pelanggaran UU Tindak Pidana Perdagangan Orang. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

tirto.id - Seorang penjual cobek bernama Tajudin, pada April 2016 lalu harus menghadapi kasus hukum. Ia dianggap melakukan eksploitasi terhadap anak karena mempekerjakan dua keponakannya yang bernama Cepi Nurjaman (13) dan Dendi Dermawan (15).

Ia didakwa dengan dua pasal, yakni Pasal 2 ayat 1 UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun penjara, serta Pasal 88 UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang ancaman pidananya paling lama 10 tahun penjara.

Dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Tajudin dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda 150 juta rupiah subsider kurungan 1 bulan. Jaksa menganggap Tajudin telah terbukti melakukan TPPO. Tajudin pun sempat berada di penjara selama sembilan bulan.

Kemudian, pada Kamis (12/1/2017), majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang memvonis bebas Tajudin karena dinilai tidak terbukti mengeksploitasi anak seperti tuduhan jaksa. Dengan pertimbangan sosiologis yaitu di mana anak-anak sudah terbiasa membantu orang tuanya.

Namun, rupanya vonis bebas Tajudin belum sepenuhnya mengakhiri kasusnya. Jaksa masih mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Atas pengajuan kasasi tersebut, Tajudin pun menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar dilakukan uji materi terhadap dua pasal yang menjerat dirinya.

Kuasa hukum Tajudin, Abdul Hamim Jauzie mengatakan bahwa gugatan uji materi tersebut lantaran kliennya sudah divonis bebas oleh hakim PN Tangerang setelah mempertimbangkan aspek sosiologis di kampung asal Tajudin tinggal. Sehingga, menurutnya, dua pasal tersebut telah merugikan kliennya dan perlu diuji materi.

"Menurut UUD, anak yang dipekerjakan itu seharusnya jadi tanggung jawab negara. Dalam kasus ini, negara mestinya memperhatikan anak-anak itu. Keduanya sudah putus sekolah karena himpitan ekonomi. Mereka bekerja juga karena ingin membantu orangtuanya," kata Hamim kepada Tirto, Kamis (6/7/2017).

Menurut Hamim, dua keponakan kliennya tersebut yang meminta ikut berjualan. Di kampung keduanya, memang sudah lumrah anak-anak ikut berjualan cobek.

“Aspek hukum di dua pasal itu harus diperjelas agar tidak ada Tajudin lainnya," katanya.

Karena itu, Hamim menuturkan dalam gugatan uji materi ini fokusnya adalah untuk memperjelas maksud dari eksploitasi yang ada dalam kedua pasal tersebut.

Dalam persidangan yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi, Rabu (5/7/2017), hakim MK, Manahan MP Sitompul mengatakan pihaknya belum sepenuhnya menerima gugatan Tajudin. Karena, menurutnya kasus Tajudin adalah kasus konkret dan dikhawatirkan bila dikabulkan akan menjadikan ketidakpastian hukum pada kasus yang lain.

Tidak Perlu Ada Uji Materi

Menanggapi uji materi yang dilakukan Tajudin, komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Mariah Ulfah Anshori menganggap bahwa tidak perlu ada uji materi terhadap Pasal 88 UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Karena, menurutnya pasal itu sudah tegas dan menyeluruh dalam melindungi anak.

"Tidak perlu diuji materi lagi kalau menurut saya. Ini kan kasus spesifik. Kalau diuji materi, bisa disalahgunakan oleh pihak tertentu di daerah lain yang kondisi sosiologisnya tidak sama dengan kampung Pak Tajudin," kata Maria saat dihubungi Tirto, Kamis (6/7/2017).

Dirinya juga menyebut bahwa kata “eksploitasi” belum harus didefinisikan ulang hanya karena kasus Tajudin. Sebab, menurutnya, dalam melihat kasus ini harus melalui uji lapangan.

"Harus ada uji lapangan dulu untuk itu. Harus dilihat kebenarannya. Ditanya lingkungan sekitar Tajudin. Apakah benar anak-anak itu diberi hak yang layak, seperti bermain dan bersekolah, atau diringankan bebannya dalam kerja oleh Pak Tajudin?" katanya.

Menurut Maria, hak-hak anak itu harus dilihat dengan jeli dan prosesnya tidak bisa hanya berdasarkan keterangan saja. Sebab, menurutnya, kalau memang kondisi sosiologis di kampung Tajudin miskin dan mengharuskan anak untuk bekerja, itu pun tidak boleh sampai merampas hak anak.

"Harusnya ini dilakukan sebelum vonis persidangan," katanya.

Meski begitu, senada dengan kuasa hukum Tajudin, dalam kasus ini Maria menganggap adanya ketidaksejahteraan di suatu tempat yang menyebabkan anak sampai harus bekerja, adalah kesalahan negara.

"Kalau sudah begitu, perihal kesejahteraan kan tanggung jawab negara. Harusnya pemda setempat yang mengintervensi soal ini," katanya.

Berdasar pada keterangan kuasa hukum Tajudin, Maria pun menyayangkan sikap jaksa yang tetap mengajukan kasasi atas vonis bebas oleh hakim pada Tajudin. “Hukum itu tegas, tapi keadilan tidak hitam putih," katanya.

Pernyataan senada juga disampaikan anggota DPR RI Komisi IX Saleh Daulay. Ia menganggap kasus Tajudin ini merupakan sebuah pengecualian. Sehingga, menurutnya hakim juga harus mempertimbangkan aspek latar belakang sosiologis dari kasus tersebut.

"Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya ya. Karena memang ada juga anak yang ingin membantu ekonomi orang tuanya dengan bekerja. Hakim harus mempertimbangkan itu juga. Saya pikir hakimnya sudah bijak lah," kata Saleh pada Tirto, pada Kamis.

Meski begitu, ia tetap tegas bahwa mempekerjakan anak di bawah umur tetap tidak diperbolehkan dan menganggap dua pasal yang ada tersebut sudah tegas untuk menangani kasus sejenis.

"Pasalnya sudah benar dan tegas. Itu sudah melindungi. Kalau ada kasus begini lagi, saya rasa hakimnya yang harus pandai melihat dan mempertimbangkan," katanya.

Keyakinan sama juga disampaikan Wakil Komisi III DPR RI Benny K. Harman. Menurutnya, pasal TPPO dan perlindungan anak itu sudah tepat dan tidak perlu diragukan lagi.

"Itu, kan jelas tidak boleh ada eksploitasi dan penjualan manusia. Salahnya di mana?" kata Benny pada Tirto.

Kendati begitu, dirinya enggan mengomentari lebih jauh perihal kasus Tajudin. Menurutnya, dalam kasus ini penegak hukum telah berusaha melaksanakan tugasnya dengan sebaik mungkin. "Kita tunggu hasil keputusan MK saja," katanya.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa dengan tegas menyatakan dua pasal yang ada tersebut tidak perlu diragukan. “Sudah jelas kok pasalnya. Sudah tegas. Apa lagi? Itu aja ya,” ujarnya pada Tirto.

Baca juga artikel terkait EKSPLOITASI ANAK atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz