tirto.id - Pada 13 hingga 17 Februari lalu, langit muram menyelimuti Paman Sam. Badai musim dingin ekstrem menerjang wilayah Amerika Serikat bagian Selatan. Dalam catatan Vox, ini bermula dari badai petir frontal--dua massa udara yang berbeda--di lepas pantai Samudera Pasifik bagian Barat Laut, yang kemudian bergerak ke arah Tenggara. Tiba di Pegunungan Rocky, tubrukan dua massa udara ini menghasilkan tekanan tinggi 992 milibar (29,3 inHg)-dan secara perlahan mengirim udara dingin ke wilayah Selatan AS. Setidaknya, sekitar 150 juta warga AS, setara dengan 55 persen penduduk Indonesia, terdampak.
Badai yang dinamai Uri ini menjatuhkan suhu di sebagian wilayah Kentucky dan Georgia. Suhu rata-rata Texas, menurut data National Weather Service (semacam BMKG), jatuh di angka rata-rata minus 30 dejarat celcius, dan sempat mengalami penurunan suhu ekstrem hingga minus 34,44 derajat celcius, alias yang paling dingin dalam 40 tahun. Pembangkit listrik di Texas pun mati. Selama seminggu penuh, kegelapan dan kedinginan menyelimuti penduduk Texas yang tak bisa menghidupkan mesin pemanas ruangan.
Texas membeku karena pemanasan global, yang diakibatkan oleh aktivitas industri di seluruh pelosok dunia. Karbondioksida yang dihasilkan mesin-mesin pabrik, kendaraan, hingga sistem peternakan modern sukses meningkatkan suhu Bumi di titik 1,7 dejarat celcius saban tahun sejak 1970.
Tunggu, bukankah pemanasan global seharusnya membuat Bumi semakin panas, bukan dingin seperti yang menimpa Texas?
Ketika Suhu Udara di Utara Tak Berbeda Jauh Dengan Suhu Udara Selatan
"Polar vortex (atau siklon Arktik, siklon sub-kutub, pusaran sirkumpolar, pusaran kutub) adalah sistem angin stratosfer yang kuat, berada di garis tengah lintang, kuasi-zonal (bergerak pura-pura menyerupai arah aliran fluida dunia), yang berkembang selama musim dingin sebagai akibat dari gradien lintang dalam pemanasan ozon," papar Mark R. Schoebe, dalam studi "Structure of the Polar Vortex" di jurnal Atmospheres, vol. 97, Mei 1992.
Dalam "What is the Polar Vortex and How Does It Influence Weather" yang termuat dalam jurnal Bulletin of the American Meteorological Society, vol. 162 (2019), Darry W. Waugh menjelaskannya dengan lebih sederhana: polar vortex merupakan area luas yang mengandung udara dingin dan bertekanan yang selalu mengelilingi kedua kutub Bumi, yang melemah di musim panas dan menguat di musim dingin. "Vortex" atau "pusaran", mengacu pada aliran udara berlawanan arah jarum jam. Jenis aliran ini memastikan agar udara yang lebih dingin tetap berada di dekat kutub.
Fenomena ini, sebut Waugh, "sering dianggap fenomena tunggal". Padahal "pusaran kutub merupakan rangkuman dari dua pusaran yang sangat berbeda di atmosfer Bumi: pusaran troposfer dan pusaran stratosfer". Pusaran troposfer (tropospheric vortex) merupakan pusaran udara yang sangat luas, dari area sub-tropis hingga kutub, yang muncul karena perbedaan topografi darat-laut di belahan bumi utara dan selatan. Sementara pusaran stratosfer (stratospheric polar vortex) berada di sekitar kutub semata. Lebih tepatnya, di sekitaran 60 derajat lintang utara dan selatan, tepat di atas tropopause hingga mesosfer, atau muncul tepat berada di dekat Pulau Baffin di Siberia.
Munculnya pusaran stratosfer di kala musim dingin terjadi karena gradien suhu berskala besar yang hadir di garis lintang tengah dan kutub, yang dipicu ketiadaan sumber panas dari matahari. Kedua pusaran ini memiliki musim yang cukup berbeda, yakni sepanjang tahun untuk pusaran troposfer dan hanya ketika musim gugur dan musim semi (Maret-Juni) untuk pusaran stratosfer.
Penjelasan paling sederhana tentang munculnya polar vortex adalah adanya perbedaan suhu udara di atmosfer, dingin di sekitaran kutub dan relatif panas dari sub-tropis. Perbedaan suhu udara ini akhirnya menciptakan aliran jet, yakni pusaran troposfer di garis lintang bawah dan pusaran stratosfer di kutub. Sialnya, sebagaimana dipaparkan David W. J. Thompson dalam studi "Interpretation of Recent Southern Hemisphere Climate Change" (2002), selama beberapa dekade terakhir "belahan bumi utara telah mengalami perubahan yang nyata" yakni menipisnya lapisan ozon hingga 50 persen sepanjang 1990-an dan bolongnya lapisan ozon di wilayah Antartika. Lapisan ozon menipis karena pemanasan global, akibat produksi karbon dengan kuantitas sangat besar.
Walhasil, suhu udara di wilayah sekitar kutub akhirnya tidak terlalu dingin dibandingkan wilayah sekitarnya, yakni sub-tropis. Suhu kawasan sub-tropis bahkan menjadi tidak terlalu jauh dengan panasnya tropis).
Anomali pun muncul. Pusaran troposfer tak hanya tercipta di sekita kutub dan pusaran troposfer tak hanya terjadi di lintang bawah. Dalam laporan Nicolás Rivero untuk Quartz, akibat anomali ini, "telah terjadi peningkatan intensitas cuaca ekstrem, yakni panas yang terlalu panas, kekeringan atau hujan yang terlalu lama, hingga dingin yang sangat menggigit". Menurut peneliti Rutgers University, Jennifer Francis, pemanasan global bukan berarti dingin tidak akan muncul lagi. Justru karena pemanasan global, suhu dingin ekstrim seperti yang menimpa Texas sangat mungkin terulang. Sebagai catatan, tahun lalu warga Hawaii menjumpai salju di ketinggian 6.200 kaki Taman Nasional Polipoli. Padahal, dalam sejarahnya, salju baru bisa ditemukan di ketinggian 14.000 kaki.
Di negara tropis seperti Indonesia, curah hujan yang sangat tinggi dan kekeringan panjang pun menjadi lumrah.
Pemanasan global yang menyebabkan Texas membeku ini juga akhirnya membuka mata publik pada urusan genting lainnya: privatisasi energi.
Tak Selamanya Konsumen adalah Raja
Badai Uri yang menghantam Amerika Serikat bagian Selatan menimbulkan bencana lain. Pembangkit milik Electric Reliability Council of Texas (ERCOT), perusahaan yang menyediakan listrik bagi 90 persen penduduk Texas, gagal berfungsi. Texas yang dijuluki "the Lone Star State" pun gelap gulita.
Di sisi lain, sejumlah penduduk Texas tetap menikmati listrik karena berlangganan perusahaan penyedia listrik yang tidak terdampak. Awalnya, sebagaimana dilaporankan Giulia McDonnell Nieto del Rio untuk The New York Times, penduduk yang tetap memperoleh akses listrik bersyukur. Sialnya, berkah seketika menjadi petaka.
Listrik di Texas tak dipasok oleh negara. Gilanya lagi, pemerintah negara bagian Texas bahkan tidak meregulasi pasar energi listrik alias sepenuhnya menyerahkan urusan akses listrik ke mekanisme pasar. Dalihnya: menyeimbangkan pasar dengan mendorong konsumen mengurangi penggunaan listrik sekaligus mendorong pemasok untuk menghasilkan lebih banyak listrik.
Walhasil, Texas memiliki 220 perusahaan penyedia listrik dengan kebijakannya masing-masing, termasuk mematok tarif sesuai permintaan-penawaran. Ketika permintaan turun, tarif listrik anjlok dan bisa membuat tagihan minus--pengguna tak perlu membayar apapun. Di sisi lain, tarif listrik bisa menjulang tinggi tatkala perusahaan utama penyedia listrik di Texas kolaps dan rakyat sedang butuh-butuhnya listrik untuk menghidupkan mesin pemanas ruangan karena Badai Uri.
Seorang veteran bernama Scott Willoughby mengaku memperoleh tagihan sebesar $16.752--atau sekitar Rp250 juta--alias 50 kali lipat segala total tagihannya selama 2020 hanya untuk membayar listrik pada Februari ini kepada perusahaan bernama Griddy. Milazzo, warga Texas lainnya, memperoleh tagihan sebesar $4.000--atau sekitar Rp56 juta--hanya dalam tempo dua pekan menggunakan listrik. Bank tempat Milazzo menyimpan uang bahkan memblokir akses perusahaan penyedia listrik ke rekeningnya. Pasalnya, saldo Milazzo tak cukup untuk bayar listrik.
Rata-rata ongkos harian yang harus dibayar para pengguna yang berlangganan listrik dari pemasok yang tetap beroperasi di tengah Badai Uri mencapai lebih dari $100--atau sekitar Rp1,4 juta. Pihak Griddy mewajarkan mahalnya tarif karena "jutaan orang Texas tidak punya akses ke listrik".
Wajar? Boleh jadi.Pihak Griddy mengklaim telah menjelaskan sistem tarif berbasis penawaran-permintaan kepada pelanggan dan menginformasikan tarif akan melonjak karena Badai Uri. Pihak Griddy juga mengklaim sudah menganjurkan pelanggan memilih perusahaan lain. Namun, yang pasti, bencana meroketnya tarif listrik yang menimpa sebagian penduduk Texas membuktikan kegagalan privatisasi energi di tangan pemerintah Texas. Pemerintah gagal memberikan listrik tatkala rakyat Texas sedang butuh-butuhnya dan gagal melindungi rakyatnya dari ganasnya tagihan.
Sialnya, kegagalan privatisasi ini tak hanya dilakukan pemerintah Texas, tetapi hampir di semua tempat. Termasuk Indonesia.
Dalam Making Public in A Privatized World: The Struggle for Essential Service (2016), David A. McDonald menyatakan hampir 40 persen penduduk dunia tak kebagian pasokan listrik--atau punya akses listrik dengan kuantitas yang minim. McDonald memaparkan, kebijakan privatisasi/swastanisasi atas kebutuhan pokok masyaraka--air, listrik, energi, kesehatan hingga transportasi publik--mulai bergulir pada awal 1980-an sejak pemerintah konservatif di Inggris dan AS berkuasa. Pola kebijakan ini akhirnya ditiru banyak negara. Awalnya, dalam konteks krisis negara-negara kesejahteraan 1970-an, langkah privatisasi ini dibela dengan alasan bahwa kinerja perusahaan-perusahaan negara tidak efisien. Bagi para pendukungnya, privatisasi dapat memangkas rantai birokrasi kebijakan dan mengurangi intrik politik terkait kebutuhan publik. Dalam kasus yang ekstrem, para pemuka privatisasi bahkan mengharamkan langkah negara meregulasi pasar.
Di atas kertas, publik akan mendapat pilihan terbaik dari pasar berkat skema privatisasi--dengan asumsi bahwa pasar akan berlaku efisien dan menawarkan harga terbaik. Publik semata-mata ditempatkan sebagai konsumen pembeli jasa atau barang. Sayangnya, tak semua pembeli adalah raja. Status konsumen adalah omong kosong di tengah daya beli yang menuru, stagnasi upah selama puluhan tahun, dan minimnya jaminan sosial. Texas adalah contoh ekstrem di mana akses terhadap kebutuhan pokok warga negara murni ditentukan oleh para pelaku bisnis.
Lagi-lagi, privatisasi bukan hanya berlaku di sektor listrik dan di Amerika Serikat. Sektor air pun mengalami nasib serupa--dan contohnya ada di depan mata: Jakarta.
Laporan Vox berjudul "Why Jakarta Sinking" (21/02/2021), misalnya, memaparkan bagaimana tanah di Jakarta perlahan-lahan turun karena sebagian besar penduduk tidak punya akses air dari negara. Melansir laman PAM Jaya, negara, melalui PDAM Jaya, baru mampu menyediakan kebutuhan air 17.000 liter per detik untuk penduduk Jakarta. Padahal, Jakarta membutuhkan 26.100 liter per detik air. Solusi bagi bagi warga yang tidak memperoleh air adalah memompa air dari tanah--sebuah praktik yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Sialnya, karena hampir di setiap tempat di Jakarta telah tertutup beton, air yang berada di lapisan akuafilter tidak cukup terakumulasi di tengah musim hujan. Tentu, masalah air tak hanya menimpa Jakarta. Di Depok, misalnya, PDAM baru menjangkau sebagian kecil wilayah di 31 kelurahan. Padahal, Depok memiliki 63 kelurahan.
Editor: Windu Jusuf