tirto.id - Pandemi COVID-19 masih jauh dari kata akhir. Selagi banyak pihak berlomba-lomba menemukan vaksin untuk penyakit tersebut, pemerintahan di berbagai negara berusaha menekan jumlah kasus terjangkit di negaranya masing-masing.
Berdasarkan grafik yang dirilis endcoronavirus.org, Indonesia termasuk salah satu negara yang termasuk dalam kategori merah atau negara yang harus segera memiliki langkah penanganan segera (Countries That Need to Take Action). Perkembangan kasus di Indonesia masih terus meningkat secara eksponensial.
Di sisi lain, belum ada tindakan dari pemerintah yang bisa signifikan menekan penambahan kasus. Bahkan, target dua minggu yang diamanatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Panjaitan pun tidak membuahkan apa-apa secara signifikan, baik kebijakan maupun hasil.
Sejak kasus pertama pada 2 Maret 2020, pemerintah pusat maupun daerah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menahan keberadaan orang di ruang publik, termasuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini diharapkan bisa menekan jumlah transmisi virus.
Beberapa pemerintah daerah meliburkan sekolah, menutup tempat hiburan dan wisata, meniadakan kegiatan yang memungkinkan orang berkerumun. Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut andil dengan mengeluarkan fatwa agar umat Islam beribadah di rumah selama pandemi ini masih berlangsung. Gereja Katolik juga meniadakan misa mingguan di Gereja dan mengadakan misa daring.
Sayangnya, kebijakan ini tidak diikuti dengan komitmen pemerintah untuk menekan penyebaran virus, misalnya, dengan melaksanakan 3T (test, trace, treat) dengan sungguh-sungguh serta memberikan bantuan finansial untuk masyarakat yang terdampak PSBB.
Kebijakan yang setengah-setengah ini membebani masyarakat dengan tanggung jawab: tidak hanya mereka dituntut untuk hidup sehat dan tidak tertular, namun juga untuk tetap berjuang memenuhi kebutuhan finansial rumah tangga. Menghadapi pandemi dengan situasi arah kebijakan yang tidak jelas selama tujuh bulan membuat masyarakat jadi jenuh, tidak patuh, bahkan membuka ruang bagi teori konspirasi untuk berkembang.
Google COVID-19 Community Mobility Reports
Google merilis laporan Google COVID-19 Community Mobility Reports yang menunjukkan data lokasi masyarakat berdasarkan aplikasi Google Maps yang telah diagregatkan dan dianonimkan. Mereka membagi data tersebut menjadi beberapa kategori lokasi: hunian; retail dan rekreasi; taman dan rekreasi luar ruang; pusat perbelanjaan dan farmasi; pusat transportasi; dan perkantoran.
Google tidak memberikan rincian spesifik apa saja lokasi-lokasi yang termasuk di dalam keenam kategori tersebut. Hal ini membuat beberapa lokasi tidak diketahui persentase mobilitasnya seperti tempat ibadah. Catatan penting, sejak awal pandemi banyak terjadi penularan dengan klaster tempat ibadah mengingat budaya masyarakat Indonesia yang religius (Gallup, 2009).
Laporan ini menunjukkan persentase seberapa banyak orang berada di suatu kategori lokasi dibandingkan dengan garis dasar (baseline). Garis dasar atau titik nol pada laporan ini adalah nilai median dari data geolokasi selama lima minggu dari 3 Januari 2020 hingga 6 Februari 2020.
Sebagai contoh, apabila pada tanggal 5 Februari 2020 grafik pada kategori hunian menunjukkan angka 3%, artinya setidaknya ada 3% lebih banyak orang berada di rumah dibandingkan nilai median pada tanggal 3 Januari-6 Februari 2020.
Tren yang ditunjukkan laporan ini berdasarkan jumlah orang dan durasi, sehingga tidak dapat menunjukkan perpindahan orang pada skala kota maupun provinsi. Contohnya, pada hari-hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, ada lonjakan grafik pada kategori hunian. Lonjakan ini menunjukkan banyaknya orang yang berada di hunian pada tanggal tersebut, tapi tidak menunjukkan bahwa orang itu adalah orang yang mudik dari kota atau provinsi lain.
Google pun memberikan disclaimer mengenai data yang ditunjukkan oleh laporan ini. Salah satunya adalah pergerakan yang drastis pada akhir pekan. Data yang ditunjukkan adalah perubahan relatif, bukan jumlah persis pengunjung suatu lokasi.
Apabila ada lonjakan drastis di akhir pekan, itu dikarenakan jumlah pengunjung yang lebih sedikit dari biasanya, sehingga jumlah data yang diambil pun lebih sedikit, dan perubahan relatif dari garis dasar pun jadi lebih kecil. Google tidak menyarankan untuk membaca dan menganalisa data ini secara harian, atau membandingkan antara data hari kerja dengan akhir pekan.
Mobilitas Masyarakat Indonesia
Berdasarkan grafik di atas, ada beberapa poin yang bisa disimpulkan:
- Perubahan banyaknya orang berada di rumah paling signifikan adalah setelah pengumuman diliburkannya sekolah di berbagai daerah.
- Pergerakan masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor agama dan kebiasaan yang mengikutinya. Contohnya, kebiasaan berbelanja dan mudik sebelum Idul Fitri. Pergerakan ini bisa bervariasi tergantung agama mayoritas di masing-masing provinsi.
- PSBB yang dilakukan di berbagai provinsi tidak mengubah kebiasaan orang secara signifikan. Namun, ditiadakannya PSBB maupun pelonggaran PSBB--seperti PSBB Transisi di Jakarta--tidak serta merta mengembalikan pergerakan masyarakat kembali ke garis dasar (baseline). Semua kategori mengalami perubahan pergerakan kembali ke garis dasar secara perlahan.
- Kebijakan pemerintah tidak menekan jumlah kasus. Begitu juga tidak ada lonjakan kasus secara drastis setelah hari-hari besar karena banyaknya orang ke luar rumah. Grafik kasus bergerak secara stabil dan eksponensial.
Di dalam daftar negara teraman dari pandemi COVID-19 yang dirilis oleh Deep Knowledge Group (DKG), Selandia Baru menempati posisi kedua sebagai negara teraman dari pandemi. Berdasarkan daftar yang sama, Selandia Baru memiliki efisiensi karantina tertinggi di seluruh dunia.
Antara mobilitas masyarakat Selandia Baru dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Selandia Baru bersinergi dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan kesigapan pemerintah Selandia Baru bahkan ketika baru terjadi 12 kasus.
Sejak lockdown pertama di 23 Maret 2020 yang kemudian ditingkatkan menjadi tingkat empat di tanggal 25 Maret 2020, terlihat perubahan yang drastis pada jumlah orang yang berada di hunian dan non hunian. Sebulan setelahnya, kurva kasus dapat ditekan dengan sangat signifikan.
Masyarakat Selandia Baru pun responsif dengan setiap kebijakan pemerintah. Setiap penurunan tingkat lockdown pada tanggal 27 April, 11 Mei, dan 8 Juni 2020, perubahan grafik mobilitas perlahan kembali ke garis dasar, hingga akhirnya mereka sempat menikmati 100 hari berturut-turut tanpa kasus.
Pada 11 Agustus 2020, pemerintah Selandia Baru kembali sigap. Mereka meningkatkan status lockdown menjadi tingkat tiga setelah terjadi tiga kasus baru. Respons masyarakat pun terlihat jelas di dalam grafik.
Pemerintah Selandia Baru bukan berarti tidak mementingkan ekonomi, seperti yang selalu digadang-gadang pemerintah Indonesia. Kendati PM Selandia Baru Jacinda Ardern mengeluarkan kebijakan untuk membatalkan semua pertemuan yang melibatkan 500 orang pada 16 Maret 2020, ketika baru ada delapan kasus, Ardern juga menyatakan kepeduliannya atas kondisi ekonomi nasional yang akan mengalami krisis apabila virus tidak segera dikendalikan.
Keesokannya, pada 17 Maret 2020, Menteri Keuangan Selandia Baru Grant Robertson mengeluarkan paket bantuan ekonomi sebesar 12,1 miliar dolar New Zealand untuk berbagai pihak yang terdampak oleh virus corona.
Melalui perbandingan singkat mobilitas masyarakat-kebijakan pemerintah antara Indonesia dan Selandia Baru, dapat dilihat bahwa 'sekadar' berada di rumah tidaklah cukup. Selain perlunya ketegasan pemerintah untuk tetap menjaga masyarakat agar tetap di rumah, pelaksanaan 3T (test, trace, treat) juga sangat diperlukan.
Di Indonesia, sementara itu, test rate masih di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pelacakan (tracing)kasus yang transparan juga tidak baik. Perawatan masih terbatas, dan isolasi mandiri juga masih banyak dilakukan.
Pembaca dapat mengeksplorasi grafik berikut untuk melihat efek beberapa kebijakan pemerintah dan hari besar di Indonesia pada level provinsi.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara