Menuju konten utama

Plastik dan Caranya Menyusup ke dalam Tubuh Manusia

Penelitian membuktikan adanya keberadaan partikel mikroplastik di dalam tubuh manusia, yang bisa masuk melalui berbagai cara.

Plastik dan Caranya Menyusup ke dalam Tubuh Manusia
Header mengkonsumsi Plastik. tirto.id/Quita

tirto.id - Kabar tentang terancam bangkrutnya Tupperware, produsen wadah dan perlengkapan makan dari plastik, sempat membuat heboh pasar saham dunia.

Konsultan retail Carol Spiekerman seperti dilansir Reuters menyatakan, kejatuhan Tupperware terjadi karena perusahaan tersebut kalah bersaing dengan produsen wadah plastik lain yang harganya lebih murah dan modelnya lebih kekinian, juga dari jenis wadah lain yang lebih ramah lingkungan.

Terlepas dari citra Tupperware yang erat sebagai wadah plastik yang ramah lingkungan dan tidak berbahaya untuk kemasan makanan dan minuman, isu mengenai bahaya kandungan plastik yang masuk ke dalam tubuh semakin mengkhawatirkan. Apalagi, kehidupan sehari-hari manusia semakin lekat dengan perlengkapan berbahan plastik.

Pada akhir 2022 lalu, The Guardian melansir bahwa kandungan mikroplastik ditemukan untuk pertama kalinya pada Air Susu Ibu (ASI). Sebelumnya, di bulan Maret 2022, mikroplastik ditemukan dalam darah manusia.

Hasil riset di Belanda yang terbit dalam jurnal Environment International menemukan kandungan partikel polimer (zat pembentuk plastik) dalam 80 persen sampel darah manusia yang menjadi responden penelitian. Dari setiap mililiter darah sampel ditemukan sebanyak 1,6-7 mikrogram partikel polimer.

Setengah dari sampel darah mengandung plastik PET (biasa digunakan dalam botol minuman), sepertiga sampel darah mengandung polistiren (biasa digunakan untuk membuat kemasan aneka produk), dan seperempat sampel darah mengandung polietilen (bahan pembentuk kantong plastik).

Studi lain juga menemukan bahwa partikel mikroplastik terutama nanoplastik (plastik berukuran < 1 mikronmeter) yang menempel pada membran luar sel darah merah dapat membatasi kemampuan sel darah dalam mengangkut oksigen.

Dick Vethaak, ekotoksikologis dari Vrije Universiteit Amsterdam kepada The Guardian menyatakan bahwa sangat masuk akal bagi setiap orang untuk merasa khawatir terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh plastik.

Pasalnya, partikel plastik di dalam tubuh manusia akan diangkut oleh darah ke seluruh tubuh, termasuk organ-organ dalam tubuh seperti paru-paru, ginjal dan jantung.

Kandungan mikroplastik dikatakan dapat memasuki plasenta ibu hamil dan terdeteksi di dalam air susu ibu.

Kandungan mikroplastik juga 10 kali lipat lebih tinggi di dalam feses bayi dibandingkan dengan orang dewasa. Bayi yang diberi makan dari botol dan alat makan dari plastik juga menelan jutaan partikel mikroplastik setiap harinya.

“Secara umum, kita mengetahui bahwa tubuh bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap paparan bahan kimia dan partikel plastik. Fakta ini sangat membuat saya khawatir,” ujar Vethaak.

Laporan PBB tahun 2017 menyatakan ada lebih dari 51 triliun partikel mikroplastik (plastik dengan ukuran diameter <5 milimeter) tersebar di lautan, baik yang mengapung, melayang mengikuti arus air, maupun yang tenggelam di dasar laut.

Konvensi Keanekaragaman Hayati di Montreal tahun 2012 menyatakan bahwa keseluruhan spesies penyu, 45 persen spesies mamalia laut dan 21 persen spesies burung laut diketahui terimbas sampah plastik — dalam arti spesies tersebut makan plastik atau anggota tubuhnya terjerat sampah plastik.

Dalam konvensi yang sama satu dekade kemudian terungkap ada lebih dari 700 spesies hewan laut yang terimbas sampah plastik. Artinya, saat ini ada ratusan juta hewan telah mengonsumsi sampah plastik dan hingga pertengahan abad ini diperkirakan semua spesies ikan dan burung laut di bumi telah mengonsumsi sampah plastik.

Di Indonesia, hasil studi Balai Riset dan Observasi Laut Denpasar, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2016 mengungkap pencemaran mikroplastik di wilayah laut Bunaken mencapai angka 50-60 ribu partikel per kilometer persegi, Laut Sulawesi antara 30-40 ribu partikel per kilometre persegi dan Laut Banda antara 5-6 ribu partikel per kilometer persegi.

Penelitian lain yang dilakukan tahun 2018 juga mengungkap kandungan mikroplastik dalam puing-puing tanah di pesisir Teluk Banten. Dari 343 sampel ikan yang ditangkap di perairan Teluk Banten ditemukan limbah plastik pada usus ikan dalam bentuk potongan plastik (42%), serat plastik (23%), microbeads (10%), pelet plastik (5%), filamen plastik (4%) dan busa (0,3%).

Infografik mengkonsumsi Plastik

Infografik mengkonsumsi Plastik. tirto.id/Quita

Cara Plastik Masuk ke dalam Tubuh

Sejak penemuan bahan polimer sintetis di tahun 1869 dan plastik sintetis pada 1907, plastik menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Plastik digunakan sebagai bahan untuk membuat berbagai hal, mulai dari mainan, pakaian, komponen mesin, wadah makanan dan minuman, hingga produk perawatan tubuh.

Sifatnya yang ringan, kuat, fleksibel, dan tahan air menjadikan plastik populer dalam proses industri. Alhasil jika pada tahun 1960-an produksi plastik hanya mencapai sekitar 15 juta ton, tahun 2022 produksi plastik melesat hingga 335 juta ton per tahun di seluruh dunia. Sekitar 40 persen dari angka tersebut dimanfaatkan untuk membuat segala jenis bahan pembungkus atau kemasan produk.

Lama-kelamaan manusia menyadari ancaman sampah plastik terhadap kehidupan. Bukan hanya mengakibatkan tumpukan sampah menggunung, partikel plastik bisa masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai media. Mulai dari makanan yang kita konsumsi, air yang kita minum, pakaian, hingga beraneka produk rumah tangga dan perawatan tubuh yang kita gunakan.

Pada tahun 2018 lalu publik sempat digegerkan oleh hasil studi yang menemukan kandungan mikroplastik dalam berbagai merek air minum dalam kemasan (AMDK). Bukan hanya di dalam AMDK, studi lain yang dipublikasikan dalam jurnal Water Research tahun 2019 juga menemukan kandungan mikroplastik di dalam air keran dan air yang ada di alam.

Pernah memakai sabun pembersih wajah atau pasta gigi yang memiliki kandungan bulir-bulir kasar atau dikenal dengan nama microbeads? Bulir kasar ini terbuat dari butiran plastik berukuran kecil. Setelah dipakai, jutaan butir plastik kecil ini akan mengalir ke laut melalui pipa pembuangan rumah tangga dan tertelan oleh hewan laut yang kemudian dikonsumsi oleh manusia.

Itu sebabnya, Amerika Serikat melarang penggunaan plastik microbeads pada tahun 2015 dan menyusul larangan tersebut juga diberlakukan di Inggris pada September 2016. Indonesia hingga kini belum menerapkan larangan penggunaan microbeads dalam produk industri.

Berdasarkan sejumlah hasil studi yang terbit di beberapa jurnal ilmiah, konsumen juga perlu mewaspadai kandungan mikroplastik di dalam garam laut yang berkisar antara 35 hingga 575 partikel per kilogram.

Peneliti Eka Chlara Budiarti dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) menyatakan bahwa selain melalui sistem pencernaan, mikroplastik juga dapat memasuki tubuh manusia melalui jalur pernapasan dan paparan terhadap produk dari plastik yang sudah mengalami pelapukan.

Serbuk dan sepihan plastik berukuran renik bisa ikut terhirup saat bernapas apabila di sekitar kita ada perabot dari plastik yang sudah mengelupas, pakaian dari bahan sintetis yang serat benangnya sudah usang, termasuk juga saat menghirup udara melalui masker yang kita gunakan sehari-hari.

Partikel seukuran nanoplastik juga bisa masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit ketika kita bersentuhan dengan benda mengandung plastik yang sudah mulai meluruh.

Lebih lanjut, endapan partikel plastik yang merupakan benda asing ini tidak bisa dicerna atau diserap oleh tubuh sehingga bisa menimbulkan iritasi. Jika dibiarkan terlalu lama, iritasi atau peradangan tersebut berpotensi memicu timbulnya tumor yang bisa berkembang menjadi kanker.

Kebiasaan yang Perlu Diubah

Kebiasaan menyimpan makanan dan minuman di dalam wadah plastik sudah perlu diwaspadai dampaknya terhadap kesehatan. Banyak studi menyatakan bahwa bahan aditif yang biasa ditambahkan ke dalam plastik yaitu BPA dan ftalat bisa menimbulkan masalah kesehatan seperti gangguan metabolisme dan masalah kesuburan.

Bahan berbahaya tersebut bisa masuk ke dalam tubuh apabila wadah plastik rusak akibat benturan atau pemanasan. Mencuci dengan sikat kasar atau memasukkan wadah plastik ke dalam mesin pencuci piring juga tidak boleh dilakukan karena berisiko menimbulkan goresan yang bisa menjadi "rumah" bagi bakteri sekaligus ‘gerbang’ bagi partikel plastik untuk keluar dan mencemari makanan.

Pemanasan wadah plastik di dalam microwave juga bisa mengakibatkan molekul di dalam plastik menjadi tidak stabil, luruh, kemudian mencemari makanan. Susahnya, label "microwave save" yang disematkan pada wadah plastik juga belum tentu menjamin keamanan penggunaannya.

Menurut James Rogers, direktur penelitian dan pengujian keamanan pangan di Consumer Reports - organisasi penelitian, pengujian, dan advokasi konsumen nirlaba di Amerika; tetap ada kandungan beberapa bahan kimia yang berisiko pindah dari wadah plastik ke dalam makanan selama pemanasan.

“Karenanya, kami benar-benar menganjurkan agar konsumen memindahkan makanan dari wadah plastik ke dalam mangkuk kaca tahan panas. Molekul kaca lebih stabil dibandingkan plastik sehingga lebih aman digunakan untuk memanaskan makanan,” jelas Rogers.

Agar lebih aman, jangan gunakan lagi wadah plastik yang sudah berubah warna, pecah, atau tergores, karena itu menandakan wadah sudah rusak sehingga partikel plastik berpotensi bocor ke dalam makanan.

Selain itu, hindari pula menyimpan makanan atau cairan yang asam di dalam wadah plastik karena bahan bersifat asam bisa menggerus permukaan plastik.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Nayu Novita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Nayu Novita
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi