tirto.id - Nyong Ambon ini lahir jauh dari kampung nenek-moyangnya, ketika orang tuanya sedang jauh merantau di Cirebon. Dia lahir pada 8 Agustus 1934. Tapi sulung dari 13 bersaudara ini kemudian dibawa pulang ke Kepulauan Maluku, tanah leluhurnya. Setelah menghabiskan masa remaja di Amahai, dia merantau ke Jakarta pada 1956.
Penampilannya di masa muda tergolong menarik. Tapi di tahun 1950-an, ternyata modal tampang saja tidak cukup untuk jadi bintang di film. Pieter Mozes Burnama pun rela jadi tukang dekor dan penata lampu dalam syuting film. Waktu seorang sutradara butuh aktor, maka jadilah dia aktor. Dia membuang bau Belanda dalam namanya dengan memakai nama panggung Pietrajaya Burnama alias Piet Burnama. Wajahnya kerap muncul dalam film-film Indonesia, termasuk dalam film Warkop DKI,
Beberapa penikmat teater tak lupa bagaimana akting Piet dalam pegelaran teater di masa mudanya. “Permainannya sebagai Kolonel Izquerdo dalam drama Montserrat karya Emmanuel Robles, pada 1960, menempatkan Piet sebagai 'pemain watak' yang sangat diperhitungkan,” tulis Leila S. Chudori dan Amarzan Loebis dalam obituari Piet, "Perginya Pemain Watak Terakhir",di majalah Tempo (16/11/2010).
“Sukses yang dicapai lewat Monserrat ternyata tidak hanya mengangkat nama ATNI tapi nama beberapa siswa ATNI pun terangkat ke atas. Dan barangtentu diantaranya adalah Pitradjaja Burnama aktor pentas yang kita hidangkan dalam rubrik 'Dari kehidupan Seniman' minggu ini,” tulis J. As di surat kabar Minggu Pagi (25/11/1962) yang menampilkan Pietrajaya Burnama.
Di tahun 1960 itu, selain bermain dalam Montserrat, Piet juga tampil dalam film. Meski bukan peran utama.
Sang Aktor Watak
Sutradara Wim Umboh (1933-1986), seperti disebut dalam Minggu Pagi (25/11/1962), adalah orang yang menariknya terjun ke dunia film. Mula-mula di film Istana Yang Hilang (1960) produksi Aris Film. Lalu Mendung Sendja Hari, di tahun dan rumah produksi yang sama. Selain itu dia juga tampil dalam film Pedjuang. Lagi-lagi bukan peran utama. Sebagai pemuda yang pernah belajar teater di ATNI, Piet tidak kaku berakting bersama orang-orang film yang sudah berpengalaman.
Tahun 1960 adalah tahun pentingnya terjun di dunia film. “Sejak saat itu Piet mengukuhkan diri di dunia sinema Indonesia sebagai pekerja keras yang sederhana, lembut, dan bermartabat,” tulis Leila S. Chudori dan Amarzan Loebis.
Putra sulung dari pasangan Orpha Burnama dan Teofillus Burnama ini bukan aktor yang melulu tampil sebagai peran utama protagonis. Apa saja dia bisa. Tak heran jika dia tergolong salah satu aktor watak Indonesia yang pernah ada.
J. As pernah bertemu dengan Piet pada 1962 di Studio Infico Rawasari Kebayoran Lama, Jakarta. J. As tak menyangka bahwa Piet Burnama, yang sudah sering ditulis di media-media terkait film kala itu, “Orangnya ramah tamah. Senyumnya manis seperti senyum wanita.”
Kala diwawancarai J. As, Piet yang biasanya berkumis terlihat berjenggot.
“Kenapa berjenggot?” tanya J As.
“Saya baru saja menyamun anak perawannya Oom Usmar,” jawab Piet sambil tersenyum.
Kala itu, seperti dicatat J. As, Perfini pimpinan Usmar Ismail telah merampungkan syuting Anak Perawan di Sarang Penyamun yang berlokasi di Banyuwangi, Jawa Timur. Dalam film yang ceritanya diambil dari novel karya Sutan Takdir Alisjahbana ini, bermain pula Bambang Hermanto, Bambang Irawan, dan Nurbany Jusuf. Seperti Piet, dua Bambang berperan sebagai penyamun dan Nurbany Jusuf sebagai anak perawan.
Piet rela tak berkumis demi perannya. Dalam film Max Havelaar yang diproduksi 1976, Piet berperan sebagai jaksa yang diam-diam membantu Max Havelaar untuk menghadapi Bupati Lebak yang lalim. Di film ini, kita bisa melihat Piet Burnama tampil tanpa kumis.
Dalam film-film lainnya, maupun dalam foto-foto yang beredar, Piet terlihat berkumis. Di film Max Havelaar kita serasa melihat Piet Burnama tidak ada dalam film—yang ada hanya jaksa yang diperankannya. Begitulah seharusnya aktor watak: menghidupkan film dengan perannya. Bila perlu, karakter yang diperankannya menenggelamkan diri si aktor.
"Pang Laot" yang Sempat Jadi Sutradara
Pada zaman Orde Baru, Piet tetap main film. Kumis dan wajahnya biasa muncul di layar perak. Ia bermain dalam film Warkop DKI seperti Dongkrak Antik (1982) dan Mana Bisa Tahan (1990). Piet Burnama pernah juga beradu akting dengan Dedy Mizwar dalam Irisan-irisan Hati (1988) yang berlatar hubungan Indonesia-Malaysia pada masa konfrontasi.
Piet berperan sebagai bapak mertua dari seorang sukarelawan Dwikora yang diperankan Dedy Mizwar. Di film itu, mertua dan menantu berdebat terkait revolusi.
Piet dapat pujian dalam film itu. “Saya terkesan permainan Pitrajaya Burnama. Di situ Pitrajaya (aktor didikan ATNI) bermain sebagai bekas pejuang yang berhadapan dengan seorang mahasiswa,” tulis Salim Said dalam Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar (1991: 260).
Dari sekian banyak peran yang dilakoninya, sosok yang diperankan Piet yang paling diingat adalah Pang Laot dalam film Tjoet Nja' Dhien (1986).
Pang Laot yang diperankan Piet merupakan sosok yang di mata orang awam dianggap jahat. Pang Laot adalah pembantu penting dari Cut Nyak Dien dalam gerilya melawan Belanda. Ia yang diam-diam bekerjasama dengan Belanda ternyata tidak tega melihat Cut Nyak Dien yang terus menua dan terganggu matanya jika terus bergerilya. Hingga dia pun bikin perjanjian dengan Kapten Veltman—yang diperankan Rudy Wowor—agar jika Cut Nyak Dien tertangkap, istri Teuku Umar itu diperlakukan dengan baik oleh pemerintah kolonial.
Pernah juga Piet memerankan tokoh protagonis di mata orang-orang Indonesia. Piet memerankan sosok Daeng Azis, nakhoda kapal asal Makassar sekaligus penyelundup senjata bagi orang-orang Lombok yang sedang berperang melawan tentara KNIL Belanda. Piet berusaha keras meniru cara bicara dan logat orang Makassar.
Di film, Piet ternyata tak hanya berakting, ia juga pernah duduk di kursi sutradara. Sejak berkarier di zaman Sukarno jadi presiden, setidaknya, menurut Leila S. Chudori dan Amarzan Loebis, Piet Burnama telah bermain dalam lebih dari 102 film dan telah menyutradarai lebih dari 34 film.
Di tahun-tahun terakhir hidupnya, Piet Burnama terlibat dalam film Serdadu Kumbang. Setelah tutup usia pada 6 November 2010, tepat hari ini delapan tahun lalu, dia dimasukkan dalam satu liang kubur bersama Maria Burnama Monoarfa, istrinya, yang lebih dahulu pergi. Piet dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Perwira, Bekasi Barat.
Editor: Ivan Aulia Ahsan