tirto.id - Sejatinya gagasan awal penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) lekat dengan unsur politik dan nasionalisme. PON digelar pertama kali pada September 1948, di tengah periode revolusi. Eksistensi Republik ini kala itu masih diperdebatkan di dunia internasional. Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) – cikal bakal dari KONI, menggelar PON dilandasi dua latar belakang.
Pertama, PON dijadikan pelampiasan kekecewaan terhadap Komite Olimpiade Internasional yang gagal mengizinkan Indonesia ikut di Olimpiade 1948 di London, Inggris. Kedua, PON dimaksudkan jadi alat penyaringan atlet-atlet berbakat untuk membela Indonesia di event internasional, di antaranya adalah Asian Games 1950 di India (karena molor Asian Games jadi digelar 1951).
Hal yang bisa ditarik dari dua latar belakang dia atas yakni output dari penyelenggaraan PON adalah prestasi-prestasi di dunia internasional. Seiring dengan berjalannya waktu, PON sukses melakukan tugas-tugas itu.
Namun, semua itu berubah setelah PON mulai disusupi banyak kepentingan, mulai dari semangat kedaerahan yang berlebihan, gengsi tuan rumah dengan berbagai cara curangnya hingga menjadikan PON sebagai bancakan mengeruk anggaran.
Pembengkokan semangat PON ini bisa terlihat dari banyaknya cabang-cabang olahraga yang tidak jelas juntrungnya. Idealnya olahraga yang dipertandingkan di PON sejalan dengan cabor-cabor di Asian Games atau Olimpiade. Dari sanalah tolak ukur dan tujuan akhir bisa ditancapkan.
Namun, jadi sesuatu hal jenaka jika cabor-cabor yang dipertarungkan di PON itu tak berkorelasi dengan prestasi internasional. Pada PON XIX Jawa Barat, ada beberapa cabor yang mungkin membikin Anda tertawa terbahak-bahak dan memperdebatkan apakah ini masuk kategori olahraga atau bukan.
Mungkin hanya di Indonesia saja olahraga dirgantara yang identik dengan hobi disejajarkan dengan olahraga olimpik dalam sebuah event nasional.
Pada PON 2016 kali ini ada 5 olahraga dirgantara yang dipertandingkan yaitu aeromodeling, layang gantung, paralayang, terbang layang dan terjun payung. Tak tanggung-tanggung, emas yang diperebutkan mencapai 38 emas, hanya beda tipis dengan atletik yang memperebutkan 47 emas. Ini bukan kali pertama aeromodeling dipertandingkan, pada PON 2008 di Kalimatan Timur cabor ini dimainkan juga.
Jadi sebuah pertanyaan adalah setelah PON, juara-juara ini mau dikemanakan? Jangankan mau tampil di Asian Games atau Olimpiade, di Sea Games pun olahraga dirgantara ini jarang dimainkan – sekalinya ditandingkan di Sea Games itu hanya sekali terjadi pada 2011, itupun karena status Indonesia sebagai tuan rumah yang meminta paralayang dimainkan.
Jadi sebuah kekonyolan adalah di PON cabor aeromodeling sama prestige-nya dengan cabor sekelas basket, sepakbola, atau bulutangkis. Tidak tanggung emas yang diperebutkan di PON Jabar lebih banyak. Ada 9 emas!
Untuk menjadi atlet aeromodeling Anda tak perlu berpeluh keringat melatih otot berbulan-bulan, begitupun saat bertanding. Anda hanya perlu duduk manis sambil berusaha mengontrol mainan pesawat Anda lewat remote kontrol agar bisa bermanuver cantik dan dinilai bagus oleh juri, maka medali emas pun diraih.
Jadi pertanyaan bagaimana mungkin aktivitas hobi dan rekreasi macam ini masuk dalam kategori olahraga, serta dipertandingkan di event sekelas PON pula?
Pertanyaan sama juga diajukan pada cabor drumband. Hah drumband? Iya drumband. Sekelompok orang yang memainkan musik sembari baris berbaris itu kini tidak cuma jadi penghibur di upacara penutupan dan pembukaan PON saja.
Drumband dimainkan pertama pada PON XVII 2008 di Kaltim, namun absen pada PON XVIII 2012 Riau dan kini dihadirkan kembali di PON XIX 2016 Jabar dengan memperebutkan 10 emas.
Penentuan pemenang emas pada “olahraga” ini tak lepas dari penilaian soal urusan baris-berbaris. Terlihat dari ketegori yang dilombakan seperti Lomba Ketahanan dan Ketepatan Berbaris (LKKB) 2000 meter dan 4000 meter, lomba berbaris jarak pendek 600 meter dan 800 meter, lomba baris berbaris.
Sama seperti aeromodeling, drumband pun tidak jelas juntrungnya. Jikapun mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional itu bukanlah di event olahraga, tetapi event drumband atau musik.
Tidak hanya di darat dan udara, cabor akuatik pun tak lepas dari kebanyolan yang sama. Untuk kali pertama pada PON XIX 2016 Jabar, cabor renang perairan bebas diperlombakan. Lomba tidak diadakan di kolam renang namun di laut lepas. Ada enam nomor yakni 3000 meter, 5000 meter dan 10.000 ribu meter putra serta putri.
Output cabor ini tidak jelas karena tidak dimainkan di Olimpiade, Asian Games dan Sea Games. Sebuah kritikan muncul yakni ketimbang mempertandingkan cabor ini kenapa pihak PB PON tak menyelenggarakan cabor triathlon – yang jelas kini rutin di pertandingkan di Asian Games dan Olimpiade.
Ada beberapa cabor lain yang terasa janggal jika dimainkan di PON XIX 2016 Jabar seperti motor balap, kempo, panjat tebing, kriket, bridge, binaraga dan dansa. Jika ditotal hampir 50 persen cabor-cabor yang dipertandingkan di PON adalah cabor non-olimpik.
Banyak pihak yang mengeluh dengan masalah ini. “Tidak ada linieritas menuju prestasi internasional multievent. Lalu buat apa PON ini? Padahal tujuan olahraga prestasi adalah mengangkat harkat dan martabat bangsa di internasional,” kritik Kabid Bina Prestasi KONI Jawa Timur (Jatim), Irmantara Subagyo.
”Alangkah baiknya jika cabang olahraga yang dipertandingkan sedikit tapi cabang olahgara Olimpiade. Jadi dari segi kualitas pun akan jauh lebih baik” pinta Ketua Umum KONI Provinsi DKI Jakarta, Raja Sapta Ervian.
Ada satu hal kenapa cabor-cabor non-olimpik disetujui ramai-ramai baik itu atlet, pengurus federasi olahraga, KONI ataupun tuan rumah penyelenggara.
Pertama, bagi tuan rumah, semakin banyak cabor maka semakin banyak venue yang dibangun. Apalagi jika cabor non-olimpik itu butuh venue khusus. Misalnya, balap motor. Pada PON 2004, Pemprov Sumatera Selatan menghabiskan Rp30 miliar untuk sirkuit Skyland di Banyuasin. Sedang pada PON 2008, Pemrov Kalimantan Timur mengeluarkan Rp50 miliar untuk Sirkuit Kalan di Samarinda. Lalu setelah PON usai, sirkuit-sirkuit itu pun terbengkalai. Ironis.
Kedua, kehadiran cabor-cabor non-olimpik itu dimanfaatkan betul oleh atlet tuan rumah dan daerah-daerah lain untuk mendulang emas. Ada emas berarti ada bonus yang bisa bernilai ratusan juta. Untuk mengesahkan cabor baru, KONI hanya mensyaratkan lomba diikuti minimal lima provinsi yang telah lolos kualifikasi. Semakin sedikit pesaing, semakin besar dapat emas.
Pemerintah lewat Kementerian Pemuda dan Olahraga angkat suara. Deputi Bidang Peningkatan Prestasi, Gatot S Dewabroto menjanjikan akan dilakukan penataan ulang terkait cabor yang dipertandingkan di PON. “Kami akan tata ulang secara tegas,” ucapnya.
“Ke depan kami harus melakukan perbaikan event, termasuk PON. Paling gampang mengacu terhadap jumlah cabang olahraga yang dipertandingkan di Asian Games maupun Olimpiade," katanya. Kemungkinan pengurangan cabang olahraga akan diaplikasikan pada PON 2020 di Papua.
Pernyataan Gatot ini sejalan dengan harapan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi. "Revitalisasi SEA Games dan PON itu diperlukan agar bisa memberikan porsi lebih untuk cabang-cabang olimpik. Puncak tertinggi olahraga itu adalah Olimpiade, maka penjenjangan kompetisi pun juga harus berjangka, mulai dari level nasional, ASEAN, Asia, hingga Olimpiade. Kita akan evaluasi tingkat keterlibatan kita, mengingat penjenjangan kompetisi saat ini tidak berdampak langsung," katanya.
“Untuk PON, kami akan siapkan regulasi baru. Nantinya cabang-cabang non olimpik akan dialihkan ke FORMI (Federasi Olahraga Rekreasi-Masyarakat Indonesia), misalnya seperti cabang-cabang barongsai, dansa, atau drumband," ucap Imam.
Diharapkan ucapan Imam ini tidak hanya sekedar wacana. Apa sebab? Beredar kabar bahwa pada PON XX 2020 di Papua kelak jumlah cabor yang dipertandingkan sama dengan Jawa Barat, yakni 44 cabor. Jika di Jabar saja anggaran pemerintah yang tersedot mencapai 3 triliun apalagi nanti jika hal itu dipaksakan di Papua.
Dananya pasti akan membengkak berkali-kali lipat. Masalah akan muncul lalu setelah PON Papua digelar mau dikemanakan fasilitas-fasilitas olahraga itu? Solusi tegas harus segera dilakukan pemerintah. Diantaranya dengan menyingkirkan cabor-cabor tidak jelas di arena PON, dan mengembalikan PON pada khitahnya – sebagai batu loncatan kesuksesan di Asian Games dan Olimpiade.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani