tirto.id - Pada misa pagi Kamis lalu (23/2/2017), Paus Fransiskus kembali melontarkan kritik tajamnya kepada para jemaat Katolik Roma. Ia mengatakan bahwa banyak para orang Katolik yang bersikap hipokrit.
"Ada orang yang mengatakan 'saya sangat Katolik, saya selalu pergi ke Misa, saya milik asosiasi ini dan itu'," kata pemimpin 1.2 miliar umat Katolik Roma sedunia ini seperti dilansir dari Reuters.
Dengan pedas Paus Fransiskus berkata bahwa orang-orang tersebut harusnya juga mengatakan bahwa, “Hidup saya tidak Kristen, saya tidak membayar karyawan saya dengan gaji yang tepat, saya mengeksploitasi orang, saya melakukan bisnis kotor, saya mencuci uang, (saya memimpin) kehidupan ganda," ungkapnya lagi.
Ia mengatakan jika ada banyak orang Katolik yang seperti ini, mereka pada akhirnya menyebabkan skandal. "Berapa kali kita semua mendengar orang mengatakan 'jika orang itu adalah seorang Katolik, lebih baik menjadi seorang ateis'."
Paus Fransiskus lagi-lagi berbicara tentang seorang ateis. Kali ini ia berkata seorang ateis lebih baik daripada seorang Katolik yang hidup dalam skandal.
Ucapan Paus Fransiskus seketika merebak. Ini bukan kali pertama ia mengatakan hal-hal semacam itu dalam khotbah-khotbahnya.
Paus Francis atau Paus Fransiskus terlahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio pada 17 Desember 1936 di Buenos Aires, Argentina. Orangtuanya adalah imigran dari Italia yang kemudian bermukim di Argentina.
Menduduki jabatan sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik Roma sedunia sejak 13 Maret 2013 menggantikan Paus Benediktus XVI yang mengundurkan diri, ia merupakan Paus ke 266 pertama dari Ordo Yesuit, sekaligus Paus pertama dari benua Amerika.
Sebagai Paus non Eropa kedua setelah Paus Gregorius III dari Suriah yang pernah memimpin, Bergoglio memilih Francis sebagai nama kepausannya untuk menghormati Santo Fransiskus dari Assisi.
Namun tidak hanya di berbagai perkataan saja ia menyiratkan pemikiran-pemikirannya. Dalam tindakan, Paus Fransiskus juga tidak kalah berani lantaran sangat berbeda dengan tabiat para Paus pendahulunya.
Akhir Maret, tidak lama setelah dilantik menjadi Paus, ia mengunjungi Casal del Marmo, sebuah penjara remaja. Membasuh dan mencium kaki 12 penghuni penjara yang rata-rata masih muda dalam misa pembasuhan kaki Kamis Putih menuju Paskah. Bahkan dua di antaranya adalah Muslim Serbia.
"Siapapun yang menjabat di posisi tinggi, justru harus melayani orang lain," kata Paus saat memulai misa Kamis Putih yang memang selalu memuat ritual pembasuhan kaki layaknya Yesus ketika membasuh kaki ke-12 murid-muridnya.
Dua bulan berselang, Paus dalam sebuah homilinya pada misa Rabu mengatakan bahwa ateis sekalipun harus berbuat baik dalam pandangannya, dan tetap mendapat kemurahan dan rahmat dari Tuhan.
Dalam khotbahnya itu, Paus Fransiskus mengatakan: "Tuhan menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya, dan kita adalah citra Tuhan, dan Dia melakukan yang baik dan kita semua memiliki perintah ini di hati, yaitu: berbuat baik dan tidak berbuat jahat. Kita semua. 'Tapi bapa, ini bukan Katolik! Dia (ateis) tidak bisa berbuat baik'. Ya, dia bisa! Tuhan telah menebus kita semua, kita semua, dengan Darah Kristus. Kita semua, bukan hanya umat Katolik. Semua orang! 'Bapa, (bagaimana dengan) ateis?' Bahkan ateis. Semua orang! Kita harus bertemu satu sama lain dengan berbuat baik. 'Tapi saya tidak percaya, Bapa, saya seorang ateis!' Berbuat baiklah, kita akan bertemu satu sama lain di sana," ungkapnya seperti dilansir Huffington Post.
Pernyataan ini kemudian menimbulkan spekulasi beragam baik dari kalangan Katolik maupun non-Katolik. Bulan Agustus 2013, Paus Fransiskus membalas surat dari Eugenio Scalfari, seorang pendiri surat kabar La Repubblica, mengenai posisi orang non-Katolik dan dirinya yang seorang ateis.
Dalam jawabannya, Paus menuliskan: "Anda bertanya kepada saya apakah Tuhan orang Kristen mengampuni orang-orang yang tidak percaya dan yang tidak mencari iman. Saya mulai dengan mengatakan - dan ini adalah hal yang mendasar - bahwa rahmat Tuhan tidak memiliki batas jika Anda pergi kepada-Nya dengan hati yang tulus dan menyesal. Masalah bagi mereka yang tidak percaya pada Tuhan adalah untuk mematuhi hati nurani mereka,” tulisnya.
Paus Fransiskus menambahkan bahwa dosa terjadi ketika manusia tidak mengikuti hati nuraninya. “Dosa, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki iman, ada ketika orang tidak mematuhi hati nurani mereka," tulisnya lagi seperti dilansir dari The Independent.
Tak hanya tema peran atau posisi ateis dalam iman, Paus Fransiskus bahkan membela Islam dari tuduhan identik dengan perilaku terorisme. Dalam berbagai pemberitaan dan rekaman video yang juga banyak beredar, Paus Fransiskus menegaskan bahwa Islam tidak bisa disamakan dengan terorisme.
"Pada hampir semua agama selalu ada kelompok kecil fundamenalis. Kita pun punya kelompok macam itu," ujar Paus. "Jika saya harus berbicara tentang kekerasan dalam Islam, saya pun harus berbicara tentang kekerasan dalam Kristen."
"Setiap hari saya membaca berita tentang kekerasan yang terjadi di Italia. Seseorang membunuh pacarnya, yang lain membunuh mertuanya, dan mereka adalah orang-orang yang dibaptis sebagai pemeluk Katolik," ungkap Paus lagi.
Namun yang menjadikan hal ini sebagai sebuah kebesaran hati dan mendamaikan suasana adalah bahwa ia mengutarakan pembelaannya yang panjang ini tidak lama setelah peristiwa penggorokan leher seorang Pastor tua bernama Jacques Hamel pada 26 Juli 2016, saat ia tengah memimpin misa di gereja. Dua orang pelakunya diketahui berafiliasi dengan ISIS berdasarkan klaim ISIS sendiri.
Akhir 2013 silam, ia pernah mengatakan kepada La Civiltà Cattolica, sebuah majalah bulanan karya Ordo Yesuit terkait pengajaran bahwa kini gereja tidak perlu berbicara terus menerus mengenai masalah aborsi, kontrasepsi buatan, dan homoseksual. Paus Fransiskus berpikir bahwa isu-isu lain, terutama tugas membantu mereka yang miskin dan terpinggirkan, selama ini justru telah diabaikan.
Paus dalam pandangannya tentang kerahiman mengatakan bahwa pesan yang paling kuat dari Yesus Kristus adalah rahmat. Juga tentang belas kasihan Yesus terhadap orang-orang berdosa.
Jauh sebelum menjadi Paus, dan ketika Bergoglio masih melayani di Argentina dan Amerika Latin lainnya, ia memang terkenal vokal dan kritis dalam melihat ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan ketidaksetaraan yang besar. Tidak segan Bergoglio mengingatkan dengan keras para pemangku kebijakan yang menyebabkan hal-hal itu terjadi.
Dalam kapasitasnya sebagai Paus, seperti dilansir dari BBC, ia mendesak para pemimpin dunia untuk mencegah ambisi moneter yang berlebihan yang, katanya, telah menjadi mirip dengan penyembahan berhala uang. Ia mendesak mereka untuk memberikan bantuan kesejahteraan yang lebih serius dan maksimal.
Bahkan terkait kasus pedofilia yang tengah menerpa Gereja Katolik, Paus Fransiskus dalam wawancaranya dengan surat kabar La Repubblica tidak segan untuk mengakui bahwa dua persen dari total jumlah imam Gereja Katolik, termasuk uskup dan kardinal, adalah pedofil atau setara dengan 8.000 orang seperti dilansir dari National Post.
Namun begitu, bukan berarti ia tidak pernah menerima kecaman. Bagi pihak pengkritik dan lawan-lawannya, Paus Fransiskus justru dianggap meminggirkan kaum konservatif dalam Gereja Katolik Roma. Pandangannya terhadap dunia dinilai sarat perspektif kiri dan bernuansa teologi pembebasan meski dirinya enggan mengakuinya secara terbuka. Ia sendiri pernah bertemu dengan Gustavo Gutiérrez, tokoh yang banyak disebut dalam rujukan teologi pembebasan di Amerika Latin.
Media-media internal yang menampung suara kritik untuk Paus Fransiskus ada yang menyebut bahwa ia menciptakan iklim ketakutan dan teror dengan pembersihan ideologis terhadap umat Katolik yang menjunjung tinggi ajaran tradisional Gereja.
Kolumnis Ross Douthat, seorang konservatif dalam opininya yang dimuat di New York Times bahkan berpikir bahwa Fransiskus adalah terang-terangan seorang Trump lantaran perkataan-perkataannya yang berat dan berani, dan dikatakan tidak sabaran dengan ketentuan hukum gereja sehingga cenderung (asal) memberi perintah dahulu.
Sejumlah media-media internal juga masih rajin memberi klarifikasi dan penjelasan setiap kali Paus Fransiskus selesai melontarkan kata-kata yang mendobrak. Klarifikasi itu biasanya berusaha memberi tafsiran yang mengembalikan pernyataan-pernyataan itu kepada nilai-nilai tradisional Gereja Katolik.
Seperti pernyataan Paus Fransiskus baru-baru ini terkait ateis yang lebih baik daripada seorang Katolik yang buruk, misalnya. ChurchPOP menjelaskan bahwa transkrip pernyataan Paus Fransiskus tidak serta merta mengatakan bahwa menjadi ateis akan lebih baik dibanding menjadi seorang Katolik yang berlaku buruk. Namun hal itu adalah pandangan orang lain ketika dihadapkan pilihan ketika melihat orang Katolik yang berlaku hipokrit dengan para ateis.
Tampaknya, sosok Paus Fransiskus masih akan terus menjadi momok bagi para penganut konservatisme meskipun dalam kesempatan lain pandangan-pandangan Paus Fransiskus masih tampak selaras dengan nilai-nilai tradisional dan doktrin Gereja Katolik Roma. Seperti perempuan yang masih tidak akan bisa memimpin misa, juga kebebasan memilih jenis kelamin di bangku sekolah yang masih dianggapnya sebagai penjajahan ideologis.
Penulis: Tony Firman
Editor: Zen RS