Menuju konten utama

Perma 13/2016 Terbit, KPK Siap Usut Korupsi di Korporasi

Ketua MA Hatta Ali menyatakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi telah diajukan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk dicantumkan dalam berita negara. Kabar ini menjadi angin segar bagi KPK yang siap mengusut korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.

Perma 13/2016 Terbit, KPK Siap Usut Korupsi di Korporasi
Sejumlah warga Papua menggelar aksi unjuk rasa di Gedung KPK, Jakarta, Senin (19/12). Dalam aksinya mereka menuntut KPK untuk segera menuntaskan berbagai kasus dugaan korupsi di Kota Jayapura, Papua. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Pada Rabu (28/12/2016), Ketua MA Hatta Ali menyatakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi telah diajukan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk dicantumkan dalam berita negara. Kabar ini menjadi angin segar bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang siap mengusut korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.

"KPK tentu saja siap menangani korupsi korporasi. Keberadaan Perma ini sangat membantu KPK dan penegak hukum lain untuk memproses korproasi jika memang terlibat korupsi," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis (29/12/2016).

Perma ini disusun bersama dengan sejumlah aparat penegak hukum, mulai dari KPK, Kejaksaan Agung, Polisi hingga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Perma tersebut mengatur lebih rinci tentang kapan korporasi siap bisa diproses, jelas Febri.

Namun mengenai sanksi terhadap korporasi, menurut Febri, tetap berpedoman pada undang-undang yaitu pasal 20 UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). "Pasal 20 UU Pemberantasan Tipikor itu mengatur tentang dalam hal apa korporasi dapat dikenakan pidana dalam korupsi yaitu ada tambahan sanksi denda maksimum ditambah sepertiga," ungkapnya.

Pasal 20 menjelaskan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya (ayat 1).

Sedangkan pada ayat 2 disebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (ayat 7).

Dalam pasal 2, 3, 5 ayat (1), 6 ayat (1) dan pasal lain juga menetapkan subjek hukum adalah "setiap orang" dan definisi setiap orang berdasarkan pasal 1 ayat (3) UU yang sama adalah adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Jadi Perma tersebut, kata Febri, adalah semacam hukum acara jika penegak hukum akan memproses korporasi.

Namun ia tidak menjelaskan korporasi apa yang paling mungkin dijerat pasca-penerbitan Perma tersebut. "Sepanjang KPK bisa membuktikan bahwa perbuatan pidana itu bukan perbuatan seseorang saja tapi perbuatan korporasi, namun hal ini memang akan rumit penanganannya," ungkap Febri sebagaimana dikutip Antara.

Salah satu kasus yang melibatkan banyak korporasi dan kerugian negara yang besar adalah korupsi yang dilakukan oleh Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaffar yang menerbitkan rekomendasi untuk mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) kepada 15 perusahaan. Azmun mendapat keuntungan Rp19,832 miliar dan mengakibatkan kerugian negara hingga Rp1,209 triliun yang berasal dari nilai hasil hutan yang diperoleh secara melawan hukum.

Sejauh ini hanya ada satu kasus korupsi korporasi yang berhasil dibawa ke persidangan, yaitu kasus korupsi PT Giri Jaladhi Wana dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari yang disidik Kejaksaan Negeri Banjarmasin. PT Giri dihukum membayar Rp1,317 miliar dan hukuman tambahan penutupan sementara selama enam bulan.

Perma No 13/2016 itu mengatur antara lain perusahaan yang melanggar UU tindak pidana korporasi tidak bisa dikenakan hukuman badan sehingga hukuman yang diberikan berupa denda. Dan bila korporasi tidak sanggup membayar denda, maka aparat penegakan hukum berhak menyita aset korporasi sebagai ganti rugi negara.

Baca juga artikel terkait PERMA 132016 atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Hukum
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan